Pemeriksaan pada Hewan Hidup
Parasit cacing dapat ditemukan dalam hampir semua bagian dari tubuh
induk semangnya. Karena itu
pemeriksaan pada hewan hidup harus dilaksanakan seteliti mungkin, baik bagian
luar maupun bagian dalam. Sebagian besar dari jenis
cacing tinggal dalam saluran cerna atau dalam alat tubuh yang berhubungan
dengan saluran pencernaan. Selama hidupnya parasit menghasilkan produk biologis
misalnya telur, yang keluar bersama tinja hospes. Karena itu diagnosis harus disertai dan dikuatkan
dengan pemeriksaan tinja.
Makin banyak cacing maka banyak pula telur yang dihasilkan tiap
hari, yang tercampur merata dengan tinja. Hospes mengeluarkan tinja dalam
jumlah yang kurang lebih tetap tiap hari, karena itu pemeriksaan tinja bukan hanya
untuk melihat ada tidaknya telur cacing, tetapi yang lebih penting lagi ialah untuk menghitung berapa telur yang
terkandung dalam tiap gram tinja hewan yang diperiksa (TTGT). Banyaknya
telur tiap gram tinja berkorelasi positip dengan banyaknya cacing, sehingga ttgt menunjukkan derajat infeksi
Untuk keperluan diagnosis dan identifikasi cacing lebih meyakinkan
tinja harus dikirim ke laboratorium. Tinja yang dikirimkan perlu diawetkan agar
telur cacing tidak menetas dalam perjalanan. Bahan pengawet atau pencegah penetasan adalah
formalin 10 % atau fenol-glyserin yaitu campuran antara fenol, glyserin dan
akuades dalam perbandingan 1 : 5 : 94. Sedangkan pengawetan parasitnya (cacing)
dapat digunakan alkohol 70 % untuk keperluan identifikasi.
Pemeriksaan telur cacing (kualitatif) dapat menggunakan metoda
natif, sedimen dan pengapungan. Zat pengapung dapat digunakan antara lain :
gula jenuh dan garam jenuh. Fungsi zat
pengapung untuk mengapungkan telur cacing, karena berat jenis (BJ) cairan lebih tinggi dari BJ
telur cacing.
Pemeriksaan telur
cacing (metoda kuantitatif) untuk menghitung telur cacing per gram tinja (ttgt)
dilakukan dengan metoda Stoll dan Metoda Mc. Master atau modifikasi Mc Master.
Faktor yang Mempengaruhi perhitungan telur (ttgt)
1.
kepadatan atau konsistensi
feses (tinja kering, lembek,encer)
2.
banyaknya tinja yang
dikeluarkan tiap hari oleh hewan sering kali berbeda.
3.
Produksi telur harian tiap
jenis cacing berbeda
4.
Distribusi telur dalam tinja
tidak selalu merata
5.
Produksi telur cacing tua dan cacing
muda berbeda.
6.
Perbandingan antara cacing
jantan dan betina
7.
Reaksi immunologic dari cacing
terhadap hospes .
Deteksi infeksi cacing melalui pemeriksaan feses tergantung produksi
telur yang dikeluarkan cacing. Kesalahan dalam diagnosa melalui pemeriksaan
feses dengan menemukan telur cacing dapat terjadi ( False negatif dan False
positif).
Penomena False negatif : pada pemeriksaan feses tidak ditemukan telur cacing, tetapi hewan
tersebut sudah terinfeksi cacing. Hal ini dapat terjadi bila hewan hanya mengandung
cacing muda yang belum memproduksi telur. Dapat juga terjadi bila sedikit
cacing dewasa yang menginfeksi ( hanya jantan atau betina ).
Penomena False positif : pada
pemeriksaan feses ditemukan telur cacing tetapi hewan tersebut tidak terinfeksi
cacing. Hal ini terjadi bila memakan telur cacing yang belum infektif
(unembryonated) contoh : Ascaris suum
dan Trichuris sp. Kerugian
Akibat Infeksi Cacing :
Kerusakan tergantung : Patogenitas, derajat infeksi, habitat dan kondisi
kekebalan hospes. Beberapa kerusakan atau gangguan
akibat infeksi cacing adalah :
1. Menghisap sari Makanan. Dan gannguan
metabolisme umum (kurus )
2. Menimbulkan penyumbatan pada usus, saluran
empedu dan pembuluh darah.
3. Tekanan pada syaraf oleh gelembung atau
tumor
4.
Menghisap darah /limfe hospes
5.
Merusak selaput lendir usus
hospes
6.
Kerusakan jaringan organ tubuh
hospes
7. Membuat luka yang memudahkan infeksi
mikroorganisme patogen
8. Larva migrasi merusak organ/jaringan tubuh
9. Menimbulkan tumor atau nodul pada usus
10. Mengeluarkan zat toksis seperti haemosilin
dan antikuagulan
Bahan
Bacaan :
1.
Georgi, J. R and Georgi, M. E
(1990). Parasitology for Veterinarians. 5 th Ed. W. B. Saunders Company.
2.
Soulsby, E.j.l (1982).
Helminth, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals. 7thEd.
Bailliere Tyndall. W.B. Saunders. London.
3.
Levine,
N. D. (1990). Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Pess
Yogyakarta
4.
Urguhart, G.M, J. Amour,
JL.Duncan, A. M. Dunn and F.W. Jennings, 1987. Veterinary Parasitology.
Departement of Veterinary Medicine. The University of Glasgow.
Scotland.
5. Kusumamiharja, S. 1992. Parasit dan
Parasitosis Pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Departemen pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan tinggi . Institut Pertanian Bogor.
No comments:
Post a Comment