Google Translate

PENGERTIAN PROFESI


PENGERTIAN PROFESI

Belum ada kata sepakat mengenai pengertian profesi karena tidak ada standar pekerjaan/tugas yang bagaimanakah yang bisa dikatakan sebagai profesi. Ada yang mengatakan bahwa profesi adalah “jabatan seseorang walau profesi tersebut tidak bersifat komersial”.  Secara tradisional ada 4 profesi yang sudah dikenal yaitu kedokteran, hukum, pendidikan, dan kependetaan.

PROFESIONALISME

Biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai oleh setiap eksekutif yang baik. Ciri-ciri profesionalisme:
1.    Punya ketrampilan yang tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam menggunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidang tadi
2.    Punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisis suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan
3.    Punya sikap berorientasi ke depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang di hadapannya
4.    Punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya
CIRI KHAS PROFESI

Menurut Artikel dalam International Encyclopedia of education, ada 10 ciri khas suatu profesi, yaitu:
1.    Suatu bidang pekerjaan yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus berkembang dan diperluas
2.    Suatu teknik intelektual
3.    Penerapan praktis dari teknik intelektual pada urusan praktis
4.    Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikasi
5.    Beberapa standar dan pernyataan tentang etika yang dapat diselenggarakan
6.    Kemampuan untuk kepemimpinan pada profesi sendiri
7.    Asosiasi dari anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang erat dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggotanya
8.    Pengakuan sebagai profesi
9.    Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi
10.                       Hubungan yang erat dengan profesi lain

TUJUAN KODE ETIKA PROFESI

Prinsip-prinsip umum yang dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan adat, kebiasaan, kebudayaan, dan peranan tenaga ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negar tidak sama.

Adapun yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam kode etik (Code of conduct)  profesi adalah:

1.    Standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab terhadap klien, institusi, dan masyarakat pada umumnya
2.    Standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaan
3.    Standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi-fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu
4.    Standar-standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan moral-moral dari komunitas, dengan demikian standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati kitab UU etika (kode etik) profesi dalam pelayanannya
5.    Standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi
6.    Perlu diketahui bahwa kode etik profesi adalah tidak sama dengan hukum (atau undang-undang). Seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi akan menerima sangsi atau denda dari induk organisasi profesinya

PENGERTIAN ETIKA


PENGERTIAN ETIKA

Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia

TUJUAN MEMPELAJARI ETIKA

Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu

PENGERTIAN BAIK

Sesuatu hal dikatakan baik bila ia mendatangkan rahmat, dan memberikan perasaan senang, atau bahagia (Sesuatu dikatakan baik bila ia dihargai secara positif)

PENGERTIAN BURUK

Segala yang tercela. Perbuatan buruk berarti perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku

CARA PENILAIAN BAIK DAN BURUK

Menurut Ajaran Agama, Adat Kebiasaan, Kebahagiaan, Bisikan Hati (Intuisi), Evolusi, Utilitarisme, Paham Eudaemonisme, Aliran Pragmatisme, Aliran Positivisme, Aliran Naturalisme, Aliran Vitalisme, Aliran Idealisme, Aliran Eksistensialisme, Aliran Marxisme, Aliran Komunisme [carilah di internet mengenai faham atau aliran-aliran tersebut secara lengkap]

Kriteria perbuatan baik atau buruk yang akan diuraikan di bawah ini sebatas berbagai aliran atau faham yang pernah dan terus berkembang sampai saat ini. Khusus penilaian perbuatan baik dan buruk menurut agama, adapt kebiasaan, dan kebudayaan tidak akan dibahas disini.

Faham Kebahagiaan (Hedonisme)

“Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan/kelezatan”. Ada tiga sudut pandang dari faham ini yaitu (1) hedonisme individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; (2) hedonisme rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat; dan (3) universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.

Bisikan Hati (Intuisi)

Bisikan hati adalah “kekuatan batin yang dapat mengidentifikasi apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk tanpa terlebih dahulu melihat akibat yang ditimbulkan perbuatan itu”. Faham ini merupakan bantahan terhadap faham  hedonisme. Tujuan utama dari aliran ini adalah keutamaan, keunggulan, keistimewaan yang dapat juga diartikan sebagai “kebaikan budi pekerti”

Evolusi

Paham ini berpendapat bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini selalu (secara berangsur-angsur) mengalami perubahan yaitu berkembang menuju kea rah kesempurnaan. Dengan mengadopsi teori Darwin (ingat konsep selection of nature, struggle for life, dan survival for the fittest) Alexander mengungkapkan bahwa nilai moral harus selalu berkompetisi dengan nilai yang lainnya, bahkan dengan segala yang ada di ala mini, dan nilai moral yang bertahanlah (tetap) yang dikatakan dengan baik, dan nilai-nilai yang tidak bertahan (kalah dengan perjuangan antar nilai) dipandang sebagai buruk.

Paham Eudaemonisme

Prinsip pokok faham ini adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu (1) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan, (2) kemauaan, (3) perbuatan baik, dan (4) pengetahuan batiniah.

Aliran Pragmatisme

Aliran ini menititkberatkan pada hal-hal yang berguna dari diri sendiri baik yang bersifat moral maupun material. Yang menjadi titik beratnya adalah pengalaman, oleh karena itu penganut faham ini tidak mengenal istilah kebenaran sebab kebenaran bersifat abstrak dan tidak akan diperoleh dalam dunia empiris.

Aliran Naturalisme

Yang menjadi ukuran baik atau buruk adalah :”apakah sesuai dengan keadaan alam”, apabila alami maka itu dikatakan baik, sedangkan apabila tidak alami dipandang buruk. Jean Jack Rousseau mengemukakan bahwa kemajuan, pengetahuan dan kebudayaan adalah menjadi perusak alam semesta.

Aliran Vitalisme

Aliran ini merupakan bantahan terhadap aliran natiralisme sebab menurut faham vitalisme yang menjadi ukuran baik dan buruk itu  bukan alam tetapi “vitae” atau hidup (yang sangat diperlukan untuk hidup). Aliran ini terdiri dari dua kelompok yaitu (1) vitalisme pessimistis (negative vitalistis) dan (2) vitalisme optimistime. Kelompok pertama terkenal dengan ungkapan “homo homini lupus” artinya “manusia adalah serigala bagi manusia yang lain”. Sedangkan menurut aliran kedua “perang adalah halal”, sebab orang yang berperang itulah (yang menang) yang akan memegang kekuasaan. Tokoh terkenal aliran vitalisme adalah F. Niettsche yang banyak memberikan pengaruh terhadap Adolf Hitler.

Aliran Gessingnungsethik

Diprakarsai oleh Albert Schweitzer, seorang ahli Teolog, Musik, Medik, Filsuf, dan Etika. Yang terpenting menurut aliran ini adalah “penghormatan akan kehidupan”, yaitu sedapat mungkin setiap makhluk harus saling menolong dan berlaku baik. Ukuran kebaikannya adalah “pemelihataan akan kehidupan”, dan yang buruk adalah setiap usaha yang berakibat kebinasaan dan menghalangi-halangi hidup.

Aliran Idealisme

Sangat mementingkan eksistensi akal pikiran manusia sebab pikiran manusialah yang menjadi sumber ide. Ungkapan terkenal dari aliran ini adalah “segala yang ada hanyalah yang tiada” sebab yang ada itu hanyalah gambaran/perwujudan dari alam pikiran (bersifat tiruan). Sebaik apapun tiruan tidak akan seindah aslinya (yaitu ide). Jadi yang bai itu hanya apa yang ada di dalam ide itu sendiri.

Aliran Eksistensialisme

Etika Eksistensialisme berpandangan bahwa eksistensi di atas dunia selalu terkait pada keputusan-keputusan individu, Artinya, andaikan individu tidak mengambil suatu keputusan maka pastilah tidak ada yang terjadi. Individu sangat menentukan terhadao sesuatu yang baik, terutama sekali bagi kepentingan dirinya. Ungkapan dari aliran ini adalah “ Truth is subjectivity” atau kebenaran terletak pada pribadinya maka disebutlah baik, dan sebaliknya apabila keputusan itu tidak baik bagi pribadinya maka itulah yang buruk.

Aliran Marxisme

Berdasarkan “Dialectical Materialsme” yaitu segala sesuatu yang ada dikuasai oleh keadaan material dan keadaan material pun juga harus mengikuti jalan dialektikal itu. Aliran ini memegang motto “segala sesuatu jalan dapatlah dibenarkan asalkan saja jalan dapat ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan”. Jadi apapun dapat dipandang baik asalkan dapat menyampaikan/menghantar kepada tujuan

PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES(POTONG GIGI)

PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES(POTONG GIGI)


Oleh; I Wayan Sudarma (Shri danu Dharma p)
Upacāra mapandes disebut pula matatah, masangih yang dimaksud adalah memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus (singgih) dari kata masangih tersebut.
Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra Saskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra Manusa Yajña.
  1. Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah:
    Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata deva
    ya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
  2. Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
  3. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaa, Gaeśa atau Gaapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.
Upacāra ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra
Adapun tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung tujuan, sebagai berikut:
  1. Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
  2. Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
  3. Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
  4. Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Kini timbul pertanyaan, kapankah saat yang tepat untuk melaksanakan upacāra Mapandes? Bila kita memperhatikan berbagai sumber yang tertulis di dalam lontar, seperti lonatr Dharma Kahuripan dan lain-lain, sebenarnya upacāra ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang anak, dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi. Upacāra ini dapat digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi seorang gadis atau seorang perjaka.
Dalam kenyataan di kalangan umat Hindu, upacāra Mapandes ini dilakukan bersamaan atau dirangkai dengan upacāra Piṭṛa Yajna terutama Mamukur atau dirangkai sebelum upacāra Pawiwahan (perkawinan), dilakukan secara masal bergabung dengan keluarga besar untuk mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacāra Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, yakni apakah perlu upacāra bagi seseorang yang telah meninggal. Terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai berikut:
  1. Mapandes adalah upacāra Manusa Yajña (Śarīra Sasakara) yang patut dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
  2. Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya dengan upacāra simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi diupacārakan Mapandes.
  3. Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.
Berdasarkan rangkaian upacāra Mapandes yang dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacāra tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Magumi Padangan. Upacāra ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur.
  2. Ngekeb. Upacāra ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
  3. Mabhyakāla. Upacāra ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhūtakāla, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacāra ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
  4. Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacāra ini mengandung makna untuk:
a)     Memohon wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang bersangkutan menyelenggarakan upacāra potong gigi.
b)     Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Śiva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.
c)      Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
d)     Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.
e)     Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.
f)      Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Śiva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacāra ini seperti simbolik Sang Hyang Śiva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatāra Kāla.
  1. Upacāra di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacāra di pamarajan, maka remaja yang mengikuti upacāra Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacāra Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacāra yang dikandung adalah sebagai berikut:
a)     Menyembah dewa Sūrya untuk mempermaklumkan sekaligus memohon persaksian-Nya.
b)     Menyembah Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke jalan yang benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri masing-masing (sukla-svanita), jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui perkawinan di kemudian hari.
c)      Memohon Tirtha kepada Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, sebagai simbol telah mendapat restu dan perkenan-Nya.
d)     Ngayab Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan lahir dan batin, karena masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk dorongan nafsu yang jahat.
e)     Mepandes, yakni dilaksanakannya upacāra panggur oleh sangging, guna menyucikan diri pribadi dari gangguan Sadripu.
f)      Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacāra Mapendes, dengan Sadripu dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.
  1. Menikmati Sirih-lekesan, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang Śiva beserta Pañca Dewata senantiasa akan melindunginya.
  2. Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan tapa brata, menyucian diri, lahir dan batin.
  3. Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacāra yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha, yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat jahat.
  4. Mapinton. Upacāra ini mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacāra Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.
Demikianlah sepintas makna yang terkandung dari rangkaian upacāra Mapandes, yang tidak lain guna membimbing umat manusia lebih meningkatkan Śraddhā dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur.
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN KELUARGA
Upacāra Mapandes adalah merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) untuk menyelenggarakannya, dan bila kita kaji secara seksama, seorang anak sesungguhnya adalah pula leluhur kita yang menjelma untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin) yang pada akhirnya dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan kebahagian hidup di dunia ini) dan Moka (bersatunya Ātman dengan Paramātman).
Dalam melakukan Yajña ini, landasan yang paling mendasar bagi Sang Yajamana (yang melaksanakan atau yang memiliki upacāra itu), Sang Amancagra (tukang bebanten dan sangging), dan Sang Pandita (yang memimpin dan menyelesaikan upacāra) adalah ketulusan hati. Ketulusan ini patut pula diikuti oleh para Athiti tamu undangan) guna Yajña tersebut berhasil Śiddhakarya.
Untuk mengembangkan ketulusan hati, utamanya Sang Yajamana bersama keluarga hendaknya dapat melakukan berbagai Brata, seperti Upavaśa (mengendalikan diri untuk tidak menikmati makanan) pada saat puncak upacāra berlangsung, dan senantiasa memusatkan pikiran kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk keberhasilan dari Yajña yang diselenggarakan.
PENUTUP
Demikianlah tulisan singkat ini kami sampaikan dalam rangka mewujudkan partisipasi kami, semoga Yajña yang sangat mulia ini mencapai Śiddhaning Don, Śiddhakarya sebagai yang kita harapkan.
O Śānti Śānti Śānti O

Inilah 7 Ikan Cupang Tercantik Di Dunia

7 Ikan Cupang Tercantik Di Dunia

Sejak lima tahun terakhir ikan cupang menjadi primadona ikan hias.Ikan dengan beraneka warna yang menawan ini tetap eksis sebagai salah satu ikan hias terbaik di dunia dan kerap diperlombakan dalam kontes ikan cupang hias.Penggemar ikan cupang hias bukan hanya
di indonesia saja tetapi juga tersebar di seluruh dunia antara lain di Asia Tenggara,Eropa,Amerika Serikat dan Amerika Latin.Hal ini terbukti seringnya diselenggarakan berbagai even kontes ikan cupang (Betta Splendens) di berbagai negara di benua tersebut.





















Ikan cupang adalah ikan hias yang sangat dikenal luas dan digemari oleh masyarakat dari anak-anak,remaja,orang tua,pria maupun wanita karena ikan tersebut memiliki penampilan yang sangat menarik perhatian,fisik yang cantik,beraneka ragam warna yang indah dan dapat dikonteskan.Tak tanggung2 para hobiis dan pemain rela membeli ikan cupang yang mahal karena memiliki kriteria ikan cupang yang indah dan menawan yang berpotensi memenangkan kontes tersebut.

Dalam dunia ikan cupang hias juga telah terbentuk organisasi international yaitu International Betta Contest (IBC).Di indonesia banyak asosiasi yang mewakili daerahnya masing-masing yang sering mengadakan kontes ikan cupang hias secara rutin tiap bulan bahkan sekarang bisa tiap minggunya.Semua kontes yang diselenggarakan tersebut bertujuan memamerkan keindahan ikan cupang hias sekaligus melakukan pencerahan dan penyuluhan bagi para peserta,hobiis dan peternak cupang.Kontes cupang hias tidak hanya dilaksanakan di pulau jawa saja tetapi juga dibeberapa pulau seperti pulau sumatra,kalimantan,sulawesi,maluku



Sumber

Baca Juga Artikel Yang Lainnya:

·