Etiologi : Paramphistomum cervi
Paramphistomiasis merupakan penyakit trematoda yang dapat menyerang
sapi, kambing, domba dan ruminansia lain. Penyakit ini tersebar diseluruh Indonesia
dengan prevalensi yang tinggi terutama pada sapi (50 – 88,89 %). Prevalensi
yang tinggi dijumpai pada daerah yang irigasinya baik. Epidemiologi dari
parasit cacing ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan terutama
kelembaban yang cukup dan suhu yang memadai (26- 270C), keadaan
tersebut diperlukan untuk perkembangan fase mirasidium sampai metaserkaria dan
juga kehidupan siput sebagai hospes intermidier.
Habitat : cacing dewasa predeleksinya pada rumen dan retikulum sapi,
kambing,domba dan ruminansia lain. Sedangkan cacing muda predeleksinya pada
usus halus.
SIKLUS HIDUP
Telur cacing
keluar saat defikasi yang telah mengalami perkembangan awal dan pada kondisi
yang menunjang (air tergenang dan suhu 270 C) setelah lebih kurang
12 hari melalui operculum akan keluar larva yang disebut mirasidium. Mirasidium selanjutnya akan berenang di air dan secara
aktif akan mencari hospes intermidier berupa siput dari genus ( Planorbis,
Bulinus, Fossaria sp., Gliptanisus dan Fysmanisus ) setelah masuk dalam
tubuh siput mirasidium akan berubah menjadi sporokista. Dalam waktu 11 hari sporokista akan berkembang dan didalamnya
mengandung maksimal 8-9 redia. Pada hari ke- 21 sporokista akan pecah dan
menghasilkan redia dengan ukuran panjang 0,5 – 1 mm. Di dalam tubuh redia
ditemukan 15-30 cercaria. Serkaria
akan keluar dari dalam tubuh siput terutama pada saat kena sinar matahari.
Serkaria yang bebas memiliki ekor sederhana dan sepasang titik mata, berenang
dalam air beberapa jam, kemudian akhirnya akan mengkista disebut metaserkaria didalam tumbuhan air yang
dapat tahan pengaruh luar sampai 3 bulan. Infeksi terjadi karena tertelannya
rumput yang mengandung metaserkaria, setelah sampai didalam usus kista akan
pecah dan terbebaslah cacing muda. Cacing muda akan menembus masuk kedalam
mukosa usus halus, kemudian setelah 6-8 minggu cacing muda akan bermigrasi
keatas menuju rumen dan retikulum dan akhirnya berkembang menjadi cacing
dewasa.
Pathogenesa : infeksi
pada induk semang terjadi akibat memakan tanaman atau rumput yang tercemar metacercaria. Setelah
tertelan didalam usus halus menjadi cacing muda. Cacing muda ini akan menembus
masuk ke dalam mukosa usus halus , kemudia keluar kepermukaan dan bermigrasi ke
dalam rumen dan retikulum kira-kira satu bulan setelah infeksi.
Cacing muda yang menembus masuk kedalam sub mukosa akan menyebabkan
keradangan usus, nekrose dari sel, dan erosi vili-vili dari mukosa. Sedangkan
cacing dewasa dalam rumen dan retikulum menghisap bagian permukan mukosa
menyebabkan kepucatan pada mukosa, serta papilla rumen banyak mengalami
degenerasi. Adanya cacing muda dalam jumlah banyak dalam usus halus dapat
menyebabkan kematian pada sapi. Mukosa rumen yang terinfeksi parasit ini terlihat anemi dan nekrose,
sehingga perubahan tersebut akan mengakibatkan gangguan kerja rumen, sehingga
makanan tidak dapat dicerna dengan sempurna.
Gejala klinis : gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing muda dalam
jumlah besar pada usus halus adalah
diarhe profus, kekurusan dan anemi. Gejala klini baru timbul bila jumlah cacing
muda diatas 30 000 ekor. Gejala lain berupa kekurusan, kondisi tubuh menurun ,
hypoproteinaemia dan odema.
Adanya cacing dewasa dalam rumen dan
retikulum akan menyebabkan terganggunya sistem pencernaan.
Diagnose : diagnose dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis seperti
diarhe profus dan klinis lain. Secara mikroskopis dengan menemukan telur cacing
pada pemeriksaan feses. Secara post mortem dengan menemukan cacing pada rumen
dan retikulum.
Pengobatan : niclosamide : 90
mg/kg bb; Bithionol : 40 mg/kg bb
Pencegahan : pengendalian siput pada habitatnya dan menghindarkan
mengembalakan ternak pada daerah tergenang air.
No comments:
Post a Comment