Google Translate

Mengapa Terjadi Resistensi Antibiotik?

Ternyata bakteri mampu mengembangkan teknik melindungi diri dengan cara bertahan terhadap gempuran antibiotika. Hal ini tentu saja membahayakan nyawa pasien, karena bakteri menjadi kebal sehingga peluang kesembuhan pasien menjadi semakin menipis. oleh karena itu berbagai mekanisme yang ada hendaknya harus dipelajari dengan cermat untuk dapat ditangkal.
Bakteri patogen memperoleh sifat resistensi terhadap antibiotik berasal dari dua hal, yakni dengan cara transmisi vertikal dan transmisi horisontal.
Transmisi vertikal
Pada transmisi vertikal, bakteri memperoleh kekebalan melalui akumulasi perubahan genetis selama proses alami duplikasi genom. Transmisi vertikal merupakan proses mendasar, dimana sel dapat mengakumulasikan kesalahan-kesalahan pada genomnya selama proses replikasi. Proses akumulasi kesalahan tersebut terjadi dalam jumlah yang sedikit. Satu dari seribu bakteri yang berkembang akan mengalami kesalahan genom, hal ini dinamakan mutasi. Mutasi dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotik.
Transmisi horisontal
Pada transmisi horisontal terjadi transfer gen dari bakteri yang mengalami mutasi menjadi resisten (pada transmisi vertikal). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa transmisi horisontal ini bertanggungjawab terhadap berkembangnya resistensi bakteri terhadap antibiotika. Proses transmisi horisontal diawali dengan perpindahan gen penyebab resistensi dari satu bakteri ke bakteri lainnya dengan perantara plasmid. Plasmid merupakan elemen genetik yang dapat berpindah antar sel. Fragmen DNA ini berpindah menuju sel lain melalui 3 mekanisme, yakni transformasi, transduksi, dan konjugasi
Beberapa mekanisme yang menyebabkan resistensi antibiotika adalah sebagai berikut:
Memblok antibiotik dengan cara mengubah dinding sel sehingga tidak dapat ditembus
Kelompok bakteri ini secara alami resisten terhadap antibiotik tertentu karena kurangnya target bagi antibiotik untuk berikatan, dan juga karena membran selnya tidak dapat ditembus.
Perubahan area target yang menurunkan daya ikat antibiotik
Pada mekanisme ini, bakteri memperoleh mutasi gen yang mengubah target antibiotik sehingga menurunkan efektivitasnya. Masing-masing antibiotika dirancang untuk menyasar proses penting dalam tubuh bakteri. Sebagai contohnya, antibiotika fluorokuinolon bekerja dengan cara mengganggu fungsi protein yang terlibat dalam proses replikasi DNA bakteri. Mutasi yang menyebabkan resistensi terhadap fluorokuinolon seringkali mengubah konformasi protein ini, sehingga mengurangi pengikatan antibiotik ke sasarannya.
Menghasilkan enzim pengurai antibiotik sehingga antibiotik menjadi tidak aktif
Bakteri ini mengkode gen yang menghasilkan enzim yang mengurai molekul antibiotik sebelum antibiotik ini membunuh bakteri. Contohnya adalah enzim beta laktamase, enzim ini akan menguraikan struktur beta laktam pada antibiotik, sehingga antibiotik menjadi tidak aktif lagi dan tidak dapat membunuh bakteri.
Menurunkan akumulasi antibiotik intraseluler dengan cara menurunkan permeabilitas dan atau meningkatkan efluks aktif antibiotik
Mekanisme efluks terjadi ketika gen resisten mengkode protein yang secara aktif mendorong antibiotik keluar dari sel bakteri, sehingga kadar antibiotik di dalam sel menjadi rendah dan tidak mampu untuk membunuh bakteri.
Referensi:
Blair, J.M.A., Webber, M.A., Baylay, A.J., Ogbolu, D.O., dan Piddock, L.J.V., 2015. Molecular mechanisms of antibiotic resistance. Nature Reviews Microbiology, 13: 42–51.
Dantas, G. dan Sommer, M.O., 2014. How to fight back against antibiotic resistance. American Scientist, 102: 42–51.

MEKANISME PERTAHANAN TUBUH

Mekanisme pertahanan tubuh
1. Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
2. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif  atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.
Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon
Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen. Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). Limfosit berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit B dan Limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B.
Limfosit BLimfosit T
Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi(pluripotent stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang(Bone Marrow)Dibuat di sumsum tulang dari sel batang yang pluripotensi(pluripotent stem cells) dan dimatangkan di Timus
Berperan dalam imunitas humoralBerperan dalam imunitas selular
Menyerang antigen yang ada di cairan antar selMenyerang antigen yang berada di dalam sel
Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu :
  • · Limfosit B plasma, memproduksi antibodi
  • · Limfosit B pembelah, menghasilkan Limfosit B dalam jumlah banyak dan cepat
  • · Limfosit B memori, menyimpan mengingat antigen yang pernah masuk ke dalam tubuh
Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:
  • · Limfosit T pempantu (Helper T cells), berfungsi mengantur sistem imun dan mengontrol kualitas sistem imun
  • · Limfosit T pembunuh(Killer T cells) atau Limfosit T Sitotoksik, menyerang sel tubuh yang terinfeksi oleh patogen
  • · Limfosit T surpressor (Surpressor T cells), berfungsi menurunkan dan menghentikan respon imun jika infeksi berhasil diatasi
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.
Pajanan antigen pada sel T
Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh makrofag.
Aktivitas lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.
Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.
Imunitas humoral
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu.
Pajanan antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi komplemen.
Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
Jumlah normal sel leukosit.
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darahputih. Didalam darah manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari 12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat tiga jenis leukosir granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas granula terhadap zat warna netral basa dan asam.
Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada sebagian besar precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam sel-sel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil.
Neutrofil
Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel ini merupakan 60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus. Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um) mendekati batas resolusi optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :
– Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.
– Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein Kationik) yang dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria, apparatus Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya. Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin streptokokus membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara arrob maupun anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan, karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik. Fagositosis oleh neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan glicogenolisis.
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan apparatus Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofkik, granula adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti bodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses Patologi. Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat.
BASOFIL
Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna metakromatik, dengan campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai hubungan kekebalan.
LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.Normal, inti relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granula-granula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan Patologis, pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.
MONOSIT
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini merupakan sifat tetap momosit Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abu-abu pada sajian kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel immunocmpetent dengan antigen.
BAB II
RESPON ANTIBODI TERHADAP KANKER DAN VIRUS POLIO
Respon antibodi terhadap tumor.
Tumor ganas/kanker adalah jenis penyakit yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Sehingga identifikasi prilaku pertumbuhan tumor yang imunogenik (dapat menstimulasi respon imun) adalah penting dan perlu dilakukan, terutama untuk tujuan imunoterapi. Melalui simulasi dengan metode Runge Kutta Gill dapatlah dianalisis pertumbuhan tumor tersebut. Sistem imun CMI (cell-mediated-immunity) tubuh manusia dapat menghambat dan mengontrol pertumbuhan tumor secara efektif untuk tumor yang masih berada dalam stadium praklinik ( Φ tumor ≤ 1cm = 109 sel ) dalam bentuk immunologic-surveillance. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa respon model sistem CMI yang dilakukan oleh sel-sel efektor imun Tc, NK dan Ma terhadap tumor padat (dengan asumsi tumor tumbuh mulai dari l sel hingga mencapai ukuran maksimum 3.10 ) yang tumbuh secara Gompertz akan dapat menghambat pertumbuhan tumor, tetapi tidak dapat memperkecil ukuran tumor tersebut. Simulasi model respon CMI dalam interval waktu 20 hari pertama, menunjukkan bahwa pertumbuhan tumor mulai konstan (± 1,94.105 sel) pada hari yang ke delapan. Sedangkan model sistem CMI + ADCC (cell mediated immunity + antibody dependent cell mediated cytotoxicity) sebagai pengembangan dari model sistem CMI, dapat memberikan hasil simulasi yang lebih baik, di mana selain pertumbuhan tumor mulai konstan pada hari yang ke delapan sampai dengan hari yang ke sepuluh (± 2,75.103 sel) juga pertumbuhan tumor tersebut menjadi menurun eksponensial sampai mencapai ukuran ±1,6.103 sel tumor pada hari yang ke lima belas, setelah itu tumor tidak tumbuh lagi (konstan).
Makrofag telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan dengan sel kanker, makrofag (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang akan membunuh sel tumo

Respon Imun Terhadap Infeksi Virus Polio

Respon imun/kekebalan alami memegang peranan penting dalam penentuan trofisme jaringan dan patogenitas virus polio. Pada tikus transgenik CD155, jaringan non syaraf yang tidak menjadi target replikasi untuk virus polio menunjukkan peningkatan aktivitas gen yang distimulasi oleh interferon dan respon interferonnya lebih cepat dibandingkan jaringan syaraf. Hal ini menimbulkan dugaan adanya peran penting interferon dalam melindungi jaringan non syaraf tersebut. Ketika tikus transgenik CD155 tersebut di-knock out interferon alfa-beta-nya, titer virus polio di jaringan non syaraf meningkat dan terjadi peningkatan frekuensi paralisis dibandingkan dengan tikus transgenik CD155 liar . Respon sistem kekebalan humoral berperan penting dalam perlindungan dan kekebalan jangka panjang. Antibodi yang dihasilkan setelah infeksi polio virus liar, atau setelah vaksinasi dengan vaksin polio oral (OPV/oral poliovirus vaccine. Ada yang menyebutnya vaksin polio “hidup”) atau IPV (inactivated polio vaccine, atau ada yang menyebutnya vaksin polio “mati”) dapat mencegah terjadinya poliomielitis karena mencegah terjadinya viremia, sehingga mencegah infeksi pada sistem syaraf pusat. Dibandingkan IPV, infeksi virus polio liar atau vaksin polio oral akan menghasilkan produksi IgG sirkulasi yang lebih banyak dan juga sekresi IgA di usus halus. Akibatnya dosis yang dibutuhkan oleh virus polio untuk melakukan re-infeksi akan mengalami peningkatan. Selain itu, jika terjadi re-infeksi, jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja akan menurun. Jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja ini berperan besar dalam proses penyebaran virus polio. Makin banyak dan makin lama virus polio dikeluarkan via tinja oleh si penderita, maka resiko penyebarannya akan semakin besar.
Selain respon sistem kekebalan humoral, sistem kekebalan seluler mungkin juga berperan besar dalam menghadapi infeksi virus polio. Secara teoritik, sel T CD4+ membantu sel B dalam respon kekebalan humoral. Sel T sitolitik mungkin mempunyai peranan dalam proses pembersihan virus secara langsung dengan cara melisiskan seln yang terinfeksi virus. Sel T gamma atau delta dan sel NK (yang merupakan bagian dari respon kekebalan alami) mungkin berperan dalam respon kekebalan adaptif sel T. Meskipun begitu, bagaimana sebenarnya mekanisme sistem kekebalan seluler dalam menghadapi infeksi virus polio masih belum jelas
BAB III
REGULASI RESPONS IMUN
Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.
Regulasi oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan primingsel B terhambat (lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin berkurang.
Regulasi idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun yang normal tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal. Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu yang jatuh ke dalam  ir  dan  menimbulkan  gelembung  air  yang  makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).
Regulasi oleh sel T supresor (Ts)
Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan respons imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel Th yang mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
PERKEMBANGAN  LIMFOSlT  DALAM  PROSES  IMMUN
Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari timus dan organ limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfositnya yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit ini memperoleh sifat limfosit T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun. Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai reseptor permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain tetap diam disum-sum tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan berkemban.didalam kompertemenya sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody humoral antibody response yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalutantibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel pembunuh (killer sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara marfologis hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai retikulum endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan molekul-molekul antibody, sel T yang diaktifkan mempunyai sedikit endoplasma yang kasar tapi penuh dengan ribosom bebas.
Terjadinya respon imun dari tubuh.
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi tubuh yang dikenal sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak positif terhadap, tubuh yaitu dengan timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh terhadap antigen tersebut, dan dampak negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas. Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan efek protektif yaitumerusak jaringan. Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa degranulasi sel dan derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin Eusinohil chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap pelepasan mediator ini menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika, urtikaria, diaree dan bisa menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi kerusakan jaringan berupa sitolisis dari sel-sel darah merah sitotokis terhadap organ tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum siknesdermatitis kontak, reaksi tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell membagi 4 jenis sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel leukosit. Pada type I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE (imunoglobin tipe E-antibodies tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi dalam beberapa menit.
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang pada penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah, anemia hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody komplek dimana gen bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek, yang
mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi. Terjadilah aktifitas dari komplemen (komplemen protein dalam darah) dan pelepasan zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis, serum scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang bereaksi dengan limfosit, limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi reaksi pada kulit, reaksi pada tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
BAB IV
IMONOPATOGENESIS.
Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap sensit, kemudian diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan atau sel basofil yang berkontak ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas terutama pada rhinitis alergika diketahui terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988, pertama reaksi alergi fase cepat (RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai satu jam setelah berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4 – 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan alergan/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown dkk, 1991) dan atau sel denritik (Mc William, 1996) Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel APC) dan berada dimukosa (dalam dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada permukaan mukosa ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC, dari malergen tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini bergabung dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum sel APC. Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II (mayor histocompatibility comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan dipermukaan sel APC; kepada salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +, dimana Tho), jika selanjutnya tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptide –MHC-II maka akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Akibat selanjutnya sel APC akan melepas sitokin Salah satunya Interkulin – I (IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 + (Tho) yang jika sinyal kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya cukup memadai, maka akan terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan Th1; sel ini akan memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai molekulimunoregulator, antara lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B sel), sehingga terjadi aktivasi limfosit B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin E (IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan melimpah dan berada di mukosa atau peredaran darah.
2. Reaksi Alergis
Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metacromatik  (mastosit atau sel basofil), sel ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta dengan allergen spesifiknya maka akan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediator-mediator alergis. Reaksi alergis yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi alergi fase cepat (RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepaskan molekul-molekul kemotaktik (penarik sel darah putih ke organ sasaran). Reaksi alergis fase cepat dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian (Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi (berkumpul) di jaringan sasaran. Sepanjang RAFL (creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan melepas berbagai mediator, antara lain basic protein, leukotriens cytokines, Sedangkan basofil akan melepas histamin, leukotriens dan cytokines.
Disamping itu berbagai sel mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang akan memacu mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi. Sepanjang reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan sebagai prodak protein yang merupakan hasil
kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk 1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199. Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel dkk 1998. Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin, Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil chematactic factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel eosinofil. PAF,LTB4,C5a kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul sitokin inductor/stimulator/aktivalator RIA yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3 dan IL-4 mempengaruhi basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5 mempengaruhi sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs yang mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4 mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam memproduksi VCAM (Vascular cell adhesion molecule). Molekul-molekul activator/survival sel eosinofil, GM=CSF dan IL-3 IL-3 dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5) Fibronektin Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel eosinofil. IL-5 IL-3.GM=CSF,IL-8 Lain-lain Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung membentuk IL-8, RNTES dan GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel inflamasi, sel endotel dan mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara lain; histamin, leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2 reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity meliputi inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi pelepasan histamin dari leukosit perifer, dan aktivasi suppressor T-lymllocytes ( Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin menggunakan efeknya pada berbagai sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar (endokrin dan Eksokrin, sel-sel darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White 1999), Histamin merupakan vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat, stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung. (White 1999). Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil, eosinofil, neutrofil dan monosit. Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid membran sel yang paling banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999). Seperti kita ketahui bahwa efek biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot polos, penurunan permeabbilitas vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta degranulasi platelet.(trombosit). Kinin merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan tubuh dan jaringan sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam tubuh adalah bredykinin, kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada reaksi inflamasi alergi dalam hidung kinin sangat banyak ditemukan. Platelet activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked phospholipid. PAF diproduksi oleh mastosit, macrofag dan eosinofil.
Aktifitas biologisnya meliputi pletelet aktivasi neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga merangsang akumulasi eosinofil ke permukaan endothelium yang merupakan langkah awal pengerahan eosinofil kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai protein basa yang menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan menyebabkan peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan monosit. PAF banyak dibentuk oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil lainya memasuki jaringan.
Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit adalah sumber dari sitokin multifungsi ( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4, IL-5, IL-6, TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan bersama TNF-@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE reseptor pada sel-sel APC.
5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur eosinofil.
Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organismo terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya. Sel-sel limfosit ini, mempunyai kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri (makromolekuler organisme sendiri) dari yang bukan diri sendiri (benda asing) dan mengatur penghancuran dan inaktivasi dari benda asing yang mungkin merupakan molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro organisme Semua leukosit berasal dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid lainnya.
KELAINAN SISTEM IMUN: ALERGI
Alergi, kadang disebut hipersensitivitas, disebabkan respon imun terhadap antigen. Antigen yang memicu alergi disebut allergen. Reaksi alregi terbagi atas 2 jenus yaitu:reaksi alergi langsung dan reaksi alergi tertunda. Reaksi alergi langsung disebabkan mekanisme imunitas humoral. Reaksi ini disebabkan oleh prosuksi antibodi IgE berlebihan saat seseorang terkena antigen. Antibodi IgE tertempel pada sel Mast,leukosit yang memiliki senyawa histamin. Sel mAst banyak terdapat pada paru-paru sehingga saat antibodi IgE menempel pada sel Mast, Histamin dikeluarkan dan menyebabkan bersin-bersin dan mata berair. Reaksi alergi tertunda disebabkan oleh perantara sel. Contoh yang ekstrim adalah saat makrofag tidak dapat menelan antigen atau menghancurkannya. Akhirnya Limfosit T segera memicu pembengkakan pada jaringan.
KELAINAN SISTEM IMUN: PENOLAKAN ORGAN TRANSPLANTASI
Sistem imun menyerang sesuatu yang dianggap asing di dalam tubuh individu normal, yang diserang adalah organ transplantasi. Saat organ ditransplantasikan, MHC organ donor dikenali sebagai senyawa sing dan kemudian diserang. Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan mencari donor transplantasi yang MHC punya banyak kesamaan dengan milik si resipien. Resipien organ tranplantasi juga diberi obat untuk menekan sistem imun mereka dan menghindarkan penolakan dari organ transplantasi.
Jika organ tranplantasi mengandung Limfosit T yang berbeda jenisnya dengan Limfosit T milik donor seperti pada cangkok sumsum tulang, Limfosit T dari organ tranplantasi ini bisa saja menyerang organ dan jaringan donor. Unutk mengatasi hal ini, ilmuwan meminimalisir reaksi graft versus host(GVH) dengan cara menghilangkan semua Limfosit T dewasa sebelum dilakukan tranplantasi.
KELAINAN SITEM IMUN: DEFISIENSI IMUN
Salah satu penyakit defisiensi sistem imun yaitu AIDS(Acquired Immune deficiency Syndrome) yang disebabkan oleh HIV(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang Limfosit T pembantu karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun. Dengan diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah. Defisiensi sistem imun dapata terjadi karena radiasi yang menyebabkan turunnya produksi limfosit. Sindrom DiGeorge adalah kelainan sistem imun yang disebabkan karena penderita tidak punya timus dan tidak dapat memproduksi Limfosit T dewasa. Orang dengan kelainan ini hanya bisa mengandalkan imunitas humoralnya secara terbatas dan imunitas diperantarai selnya sangat terbatas. Contoh ekstrim penyakit defisiensi sistem imun yang diturunkan secara genetika adalah Severe Combined Immuno Deficiency(SCIED). Penderita SCID tidak punya Limfosit B dan T maka ia harus diisolasi dari lingkungan luar dan hidup dengan betul-betul steril karena mereka bisa saja mati disebabkan oleh infeksi.
KELAINAN SISTEM IMUN: PENYAKIT AUTOIMUN
Autoimunitas adalah respon imun tubuh yang berbalik menyerang organ dan jaringan sendiri. Autoimunitas bisa terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel. Sebagai contoh, penyakit diabetes tipe 1 terjadi karena tubuh membuat antibodi yang menghancurkan insulin sehingga tubuh penderita tidak bisa membuat gula. Pada myasthenia gravis, sistem imun membuat antibodi yang menyerang jaringan normal seperti neuromuscular dan menyebabkan paralisis dan lemah. Pada demam rheumatik, antibodi menyerang jantung dan bisa menyebabkan kerusakan jantung permanen. Pada Lupus Erythematosus sistemik, biasa disebut lupus, antibodi menyerang bebeagai jaringan yang berbeda, menyebabkan gejalan yang menyebar.
Daftar pustaka
Baratawijaya, karnen,.1996. Immunologi Dasar. Jakarta : gaya baru .
Goodman JW. The Immune Response. In: Stites DP, Terr AI eds. Basic and Clinical Immunology, 8 ed. Connecticut: Prentice Hall Int. Inc, 1994: 40-9

Baca Juga Artikel Yang Lainnya:

·