Google Translate

RINGWORM pada hewan




1.         Etiologi
            Penyebab ringworm ialah cendawan dermatofit yaitu sekelompok cendawan dari genus Epidemofhyton, Microspiton dan Trichophyton. Cendawan dermatofit penyebab ringworm menurut taksonomi tergolong fungi imperfektin, karena pembiakannya dilakukan secara aseksual, namun ada juga yang secara seksual tergolong Ascomycetes.
Divisi         : Amastigomycotina.
Sub-Divisi : Ascomycotin
Klas          : Deuteromycetes
Ordo         : Moniliales
Family        : Moniliaceae
Genus        : Microsporum, Trichophyton
Species      : M. canis, M. gypseum, T.mentagrophytes
 Penyebab ringworm pada sapi adalah jamur dermatofit yaitu jamur dari genus Trichophyton dan spesies Trichophyton verrucosum, T. mentagrophytes dan T. megninii .
Salah satu gangguan kesehatan pada kulit yang sering terjadi pada sapi bali dapat disebabkan oleh infeksi jamur. Penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi jamur ini dikenal juga dengan istilah dermatomikosis (dermatophytes). Penyakit kulit oleh infeksi jamur / dermatomikosis yang terjadi pada sapi diantaranya yaitu ringworm. Ringworm merupakan salah satu penyakit kulit yang paling umum pada sapi. Trichophyton spp. dan Microspoum spp., merupakan 2 jenis jamur yang menjadi penyebab utama ringworm. Jamur tersebut hidup pada permukaan tubuh pada keratin dari kulit, kuku, rambut, bulu, maupun tracak. Penyakit ringworm ini dapat menular dari hewan penderita ke hewan sehat serta ke manusia (zoonosis).
2.         Epidemiologi
Sebaran geografis keberadaannya cukup luas, namun kejadian ringworm lebih sering di negara – negara yang beriklim tropis atau dingin, karena dalam bulan – bulan musim dingin, hewan selain kurang menerima sinar matahari secara langsung, juga sering bersama – sama di kandang, sehingga kontak langsung diantara sesama individu lebih banyak terjadi. Penyebaran spora, yang dapat tahan berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dapat berlangsung secara kontak langsung atau tak langsung maupun melalui udara. Penyebaran infeksi dapat terjadi karena kontak langsung dengan hewan atau patahan bulu yang terinfeksi.
Pada sapi, ringworm umumnya terjadi pada sapi muda dengan morbiditas sampai 40%. Hal ini mungkin disebabkan oleh pH kulit yang lebih tinggi pada usia pedet dan pada individu dewasa kulit sudah memiliki kekebalan (innate immunity). Ringworm pada sapi umumnya berkaitan dengan masalah kebersihan kandang dan kebersihan sapi itu sendiri. Scott (1988), menyatakan bahwa lingkungan adalah sumber utama penyakit jamur yang lebih sering terjadi di saat musim hujan pada hewan yang dikandangkan.

3.         Patogenesis
Ringworm pada sapi lebih banyak diderita oleh hewan muda daripada yang dewasa. Hal ini disebabkan karena pada hewan dewasa telah terbentuk kekebalan. Perubahan klinis dimulai dengan eritema, kemudian diikuti dengan eksudasi, panas setempat, dan terjadinya alopecia. Spora jamur penyebab ringworm dapat melekat pada bagian tubuh tertentu melalui kontak langsung atau tak langsung maupun melalui udara. Kemudian spora jamur penyebab ringworm tumbuh pada jaringan yang mengandung keratin seperti kulit, rambut dan kuku. Hal ini disebabkan karena ringworm menggunakan keratin sebagai sumber makanan (keratinophilic/keratinofilik). Jamur penyebab infeksi parasit (dermatophytes) ini memakan keratin, yaitu material yang terbentuk di lapisan terluar dari kulit, rambut dan kuku. Jamur penyebab ringworm ini menghasilkan enzim seperti asam proteinase, elastase, keratinase dan proteinase lain yang merupakan penyebab keratinolisis/keratinolitik. Infeksi ringworm dapat dimulai dari kulit kepala, selanjutnya dermatofita tumbuh ke bawah mengikuti dinding keratin folikel rambut. Infeksi pada rambut berlangsung tepat di atas akar rambut. Sebagian memasuki batang rambut (endotrix), membuat rambut mudah patah di dalam atau pada permukaan folikel rambut / black dot ringworm.
Pertumbuhan ringworm bersifat mengarah ke dalam karena toksin yang dihasilkan menyebabkan jaringan yang hidup, epidermis, dan dermis yang kaya pembuluh darah, berusaha melawan allergen yang berbentuk toksin tersebut hingga terjadi radang kulit. Karena jamur tidak tahan dalam suasana radang, jamur berusaha meluas ke pinggir lesi, hingga akhirnya terbentuk lesi yang berupa lesi yang bulat atau sirkuler berwarna coklat kekuningan, dengan bagian tengahnya mengalami kesembuhan.
4.         Gejala Klinis
Pada sapi di bagian permukaan kulit dan bulu yang terinfeksi akan ditemukan adanya lesi berbentuk bulatan-bulatan seperti cincin dalam berbagai ukuran dan berwarna keputih-putihan, yang dalam keadaan intensif dapat disertai dengan adanya kerak-kerak peradangan dan kerontokan bulu. Lesi ini dapat ditemukan pula di daerah kepala, leher dan bahu. Pada sapi tidak dijumpai tanda-tanda kegatalan, hewan yang parah tubuhnya sangat kurus dan tidak ada nafsu makan.
Perubahan klinis ringworm bervariasi pada berbagai jenis hewan dan gambaran yang dihasilkan oleh satu spesies jamur mungkin bervariasi untuk spesies ternak yang sama, hal tersebut mungkin disebabkan oleh kemampuan hewan bereaksi secara imunologik.
Gejala klinis yang teramati dari kasus ringworm pada sapi adalah kulit bewarna kemerahan, keropeng dengan bentukan sisik - sisik dan penebalan, lesi terdapat di kepala, leher, dekat mata atau mulut, pangkal ekor, bahu atau di tempat lain dari tubuh serta alopesia. Lesi berbentuk bulatan – bulatan seperti cincin dalam berbagai ukuran dan berwarna keputih – putihan yang dalam keadaan intensif dapat disertai dengan adanya kerak – kerak peradangan. Hal ini sejalan dengan Al-Ani et. al (2002) yang menyatakan bahwa dari 115 ekor sapi pada penelitiannya yang menderita penyakit ringworm menunjukkan gejala klinis berupa lesi berbentuk bulat, berbatas, berwarna putih keabuan dan lesinya kasar. Timbulnya alopesia dapat bersifat lokal maupun meluas kebagian tubuh yang lainnya. Secara lokal, kebanyakan rambut yang rontok mempunyai kaitan dengan penyakit kulit, eczema, skabies, demodekosis maupun dermatomikosis.
5.         Diagnosa
Penyakit ini dapat dikelirukan dengan lesi yang diperlihatkan seperti infeksi bakteri dan dermatitis lainnya, namun dengan adanya bentuk cincin pada derah yang terinfeksi dan tidak adanya tanda-tanda kegatalan dapat memastikan bahwa hewan tersebut menderita penyakit ringworm (Scott, 1988). Untuk mendiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel kerokan kulit, serpihan kuku, rambut. Kemudian dapat diperiksa dengan pemeriksaan langsung dengan mikroskop atau dengan membuat biakan pada media. Pemeriksaan langsung mikroskop dengan cara membuat preparat native yang diberikan potasium hydroxide (KOH) 10% kemudian diamati dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran 100x dan 400x. Dari kerokan kulit dan folikel rambut yang diperiksa secara mikroskopik dengan pewarnaan laktofenol cotton biru ditemukan endotrik dan eksotrik serta diidentifikasi sebagai Trichophyton verrucosus dan Trichophyton mentagrophyte. Pada biakan/kultur media, sampel yang diambil dari hewan suspect ringworm diberikan KOH 20% dan ditumbuhkan pada media Sabouraud Glucose Agar (SGA) yang ditambah chloramphenicol dan cycloheximide untuk menghambat kontaminasi bakteri dan jamur saprofic. Media di inkubasi selama 4 minggu dengan temperatur 28 sampai 30ÂșC (Ozkanlar et al, 2009).
Pemeriksaan ringworm juga dapat dilakukan dengan metode Wood’s Lamp / Wood’s light. Subroto (2003), menyatakan bahwa jamur – jamur M. canis, M. distortum dan M. audouinii memberikan flouresensi hijau kekuningan apabila terkena sinar ultraviolet (Wood’s light).
6.         Diagnosa Banding
Lesi ringworm perlu dibedakan dari lesi akibat gigitan serangga, urtikaria, infeksi oleh kuman dan seborrhea (Subronto, 2003).       
7.         Pengobatan
Meski secara alamiah dapat sembuh sendiri namun pengobatan pada hewan penderita harus dilakukan. Pada beberapa kasus, ringworm dapat sembuh sendiri sekitar satu sampai tiga bulan terkecuali sapi mengalami kelemahan akibat infeksi parasit lain, kekurangan gizi dan lain – lain. Mekanisme secara alamiah untuk menghilangkan infeksi ringworm dapat terjadi akibat berhentinya produksi keratin sebagai akibat dari reaksi peradangan. Terdapat beberapa kelompok obat dengan berbagi cara dapat dipakai untuk menghilangkan ringworm, yaitu obat Iritan bekerja untuk membuat reaksi radang sehingga tidak terjadi infeksi dermatofit, obat keratolitik bekerja untuk menghilangkan ringworm yang hidup pada stratum korneum dan obat fungisidal yang secara langsung merusak dan membunuh ringworm. Pengobatan dapat dilakukan secara sistemik dan topical. Secara sistemik dapat diberikan preparat griseofulvin dengan dosis 7,5 - 10 mg/kg secara PO satu kali sehari. Secara topikal menggunakan mikonazol 2 % (Chermette et al, 2008) atau salep yang mengandung Asam benzoat 6 g, asam salisilat 3 g, sulfur 5 g, iodine 4 g and vaseline 100 g.
Menurut Subronto (2003), menyatakan bahwa secara farmakologik obat – obat ringworm dibedakan ke dalam 5 golongan yaitu :
1. Iritansia, yang menghebatkan proses radang
2. Keratolitikum, yang meluruhkan dan menghilangkan keratin
3. Fungistatikum, yang menahan pertumbuhan jamur lebih lanjut
4. Fungisid, yang membunuh jamur secara langsung
5. Obat yang menghentikan pertumbuhan rambut, hingga keratin juga tidak terbentuk.
8.         Pencegahan
Salah satu cara yang efektif untuk pencegahan adalah meningkatkan kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Kandang sapi harus sering dijaga kebersihannya dengan membersihkan secara teratur, sapi diberikan konsentrat, rumput dan vitamin seperlunya. Pencegahan terjadinya penyebaran penyakit ringworm dapat juga dilakukan dengan cara mengisolasi hewan yang terinfeksi ringworm agar tidak terjadi kontak dengan hewan sehat dan vaksinasi. Upaya pengembangan vaksin ini untuk vaksinasi dalam mencegah jamur dermatofitosis pada spesies hewan yang berbeda telah dimulai lebih dari tiga puluh tahun yang lalu. Pengenalan sebuah vaksin hidup berisi LTF-130 strain T. verrucosum terhadap dermatofitosis bovine (Ringvac) digunakan dalam pemberantasan penyakit di negara di mana vaksinasi bisa diterapkan dengan skala yang luas dan sistematis.
Vaksinasi dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ringworm. Mekanisme kerja vaksin adalah pengaktifan sel Th1 yang merangsang Cellular Mediated Immunity (CMI) yang ditandai dengan pelepasan cytokines interferon-c (IFN-c), interleukin 12 (IL-12), and IL-2 oleh sel epitel skuamosa yang merupakan sel utama epidermis (Lund and DeBoer, 2008). Vaksinasi adalah pencegahan yang baik pula, namun relatif mahal (Chermette et al, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad., R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor.
Boel., T. 2009. Mikosis superficial. Fakultas kedoteran gigi. Universitas Sumatera Utara.
Pohan., A. 2009. Bahan Kuliah Mikologi. arthur@fk.unair.ac.id.
Ahmad R Z. 2005. Permasalahan Dan Penanggulangan Ringworm Pada hewan. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lkzo05-47.pdf
Al-Ani F. K., F. A. Younes, and O. F. Al-Rawashdeh. 2002. Ringworm Infection in Cattle and Horses in Jordan. Acta Vet. Brno :71: 55-60. http://vfu-www.vfu.cz/acta-vet/vol71/pdf/71_055.pdf
Lund. A and D. J. DeBoer. 2008. Immunoprophylaxis of Dermatophytosis in Animals. Mycopathologia. Springer Science and Business Media B.V. http://www.springerlink.com/content/6241w828q4374715/fulltext.
Ozkanlar Y., M. S. Aktas and E. Kirecci. 2009. Mycozoonosis Associated with Ringworm of Calves in Erzurum Province Turkey. Department of Internal Medicine, Faculty of Veterinary Medicine, AtatĂŒrk University. Erzurum - TURKEY

Contoh resep dokter hewan



Dr. S.H. Pudjihadi
DSP/50005/03.P/75B

Jl. Yusuf Adiwinata SH 62 – Jakarta,  Telp. 45011
Jam bicara 3 - 5 sore
Hari Senin , Rabu, Jum’at                  

Jakarta, 20 Mei 2000
R/
Extr. Bellad
120 mg

HCl Ephed.                         
300 mg

C.T.M                                    
  50 mg

Doveri Pulv.
3

O.B.H
300 ml

m.f. potio


s.t.d.d. C

Paraf dokter
Pro
:   Halimah                                               
Umur
:   7 tahun
Alamat
:   Jl. A. Yani  57 Surabaya.









APOTIK     BAHARI
Jl. Thamrin No. 3
Jakarta - Telp. 378945
APA :  Drs. Bambang Hariyanto, Apt
SIK .....................................................
Salinan resep No      :     259
Dari dokter               :     Joko Susilo
Ditulis tanggal         :      5 Nofember 2001
Pro                           :       Nn. Andriani


R/ Amoxycillin  500          No. XII
           S.3.d.d.I                                   ----- det
R/  Ponstan  FCT               No.  XII
           S.p.r.n. I                                    -----ne  det

                                                                                 Jakarta, 5 Nofember 2001
                                                              Cap apotik                   pcc
                                                                                           Tanda tangan APA

PENGGOLONGAN OBAT



II. Pembahasan

A. Pengertian Obat
Menurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Menurut Ansel (1985), obat adalah zat yang digunakan untuk diagnosis, mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit pada manusia atau hewan.
Obat dalam arti luas ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. (Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia)
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi (Kebijakan Obat Nasional, Departemen Kesehatan RI, 2005).
Obat merupakan benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh.
Obat merupakan senyawa kimia selain makanan yang bisa mempengaruhi organisme hidup, yang pemanfaatannya bisa untuk mendiagnosis, menyembuhkan, mencegah suatu penyakit.

B. Penggolongan Obat
Obat-obat yang beredar di pasaran Indonesia, digolongkan oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) dalam empat penggolongan umum, yaitu : Obat narkotika , Obat keras , Obat bebas terbatas , Obat bebas. Penggolongan ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda pada kemasannya pada bagian kemasan yang segera terlihat.


1. Obat Bebas

Merupakan obat yang dapat digunakan tanpa resep dokter. Ditandai dengan lingkaran berwarna hijau dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat bebas umumnya berupa suplemen vitamin dan mineral, obat gosok, beberapa analgetik-antipiretik, dan beberapa antasida. Obat golongan ini dapat dibeli bebas di Apotek, toko obat, toko kelontong, warung. Contoh : parasetamol, vitamin atau multivitamin (Livron B Plex)

2. Obat Bebas Terbatas (daftar W = Waarschuwing = peringatan )

Merupakan obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter. Ditandai dengan lingkaran berwarna biru dengan tepi lingkaran berwarna hitam. Obat-obat yang umunya masuk ke dalam golongan ini antara lain obat batuk, obat influenza, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), beberapa suplemen vitamin dan mineral, dan obat-obat antiseptika, obat tetes mata untuk iritasi ringan. Obat golongan ini hanya dapat dibeli di Apotek dan toko obat berizin. Contoh : Antimo (obat anti mabuk), Neozep, Decolgen, Visine,

3. Obat Keras (daftar G = gevaarlijk = berbahaya)

Merupakan obat yang pada kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat huruf K berwarna merah yang menyentuh tepi lingkaran yang berwarna hitam. Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter. Obat-obat yang umumnya masuk ke dalam golongan ini antara lain :
• Antibiotik : amoksisilina, ampisilina, super tetra, tetracycline, trisulfa, ripamfisin, khlorampenicol, dan lain-lain.
• Anti mual : metoklopramid HCL dan lain-lain.
• Pencahar : bisacodil (dulcolax, dan lain-lain).
• Obat sakit perut : Hyosine N-butilbromide (buscopan, dan lain-lain).
• Obat asma : aminophyline, salbutamol, dan lain-lain.
• Penghilang nyeri : asam mefenamat (ponstan, mectan, dan lain-lain).
• Antihistamin : dimenhidrinat (antimo, dan lain-lain), Dexchlorphynrimine maleat (CTM, dan lain-lain).
• Anti jamur : Nistatin, mekonazol.
• Pemucat kulit : hidroquinon, dan lain-lain.
• Anti rematik : ibuprofen, diclofenac, piroxicam, dan lain-lain.
• Kortikosteroid : dexamethasone, prednisone, dan lain-lain.
• Obat lambung : cimetidine, ranitidine, dan lain-lain.
• Obat Asam urat : allopurinol, dan lain-lain.
• Obat Kencing manis : glibenclamid, dan lain-lain.
• Obat tekanan darah tinggi : captopril, reserpin, HCT, dan lain-lain.

Obat-obat tersebut jika dikonsumsi tanpa pengawasan dokter akan menimbulkan efek samping terhadap tubuh (jantung, hati, lambung, ginjal, dan lain-lain), baik karena dosis yang berlebihan maupun karena waktu pemakaian yang terlalu lama maupun terlalu pendek dan tergantung jenis obat yang dikonsumsi. Efek samping tersebut baik ringan, seperti gatal-gatal, pusing, mual-mual, nyeri ulu hati, sampai yang berat, diare, sampai yang berat berupa menurunnya kesadaran, koma bahkan kematian. Saat ini obat-obat daftar G tersebut dapat ditemui di beberapa outlet yang secara kewenangan tidak dibenarkan menjual obat tersebut. Hal ini terjadi karena masih lemahnya mekanisme kontrol terhadap peredaran obat tersebut mulai dari pabrik, distributor maupun di tingkat pengecer, terbatasnya tenaga pengawas terhadap peredaran obat-obatan tersebut, kebutuhan masyarakat yang cukup tinggi terhadap obat-obatan tersebut, dan harga yang lebih miring dibanding jika dibeli di outlet resmi (apotik) tanpa menyadari bahaya yang akan timbul.

4. Obat Narkotika (daftar O = opium)

Merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UURI No. 22 Th 1997 tentang Narkotika). Obat ini pada kemasannya ditandai dengan lingkaran yang didalamnya terdapat palang (+) berwarna merah. Obat Narkotika bersifat adiksi dan penggunaannya diawasi dengan ketat, sehingga obat golongan narkotika hanya diperoleh di Apotek dengan resep dokter asli (tidak dapat menggunakan kopi resep). Contoh dari obat narkotika antara lain: opium, coca, ganja/marijuana, morfin, heroin, obat anti depressan (seperti diazepam, clobazam, lithium), obat anti ansietas (seperti benzodiasepin, alprazolam) atau anti-psikotik (seperti chlorpromazine, haloperidol) dan lain sebagainya. Dalam bidang kesehatan, obat-obat narkotika biasa digunakan sebagai anestesi/obat bius dan analgetik/obat penghilang rasa sakit. Macam-macam narkotika:

a. Opiod (Opiat)
Bahan-bahan opioida yang sering disalahgunakan :
• Morfin
• Heroin (putaw)
• Codein
• Demerol (pethidina)
• Methadone
b. Kokain
c. Cannabis (ganja)

5. Obat tradisional/Jamu
Obat Tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

III. Penutup
A. Kesimpulan :
Obat merupakan sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap untuk digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan, kesehatan dan kontrasepsi. Dalam peredarannya, obat dibagi menjadi lima golongan yang memiliki fungsi, dan aturan pemakaiannya masing-masing. Oleh karena itu, sebagai konsumen kita harus memahami dan mengetahui jenis obat dan cara pemakaiannya secara tepat agar tidak menimbulkan dampak negative bagi kita.

B. Daftar Pustaka

Muchid, Abdul dkk. 2006. Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta : Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan.

Sanjoyo, Raden. 2007. Obat (Biomedik Farmakologi). Yogyakarta : FMIPA Universitas Gadjah Mada

Hasto. 2010. Kenali Lebih Baik Jenis-jenis Obat (2). http://www.tabloidnova.com, diunduh pada tanggal 29 September 2010

Ardyanto, T.D. 2006. Obat Bebas, Obat Keras. http://www.tonangardyanto.blogspot.com, diunduh pada tanggal 29 September 2010

Veteriner, Mariana. 2008. Sekilas Mengenai Dimenhidrinate. http://www.marianaveteriner.blogspot.com, diunduh pada tanggal 28 September 2010

Baca Juga Artikel Yang Lainnya:

·