Google Translate

KESTODIOSIS



Pendahuluan, kestodiosis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita (kestoda). Cacing pita tubuhnya pipih dorso-ventral (atas-bawah) berbentuk pita dan terususn oleh banyak segmen.
Siklus hidup, secara umum dimulai dari hospes definitif terinfeksi akan mengeluarkan proglotid gravid dalam rangkaian segmen secara tersendiri  atau  bersama tinja, kadang-kadang juga telur keluar bersama tinja. Proglotid kemudian mengalami apolysis (hancur) sehingga telur berserakan. Telur apabila termakan oleh hospes intermedier yang sesuai, karena pengauh sekeresi (lambng, usus, hati dan pancreas) di dalam saluran pencernan, embriofor tercerna  sehingga menyebabkan aktifnya onkosfer. Onkosfer dengan kaitnya akan menembus dinding usus dan akhirnya bersama aliran darah atau linfe beredar keseluruh tubuh menuju tempat predileksinya dan berkembang lebih lanjut menjadi bentuk peralihan (“metakestoda).
Cara penularan karena termakannya Hospes Intermedier infektif.
Patogenitas, gejala baru akan teramati apabila cacing menimbulkan kerusakan pada tempat predileksi (utamanya usus), sehingga akan mengganggu penyerapan makanan atau jika infeksinya berat hospes definitif kalah bersaing dengan cacing memperebutkan makanan.
Hasil penelitian : Ayam, prevalensi dan dampak infeksi cacing pita pada beberapa propinsi di Indonesia telah banyak dilaporkan. Sasmita (1980) di Surabaya melaporkan prevalensinya sebesar 89,3% dan setelah diidentifikasi terdiri dari Raillietina spp 85,64%, Amoebotaenia cuneata 0,9% dan kombinasi keduanya 2,77%.. Husein dkk (1983) melaporkan prevalensi infeksi cacing pada ayam buras di Bogor sebesar 84%, infeksi tertinggi oleh cacing pita 57% dan sisanya oleh cacing lainnya. Suweta dkk (1990) melaporkan prevalensi cacing pita pada ayam buras yang dipasarkan di Denpasar sebesar 69,17% dan Suadnyana (1994) melaporkan prevalensi cacing pita pada ayam buras yang dipotong di Denpasar didapatkan 69,75% terinfeksi cacing Raillietina sp. Oka dkk (1997) melaporkan ayam buras yang dipasarkan di Denpasar, 94% terinfeksi cacing, terdiri dari cacing pita 31,33%, Ascaridia galli  8,6%, dan infeksi campuran 54% yang kesemuanya secara nyata telah dapat menurunkan berat karkas. Simon He dkk (1991), melaporkan taksiran kerugian produksi daging akibat infeksi alamiah cacing saluran pencernaan ayam buras di Jawa Barat yang berjumlah 16,4 juta ekor dengan prevalensi 94,56% adalah sebesar 2.240-3.148 juta kg daging atau 4,48-6,29, milyar
Anjing, Betty (2003) melaporkan prevalensi cacing pita pada saluran pencernaan kucing yang berasal dari berbagai daerah di Bali sebesar 33,33% yang terdiri dari 2 genus antara lain infeksi tunggal Taenia 29,6% Spirometra 33,33% dan campuran 0,03% dengan jumlah cacing rata-rata 2 ekor .
Babi, Maks (1987) melaporkan dari  1.000 ekor babi yang dipotong di Rumah Potong “Canning Indonesian Product” (CIP) Denpasar, tidak satu ekorpun yang terinfeksi oleh sistiserkosis. cellulose, sedangkan oleh sistiserkus tenuicoliis sebesar 11%. Gunawan dkk (1984) melaporkan prevalensi sistiserkus tenuicollis sebesar 0,06%, Dharmawan (1992) sebesar 16,5% dan Octavianus (1999) sebesar 36,2%

No comments:

Baca Juga Artikel Yang Lainnya:

·