BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Spesies
yang termasuk ke dalam cestoda usus antara lain Diphyllobothrium latum, Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta,
Dipylidium caninum, Taenia saginata, dan
Taenia solium. Taenia solium dapat menyebabkan penyakit yang dikenal dengan
sistisekosis. Infeksi ini sering terjadi di negara berkembang. Lebih dari
80% dari 50 juta penduduk dunia yang terkena infeksi tinggal di negara
berkembang. Sistiserkosis terutama mempengaruhi kesehatan dan mata pencaharian
petani subsisten di negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin karena
dapat mengakibatkan epilepsi dan kematian pada manusia, mengurangi nilai pasar
babi dan membuat daging babi tidak aman untuk dimakan (WHO, 2011).
Infeksi
cacing taenia pada usus manusia disebabkan oleh Taenia solium, Taenia saginata dan Taenia asiatica di Asia dan Pasifik. Taeniasis yang disebabkan
oleh Taenia solium adalah masalah
kesehatan masyarakat yang serius di dunia karena telur dan proglotid dapat
menginfeksi manusia melalui kontaminasi dari lingkungan dan yang fatal adalah
neurosistiserkosis. Neurositiserkosis yang disebabkan oleh Taenia solium meningkat di daerah non endemis taeniasis (Malinee T.
Anantaphruti, et al., 2007).
Penyebaran Taenia
dan kasus infeksi akibat Taenia lebih banyak terjadi di daerah tropis karena
daerah tropis memiliki curah hujan
yang tinggi dan iklim yang
sesuai untuk perkembangan parasit ini. Taeniasis dan sistiserkosis akibat
infeksi cacing pita babi Taenia solium merupakan salah satu zoonosis di daerah yang
penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi lingkungannya
masih rendah, seperti di Asia
Tenggara, India, Afrika Selatan, dan Amerika Latin. Asian
Taenia dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Korea dan Cina. Kini Asian Taenia
disebut Taenia asiatica. Kejadian Taenia asiatica yang tinggi
terutama ditemukan di Pulau Samosir, Indonesia. Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3%
(106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis
selulosae dari babi. Sementara
28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba
benjolannya di bawah kulit.
Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae
yang menunjukkan gejala epilepsi.
Dari 257 pasien yang
menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya
sistiserkosis pada otak.
Prevalensi sistiserkosis pada
manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2%
sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar
antara 0,4%-23%. Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita
sistiserkosis di otak.
Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara berkisar
1,9%-20,7%. Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya
disebabkan oleh konsumsi daging
babi hutan setengah
matang.
B. Tujuan
Penyusunan
makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui
klasifikasi dari cestoda usus.
2. Mengetahui
morfologi cestoda usus.
3. Mengetahui
epidemiologi dan distribusi geografis cestoda usus.
4. Mengetahui
siklus hidup cestoda usus.
5. Mengetahui
patologi penyakit yang disebabkan oleh cestoda usus.
6. Mengetahui
cara pencegahan dan pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cestoda usus.
BAB
II
ISI
Cacing
pita termasuk subkelas CESTODA, kelas CESTOIDEA, filum PLATYHELMINTES. Cacing
dewasanya menempati saluran usus vertebrata dan larvanya hidup di jaringan
vertebrata dan invertebrata. Bentuk badan cacing dewasa memanjang menyerupai
pita, biasanya pipih dorsoventral, tidak
mempunyai alat pencernaan atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam
segmen-segmen yang disebu proglotid yang bila dewasa berisi alat reproduktif
jantan dan betina. Ujung bagian anterior berubah menjadi sebuah alat pelekat,
disebut skoleks, yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait. Spesies
penting yang dapat menimbulkan kelainan
pada manusia umumnya adalah : Diphyllobothrium
latum, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, Echinococcus multilocularis,
Taenia saginata, dan Taenia solium.
Manusia merupakan hospes cestoda ini dalam bentuk :
A. Cacing
dewasa, untuk spesies Diphyllobothrium
latum, Taenia saginata, Taenia solium, Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta,
Dipylidium caninum.
B. Larva,
untuk spesies Diphyllobothrium sp, Taenia
solium, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, Multiceps.
Sifat-sifat
umum dari cestoda antara lain:
1. Badan
cacing dewasa terdiri atas :
a. Skoleks,
yaitu kepala yang merupakan alat untuk melekat, dilengkapi dengan batil isap
atau dengan lekuk isap.
b. Leher,
yaitu tempat pertumbuhan badan.
c. Strobila,
yaitu badan yang terdiri atas segmen-segmen yang disebut proglotid. Tiap
proglotid dewasa mempunyai susunan alat kelamin jantan dan betina yang lengkap
sehingga disebut hermafrodit.
2. Telur
dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus.
3. Embrio
di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh menjadi
bentuk infektif dalam hospes perantara.
Spesies
yang termasuk ke dalam cestoda usus antara lain Diphyllobothrium latum, Hymenolepis nana, Hymenolepis diminuta,
Dipylidium caninum, Taenia saginata, dan
Taenia solium.
A.
Diphyllobothrium latum
A.1
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class : Cestoda
Ordo : Pseudophyllidea
Family : Diphyllobothriidae
Genus : Diphyllobothrium
Species : Diphyllobotrium latum
A.2
Morfologi
Gambar
Diphyllobothrium latum
Cacing
dewasa yang keluar dari usus manusia berwarna gading atau kuning keabuan
merupakan cacing pita yang terpanjang pada manusia. Ukuran panjangnya 3 sampai
10 m dan terdiri dari 3000-4000 buah proglotid dengan tiap proglotid mempunyai
alat kelamin jantan dan betina yang lengkap. Alat kelamin jantan berakhir di cirrus
yang berotot pada lubang kelamin tunggal. Alat kelammin betina terdiri dari
ovarium yang simetris, berlobus dua, sebuah vagina yang berjalan dari lubang
kelamin tunggal dan sebuah uterus yang bermuara di lubang uterus di garis
tengah ventral pada jarak pendek di belakang lubang kelamin tunggal. Uterus
yang hitam berkelok-kelok dan menyerupai roset di tengah-tengah proglotid
matang, adalah tanda yang khas yang digunakan untuk diagnosis. Dari uterus yang
melebar di proglotid gravid tiap hari dikeluarkan 1 juta telur yang berwarna
kuning tengguli ke dalam rongga usus. Proglotid ini akan mengalami disintegrasi
bila sudah selesai mengeluarkan telur-telurnya.
Gambar
scoleks Diphyllobotrium latum
Scoleks yang kecil dan berbentuk
buah badan (almond), dengan ukuran 2-3 x 1 mm, mempunyai dua lekuk isap yang
dalam dan letaknya dorsoventral. Telur cacing ini berukuran 55-76 x 41-56
mikron, mempunyai selapis kulit telur dengan operkulum yang tidak tampak jelas pada
satu kutub dan sering terdapat sebuah penebalan pada kutub lain seperti
benjolan kecil.
Gambar telur Diphyllobothrium
latum
A.3
Siklus Hidup
Gambar
siklus hidup Diphyllobothrium latum
Telur
dikeluarkan melalui lubang uterus proglotid gravid dan ditemukan dalam tinja. Pada
suhu yang sesuai telur menetas dalam waktu 9-12 hari setelah sampai di air. Embrio
didalam embriofor yang bersilia keluar melalui lubang operkulum. Korasidium
bersilia yang berenang bebas dimakan dalam waktu 1-2 hari oleh binatang yang
termasuk copepoda seperti Cyclops dan
Diaptomus. Dalam hospes perantara ini
larva kehilangan silianya, menembus dinding dengan bantuan kait-kaitnya dan
sampai kerongga badan. Disini larva tersebut bertambah besar dari 55 sampai 550
mikron dan dibentuk larva proserkoid yang memanjang.
Bila
copepoda yang mengandung larva ini dimakan oleh hospes perantara II yaitu
spesies ikan air tawar yang sesuai seperti ikan salem, maka larva proserkoidnya
akan menembus dinding usus ikan dan masuk ke rongga badan dan alat-alat dalam,
jaringan lemak dan jaringan ikat serta otot-otot. Dalam waktu 7-30 hari larva
ini berubah menjadi larva pleroserkoid atau sparganum yaitu larva yang
berbentuk seperti kumparan dan terdiri dari pseudosegmen, dengan ukuran 10-20 x
2-3 mm. Bila ikan tersebut dimakan hospes definitif, misalnya manusia,
sedangkan ikan itu tidak dimasak dengan baik, maka sparganum di rongga usus
halus tumbuh menjadi cacing dewasa dalam waktu 3-5 minggu.
A.4
Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Parasit
ini dapat ditemukan di daerah dengan iklim dingin, dimana ikan air tawar
merupakan bagian penting dari makanan. Parasit ini ditemukan di Amerika,
Kanada, Eropa, daerah danau di Swiss, Rumania, Turkestan, Israel, Mancuria,
Jepang, Afrika, Malagasi, dan Siberia. Penyakit ini di Indonesia tidak
ditemukan tetapi banyak dijumpai di negara-negara yang banyak makan ikan salem mentah atau kurang matang.
Banyak binatang seperti anjing, kucing, dan babi bertindak sebagai hospes
reservoar dan perlu diperhatikan.
Pembuangan
air kotor yang tidak mencukupi, adanya hospes perantara di air tawar yang
sesuai, dan kebiasaan makan ikan mentah atau setengah matang menyebabkan
timbulnya daerah endemi. Penyelidikan epidemiologi menunjukkan bahwa
daerah-daerah di Amerika Utara menjadi semakin terjangkit. Faktor terpenting
yang menyebabkan bertambahnya infeksi di daerah itu adalah kebiasaan untuk
membiarkan tinja segar memasuki air tawar. Ikan-ikan didalam danau yang tidak
termasuk danau besar di Amerika Serikat bagian utara, tengah dan Canada sering
menderita infeksi berat. Infeksi dengan cacing ini kebanyakan terdapat pada
orang Rusia, Finlandia, dan Skandinavia, yang mempunyai kebiasaan makan ikan
mentah atau ikan yang tidak dimasak sempurna.
A.5
Patologi
Parasit
ini menyebabkan penyakit yang disebut difilobotriasis. Penyakit ini biasanya
tidak menimbulkan gejala berat, mungkin hanya gejala saluran cerna seperti
diare, tidak nafsu makan, dan tidak enak perut. Bila cacing hidup di permukaan
usus halus, mungkin timbul anemia hiperkrommakrositer, karena cacing itu banyak
manyerap vitamin B12, sehingga timbul gejala defisiensi vitamin
tersebut. Diphyllobothrium laum mengambil
80 sampai 100% dari dosis vitamin B12 radioaktif yang diberikan per
os pada hospesnya. Bila jumlah cacing banyak, mungkin terjadi sumbatan usus
secara mekanik atau terjadi obstruksi usus, karena cacing-cacing itu menjadi
seperti benang kusut.
A.6
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan infeksi dengan cacing pita ikan
di daerah endemi tergantung pada kontrol sumber infeksi, pembuangan kotoran dan
penjualan ikan. Binatang sebagai hospes reservoar dapat menyulitkan masalah
pemberantasan sumber infeksi. Pembuangan tinja segar didalam kolam air tawar
harus dihindarkan. Penjualan ikan dari danau yang banyak mengandung parasit
harus dilarang, walaupun ada kesukaran dalam pelaksanaan adiministrasi.
Pendinginan sampai -10o C selama 24 jam, memasak dengan sempurna
selama paling sedikit 10 menit pada suhu 50o C , mengeringkan dan
mengasinkan ikan secara baik akan mematikan larvanya. Penduduk harus diberi
penerangan tentang bahaya makan ikan mentah atau ikan yang tidak dimasak dengan
baik.
Obat
pilihan adalah Niclosamid (Yomesan), diberikan 4 tablet (2 gram) dikunyah
sekaligus setelah makan hidangan ringan. Obat lain yang juga efektif adalah
paromomisin, yang diberikan dengan dosis 1 gram setiap 4 jam sebanyak 4 dosis.
Selain daripada itu dapat dipakai parazikuantel dosis tunggal 10 mgr/kg berat
badan. Penderita diberikan obat Atabrin dalam keadaan perut kosong, disertai
pemberian Na-bikaronas, dosis 0,5 gr.
B.
Hymenolepis nana
B.1
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class :
Cestoda
Genus : Hymenolepis
Species : Hymenolepis nana
B.2
Morfologi
Gambar
Hymenolepis nana
Cacing
ini mempunyai ukuran terkecil jika dibandingkan dari golongan cestoda yang
ditemukan pada manusia,. Panjangnya kira-kira 25-40 mm dan lebarnya 1 mm.
Ukuran strobila biasanya berbanding terbalik dengan jumlah cacing yang ada
dalam hospes.
Gambar
skoleks Hymenolepis nana
Skoleks
berbentuk bulat kecil, mempunyai 4 batil isap dan rostelum yang pendek dan
berkait-kait. Bagian leher panjang dan halus. Strobila dimulai dengan proglotid
imatur yang sangat pendek dan sempit, lebih ke distal menjadi lebih lebar dan
luas. Pada ujung distal strobila membulat. Didalam proglotid gravid uterus
membentuk kantong mengandung 80-180 telur.
Telur
keluar dari proglotid paling distal yang hancur. Bentuknya lonjong, ukurannya
30-47 mikron, mempunyai lapisan yang jernih dan lapisan dalam yang mengelilingi
sebuah onkosfer dengan penebalan pada kedua kutub, dari masing-masing kutub
keluar 4-8 filamen. Dalam onkosfer terdapat 3 pasang duri (kait) yang berbentuk
lanset.
Gambar
telur Hymenolepis nana
B.3
Siklus Hidup
Gambar
siklus hidup Hymenolepis nana
Cacing
dewasa hidup di usus halus untuk beberapa minggu. Proglotid gravid melepaskan
diri dari badan, telurnya dapat ditemukan dalam tinja. Cacing ini tidak
memerlukan hospes perantara. Bila telur tertelan kembali oleh manusia atau
tikus, maka di rongga usus halus telur menetas, larva keluar dan masuk ke
selaput lendir usus halus dan membentuk larva sistiserkoid, kemudian keluar ke
rongga usus dan menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu atau lebih.
Orang
dewasa kurang rentan dibandingkan dengan anak. Kadang-kadang telur dapat
menetas di rongga usus halus sebelum dilepaskan bersama tinja. Keadaan ini
disebut autoinfeksi interna. Hal ini memberi kemungkian terjadi infeksi berat
sekali yang disebut hiperinfeksi, sehingga cacing dewasa dapat mencapai jumlah
2000 ekor pada seorang penderita.
B.4
Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Cacing
pita ini tidak memerlukan hospes perantara. Survey yang dilakukan di
negara-negara menunjukkan frekuensi dari 0,2- 3,7% walaupun di daerah-daerah
tertentu 10% dari anak-anak menderita infeksi ini. Di Amerika Serikat bagian
selatan frekuensinya 0,3-2,9%. Infeksi ini kebanyakan terbatas pada anak-anak
dibawah umur 15 tahun. Infeksi kebanyakan terjadi secara langsung dari tangan
ke mulut.Frekuensinya agak lebih tinggi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan dan presentase infeksi pada orang negro kira-kira setengahnya dari
bangsa kulit putih.
Penularan
tergantung pada kontak langsung, karena telurnya yang resistennya lemah, yang
tidak tahan terhadap panas dan pengeringan, tidak dapat hidup lama diluar
hospes. Infeksi ditularkan langsung dari tangan ke mulut dan lebih jarang
karena kontaminasi makanan atau air. Kebiasaan yang kurang bersih pada
anak-anak menguntungkan adanya parasit ini pada golongan umur rendah. Hal ini
sering terjadi pada anak-anak umur 15 tahun ke bawah. Kontaminasi terhadap
tinja tikus perlu mendapat perhatian. Infeksi pada manusia selalu disebabkan
oleh telur yang tertelan dari benda-benda yang terkena tanah, dari tempat buang
air atau langgsung dari anus ke mulut. Kebersihan perorangan terutama pada
keluarga besar dan di perumahan panti asuhan harus diutamakan.
B.5
Patologi
Parasit
ini biasanya tidak menyebabkan gejala. Jumlah yang besar dari cacing yang
menempel pada dinding usus halus menimbulkan iritasi mukosa usus. Kelainan yang
sering timbul adalah toksemia umum karena penyerapan sisa metabolit dari
parasit masuk kedalam sistem peredaran darah penderita. Pada anak kecil dengan
infeksi berat, cacing ini kadang-kadang menyebabkan keluhan neurologi yang
gawat, mengalami sakit perut dengan atau tanpa diare, kejang-kejang, sukar
tidur dan pusing. Eosinifilia sebesar 8-16%. Sakit perut, obstipasi dan
anoreksia merupakan gejala ringan.
B.6
Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahannya
sukar, karena penularan terjadi langsung dan hanya satu hospes yang terlibat
dalam liingkaran hidupnya. Pemberantasannya terutama tergantung pada perbaikan
kebiasaan kebersihan pada anak. Pengobatan orang yang mengandung cacing ini,
sanitasi lingkungan, menghindarkan makanan dari kontaminasi dan pemberantasan
binatang mengerat juga dapat dilakukan. Obat yang efektif adalah atabrine,
bitional, prazikuantel dan niklosamid, tetapi saat ini obat-obat tersebut sulit
didapat di Indonesia. Obat yang efektif dan ada di pasaran Indonesia adalah
amodiakun. Hiperinfeksi sulit diobati, tidak semua cacing dapat dikeluarkan dan
sistiserkoid masih ada di mukosa usus.
C.
Hymenolepsis diminuta
C.1
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class :
Cestoda
Genus : Hymenolepis
Species : Hymenolepis diminuta
C.2
Morfologi
Gambar
Hymenolepis diminuta
Gambar
skoleks Hymenolepis diminuta
Gambar telur Hymenolepis diminuta Gambar
sistiserkoid Hymenolepis diminuta
Cacing
dewasa berukuran 20-60 cm mempunyai 800-1000 buah proglotid. Skoleks kecil
bulat, mempunyai 4 batil isap, dan rosteum tanpa kait-kait. Proglotid matang
berukuran 0,8 x 2,5 mm. Proglotid gravid mengandung uterus yang berbentu
kantong dan berisi kelompok-kelompok telur. Apabila proglotid gravid lepas dari
strobila, menjadi hancur dan telurnya keluar bersama tinja. Telurnya agak bulat
berukuran 60-79 mikron, mempunyai lapisan luar yang jernih dan lapisan yang
dalam yang mengeliilingi onkosfer dengan penebalan pada 2 kutub, tetapi tanpa
filamen. Onkosfer mempunyai 6 buah kait.
Cacing
dewasa hidup di rongga usus halus. Hospes perantaranya adalah serangga berupa pinjal dan kumbang
tepung. Dalam pinjal, telur berubah menjadi larva sistiserkoid. Bila serangga
dengan sistiserkoid tertelan oleh hospes definitif maka larva menjadi cacing
dewasa di rongga usus halus.
C.3
Siklus Hidup
Telur ditemukan pada tinja hospes
definitif. Cacing ini memerlukan hospes perantara I yaitu larva pinjal tikus
dan kumbang tepung dewasa. Didalam serangga ini embrio yang keluar dari
telurnya berkembang menjadi sistiserkoid. Bila dimakan oleh hospes definitif,
sistiserkoid akan berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus halus dalam
waktu kira-kira 18-20 hari.
C.4
Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Penyebaran
cacing ini kosmopolit juga ditemukan di Indonesia. Hospes definitif mendapat
infeksi bila hospes perantara yang mengandung parasit tertelan secara
kebetulan.
C.5
Patologi
Parasit
ini tidak menimbulkan gejala , infeksi biasanya terjadi secara kebetulan saja.
Manusia secara kebetulan mendapat infeksi karena makanan atau tangan yang
terkontaminasi dengan serangga yang mengandung parasit. Infeksi pada manusia
adalah ringan dan jangka waktu hidup cestoda pada manusia pendek. Infeksi
percobaan pada manusia dewasa hanya berlangsung selama 5-7 minggu.
C.6
Pencegahan dan Pengendalian
Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan adalah menghindari kontak dengan hospes
perantara yang memungkinkan terjadinya kontaminasi. Selalu mencuci tangan
sebelum makan juga dapat mengurangi infeksi karena kontaminan yang menempel
pada tangan akan mati ketika mencuci tangan. Obat yang efektif adalah antabrine.
D.
Dipylidium caninum
D.1
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class :
Cestoda
Ordo :
Cyclophyllidea
Family : Hymenolepididae
Genus : Dipylidium
Species : Dipylidium caninum
D.2
Morfologi
Gambar skoleks Dipylidium caninum Gambar Dipylidium caninum
Gambar
telur Dipylidium caninum
Panjang
cacing ini kira-kira 25 cm dan mempunyai 60-75 buah proglotid. Skoleks kecil,
berbentuk jajaran genjang, mempunyai 4
batil isap lonjong yang menonjol dan rostelum seperti kerucut yang refraktil
dan diperlengkapi dengan 30-150 kait-kait yang berbentuk duri mawar dan
tersusun menurut garis transversal. Leher cacing pendek dan langsing. Bentuk
proglotid seperti tempayan. Tiap proglotid mempunyai dua perangkap alat
kelamin. Proglotid gravidberukuran 12 x 2,7 mm, berisi penuh dengan kantong
telur tipis yang mengandung 15-25 butir telur.
D.3
Siklus Hidup
Gambar
siklus hidup Dipylidium caninum
Proglotid gravid melepaskan diri
dari strobila satu per satu atau dalam kelompok terdiri dari 2 atau 3 segmen,
dan proglotid ini dapat bergerak dengan kecepatan beberapa inci sejam.
Proglotid ini dapat bergerak keluar secara aktif dari anus atau dikeluarkan
bersama tinja. Telurnya dikeluarkan oleh kontraksi proglotid atau karena
disintegrasi proglotid di luar usus, beberapa tersangkut pada bulu hospes,
terutama di daerah perianal.
Hospes perantaranya adalah larva
pinjal anjing, kucing, manusia dan tuma anjing Trichodectes canis. Bila dimakan oleh hospes perantara, onkosfer
keluar dari bungkusnya, menembus dinding usus dan tumbuh menjadi larva
sistiserkoid yang infektif dan berbentuk seperti buah jambu didalam pinjal
dewasa. Bila pinjal yang mengandung parasit ini dimakan oleh hospes definitif,
larva sistiserkoid dibebaskan di usus muda dan menjadi cacing dewasa dalam
waktu kira-kira 20 hari. Hospes definitifnya adalah anjing, kucing, dan
manusia.
D.4
Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Cacing
ini ditemukan kosmopolit. Sebagian besar infeksi terjadi pada anak yang berumur
kurang dari 8 tahun dan kira-kira sepertiga dari bayi yang berumur kurang dari
6 bulan. Infeksi ini kebanyakan terjadi karena bergaul dengan anjing sebagai binatang
peliharaan. Penularan terjadi karena secara kebetulan menelan pinjal, tuma
anjing atau kucing yang mengandung parasit baik melalui makanan yang
terkontaminasi atau dari tangan ke mulut. Presentase anjing yang menderita
infeksi cacing ini tinggi.
D.5
Patologi
Anjing dan kucing tidak menjadi sakit
kecuali pada infeksi berat dengan gejala menjadi lemah, kurus, menderita
gangguan saraf dan pencernaan. Manusia yang jarang mengandung lebih dari satu
parasit jarang menunjukkan gejala. Pada anak-anak mungkin menjelma sebagai
gangguan intestinal ringan, sakit pada epigastrum, diare dan kadang-kadang
mengalami reaksi alergi. Jarang seorang penderita menunjukkan rasa sakit yang
nyata di epigastrium, emasiasi dan pengurangan berat badan.
D.6
Pencegahan dan Pengendalian
Anak kecil sebaiknya jangan diperbolehkan
mencium anjing dan kucing yang dihinggapi pinjal atau tuma. Kebiasaan mencium
kucing dan anjing sebaiknya tidak dianjurkan. Binatang peliharaan yng disukai
ini sebaiknya diberi obat cacing dan pengobatan dengan insektisida.
E.
Taenia saginata
E.1
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class :
Cestoda
Ordo :
Cyclophyllidea
Family : Taeniidae
Genus : Taenia
Species :Taenia saginata
E.2
Morfologi
Gambar
Taenia saginata
Cacing
pita Taenia saginata adalah salah
satu cacing pita yang berukuran besar dan panjang, terdiri dari kepala yang
disebut skoleks, leher dan strobila yang merupakan rangkaian ruas-ruas
proglotid, sebanyak 1000-2000 buah. Panjang cacing 4-12 meter atau lebih. Bentuk
leher sempit, ruas-ruas tidak jelas dan didalamnya tidak terlihat struktur
tertentu.
Gambar
skoleks Taenia saginata
Skoleks
hanya berukuran 1-2 milimeter, mempunyai empat batil isap dengan otot-otot yang
kuat, tanpa kait-kait. Strobila terdiri dari rangkaian proglotid yang belum
dewasa (imatur) yang dewasa (matur) dan yang mengandung telur atau disebut
gravid. Pada proglotid yang belum dewasa, belum terlihat struktur alat kelamin
yang jelas. Pada proglotid yang dewasa terlihat struktur alat kelamin seperti
folikel testis yang berjumlah 300-400 buah, tersebar di bidang dorsal. Vasa
eferensnya bergabung untuk masuk ke rongga kelamin (genital atrium), yang
berakhir di lubang kelamin (genital pore). Lubang kelamin ini letaknya
selang-seling pada sisi kanan atau kiri strobila. Di bagian posterior lubang
kelamin, dekat vas deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootip.
Ovarium
terdiri dari 2 lobus, berbentuk kipas, besarnya hampir sama. Letak ovarium di
sepertiga bagian posterior dari proglotid. Vitelaria letaknya di belakang
ovarium dan merupakan kumpulan folikel yang eliptik. Uterus tumbuh dari bagian
anterior ootip dan menjulur kebagian anterior proglotid. Setelah uterus ini
penuh dengan telur, maka cabang-cabangnya akan tumbuh, yang berjumlah 15-30
buah pada satu sisinya dan tidak memiliki lubang uterus (porus uterinus).
Proglotid yang sudah gravid letaknya terminal dan sering terlepas dari
strobila. Proglotid ini dapat bergerak
aktif, keluar dengan tinja atau keluar sendiri dari lubang dubur (spontan).
Setiap harinya kira-kira 9 buah proglotid dilepas. Proglotid ini bentuknya
lebih panjang dari pada lebar.
Gambar
telur Taenia saginata
Telur
dibungkus embriofor, yang bergaris-garis radial, berukuran 30-40 x 20-30
mikron, berisi suatu embrio heksakan yang disebut onkosfer. Telur yang baru
keluar dari uterus masih diseliputi selaput tipis yang disebut lapisan luarv
telur. Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Waktu
proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, cairan putih susu
mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut,
terutama bila proglotid berkontraksi waktu gerak.
E.3
Siklus Hidup
Gambar
siklus hidup Taenia saginata
Telur-telur
cacing ini melekat pada rumput bersama tinja, bila orang berdefekasi di padang
rumput, atau karena tinja yang hanyut dari sungai di waktu banjir. Ternak yang
makan rumput akan terkontaminasi atau dihinggapi cacing gelembung karena telur
yang tertelan akan dicerna sehingga embrio heksakan menetas. Embrio heksakan di
saluran pencernaan ternak menembus dinding usus, masuk ke saluran getah bening
atau darah dan ikut dengan aliran darah ke jaringan ikat di sela-sela otot
untuk tumbuh menjadi cacing gelembung yang disebut Sistiserkus bovis, yaitu larva Taenia
saginata. Peristiwa ini terjadi setelah 12-15 minggu.
Bagian
tubuh ternak yang sering dihinggapi larva tersebut adalah otot maseter, paha
belakang dan punggung. Otot di bagian lain juga dapat dihinggapi. Setelah 1
tahun cacing gelembung ini biasanya mengalami degenerasi, walaupun ada yang
dapat hidup sampai 3 tahun.
Bila
cacing gelembung yang terdapat di daging sapi yang dimasak kurang matang
termakan oleh manusia, skoleksnya keluar dari cacing gelembung dengan cara
evaginasi dan melekat pada mukosa usus halus seperti yeyunum. Cacing gelembung
tersebut dalam waktu 8-10 minggu tumbuh menjadi dewasa. Biasanya di rongga usus
hospes terdapat seekor cacing. Hospes definitif dari cacing pita Taenia sagnata adalah manusia sedangkan
hewan memamah biak dari keluarga Bovidae, seperti sapi, kerbau dan lainnya
adalah hospes perantara.
E.4
Epidemiologi dan Distribusi Geografik
Cacing
tersebut adalah kosmopolit, didapatkan di Eropa, Timur Tengah, Afrika, Asia,
Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia dan juga Indonesia, yaitu daerah Bali,
Jakarta dan lain-lain. Cacing tersebut sering ditemukan di negara yang
penduduknya banyak makan daging sapi/kerbau. Cara penduduk memakan daging
tersebut yaitu matang (well down), setengah matang (medium) atau mentah (rare)
dan cara memelihara ternak memainkan peranan. Ternak yang dilepas di hutan atau
padang rumput lebih mudah dihinggapi cacing gelembung tersebut, daripada ternak
yang dipelihara dan dirawat dengan baik di kandang.
E.5
Patologi
Nama
penyakitnya disebut taeniasis saginata. Cacing dewasa Taenia saginata, biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan,
seperti sakit ulu hati, perut merasa tidak enak, mual, muntah, mencret, pusing
atau gugup. Umumnya gejala tersebut berkaitan dengan ditemukannya cacing yang
bergerak-gerak dalam tinja, atau cacing yang keluar dari lubang dubur, yang keluar sebenarnya adalah
proglotid. Gejala yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila proglotid
menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus
oleh strobila cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat
ditemukan di darah tepi.
E.6
Pencegahan dan Pengendalian
Tindakan
pencegahan terdiri atas:
1. Menghilangkan
infeksi dengan mnegobati oorang yang mengandung parasit ini dan mencegah
kontaminasi tanah dengan tinja manusia.
2. Pemeriksaan
daging sapi akan adanya sistiserkus.
3. Pendinginan
daging sapi pada suhu -10o C selama 5 hari.
4. Memasak
daging sapi sampai matang diatas suhu 57o C
5. Mengasinkan
didalam larutan garam 25% selama 5 hari dapat membunuh sistiserkus.
Obat
yang digunakan untuk mengobati taeniasis saginata, secara singkat dibagi dalam:
1. Obat
tradisional : biji labu merah,
biji pinang
2. Obat
lama : kuinakrin, amodiakuin, niklosamid
3. Obat
baru : prazikuantel
F.
Taenia solium
F.1
Klasifikasi
Kingdom :
Animalia
Phylum : Platyhelminthes
Class :
Cestoda
Ordo :
Cyclophyllidea
Family : Taeniidae
Genus : Taenia
Species :Taenia solium
F.2
Morfologi
Gambar
Taenia solium
Gambar
skoleks Taenia solium
Cacing
pita Taenia solium berukuran panjang
kira-kira 2-4 meter dan kadng-kadang sampai 8 meter. Cacing ini seperti cacing Taenia saginata, terdiri dari skoleks,
leher dan strobila, yang terdiri dari 800-1000 ruas proglotid. Skoleks yang
bulat berukuran kira-kira 1 milimeter, mempunyai 4 buah batil isap dengan
rostelum yang mempunyai 2 baris kait-kait, masing-masing sebanyak 25-30 buah.
Seperti Taenia saginata, strobila
terdiri dari rangkaian proglotid yang belum dewasa (imatur), dewasa (matur) dan
mengandung telur (gravid). Gambaran alat kelamin pada proglotid dewasa sama
dengan Taenia saginata kecuali jumlah
folikel testisnya lebih sedikit, yaitu 150-200 buah. Bentuk proglotid gravid
mempunyai ukuran panjang hampir sama dengan lebarnya. Jumlah cabang uterus pada
proglotid gravid adalah 7-12 buah pada satu sisi. Lubang kelamin letaknya
bergantian selang-seling pada sisi kanan atau
kiri strobila secara tidak beraturan. Proglotid gravid berisi kira-kira
30.000-50.000 buah telur.
F.3
Siklus Hidup
Gambar
siklus hidup Taenia solium
Seperti
pada Taenia saginata, telurnya keluar
melalui celah robekan pada proglotid. Telur tersebut bila termakan oleh hospes
perantara yang sesuai, maka dindingnya dicerna dan embrio heksakan keluar dari
telur, menembus dinding usus dan masuk ke saluran getah bening atau darah.
Embrio heksakan kemudan ikut aliran darah dan menyangkut di jaringan otot babi.
Embrio heksakan cacing gelembung (sistiserkus) babi, dapat dibedakan dari
cacing gelembung sapi, dengan adanya kait-kait di skoleks yang tunggal. Cacing
gelembung yang disebut sistiserkus selulose biasanya ditemukan pada otot lidah,
punggung dan pundak babi. Hospes perantara lain kecuali babi adalah monyet,
onta, anjing, babi hutan, domba, kucing, tikus dan manusia. Larva tersebut
berukuran 0,6-1,8 cm. Bila daging babi yang mengandung larva sistiserkus
dimakan oleh manusia, dinding kista dicerna, skoleks mengalami evaginasi untuk
kemudian melekat pada dinding usus halus seperti yeyunum. Dalam waktu 3 bulan
cacing tersebut menjadi dewasa dan melepaskan proglotid dengan telur. Hospes
definitif cacing ini adalah manusia, sedangkan hospes perantaranya adalah
manusia dan babi. Manusia yang dihinggapi cacing dewasa Taenia solium, juga menjadi hospes perantara cacing ini.
F.4
Epidemiologi dan Distribusi Geografis
Taenia solium adalah
kosmopolit, akan tetapi tidak akan ditemukan dinegara-negara Islam. Cacing
tersebut banyak ditemukan di negara-negara yang mempunyai banyak peternakan
babi dan ditempat daging babi banyak disantap seperti di Eropa (Gzech,
Slowakia, Kroatia, Serbia), Amerika Latin, Cina, India, Amerika Utara dan juga
di beberapa daerah di Indonesia antara lain di irian Jaya, Bali dan Sumatra
Utara.
Frekuensi telah menurun di negara maju karena pemeriksaan daging yang ketat,
kebersihan yang lebih baik dan fasilitas sanitasi yang lebih baik. Distribusi
sistiserkosis sebanding dengan distribusi Taenia
solium. Di Ethiopia, Kenya dan Republik Demokratik Kongo sekitar 10% dari
populasi terinfeksi, di Madagaskar bahkan 16% (WHO, 2011).
F.6
Epidemiologi
Walaupun
cacing ini kosmopolit, kebiasaan hidup penduduk yang dipengaruhi tradisi
kebudayaan dan agama, memainkan peranan penting. Pada orang bukan pemeluk agama
Islam, yang biasanya memakan daging babi, penyakit ini ditemukan.
Cara
menyantap daging tersebut, yaitu matang, setengah matang, atau mentah dan
pengertian akan kebersihan atauh higiene, memainkan peranan penting dalam
penularan cacing Taenia solium maupun
sistiserkus selulose. Pengobatan perorangan maupun pengobatan massalhars
dilaksanakan agar supaya penderita tidak menjadi sumber infeksi bagi diri
sendiri maupun ternak. Pendidikan mengenai kesehatan harus dirintis. Cara-cara
ternak babi harus diperbaiki agar tidak ada kontak dengan tinja manusia.
Sebaiknya untuk ternak babi harus digunakan kandang yang bersih dan makanan
ternak yang sesuai.
F.5
Patologi
Nama
penyakit yang disebabkan oleh cacing dewasa adalah taeniasis solium dan yang
disebabkan oleh stadium larva adalah sistiserkosis. Cacing dewasa yang biasanya
berjumlah seekor, tidak menyebabkan gejala klinis yang berarti. Bila ada, dapat
berupa nyeri ulu hati, mencret, mual, obstipasi dan sakit kepala. Darah tepi
dapat menunjukkan eosinofilia.
Gejala
klinis yang lebih berarti dan sering diderita, disebabkan oleh larva dan
disebut sistiserkosis. Infeksi ringan biasanya tidak menunjukkan gejala,
kecuali bila alat yang dihinggapi adalah alat tubuh yang penting. Pada manusia,
sistisserkus atau larva taenia solium sering menghinggapi jaringan subkutis, mata,
jaringan otak, otot, otot jantung, hati, paru dan rongga perut. Walaupun sering
dijumpai, kalsifikasi (perkapuran) pada sistiserkus tidak menimbulkan gejala,
akan tetapi sewaktu-waktu terdapat pseudohipertrofi otot, disertai gejala
miositis, demam tinggi dan eosinofilia.
Pada
jaringan otak atau medula spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi.
Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan
ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan
intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang kelainan jiwa.
Hidrosefalus internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan
serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan bahwa sebuah sstiserkua tunggal yang
ditemukan dalam ventrikel IV dari otak, dapat menyebabkan kematian.
F.6
Pencegahan dan Pengendalian
Pemberantasan
infeksi Taenia solium terdiri dari:
1. Pengobatan
orang yang mengandung parasit.
Pengobatan penyakit taeniasis solium
digunakan prazikuantel. Untuk sistiserkus digunakan obat prazikuantel,
albendazol, atau dilakukan pembedahan.
2. Sanitasi.
Di daerah endemi tinja manusia tidak
boleh dibuang ke tempat-tempat yang dimasuki babi.
3. Pemeriksaan
daging babi.
Pemeriksaan daging babi oleh pemerintah
mengurangi infeksi pada manusia di negeri-negeri dimana babi dimakan mentah
atau setengah matang, tetapi sistem pemeriksaan yang mana pun tidak dapat
memastikan kebebasan dari infeksi.
4. Memasak
dan mengolah daging babi dengan sebiak-baiknya.
Sistiserkus akan mati dengan pemanasan
pada 45-50o C, tetapi daging babi harus dimasak paling sedikit
selama setengah jam untuk tiap pound atau sampai berwarna kelabu. Sistiserkus akan
mati pada suhu dibawah -2o C tetapi pada 0o C sampai -2o
C ia hidup selama hampir 2 bulan, dan pada suhu kamar ia hidup selama 26 hari.
Mendinginkan pada suhu -10o C selama 4 hari atau lebih adalah cara
yang efektif. Mengasinkan dengan garam tidak selalu berhasil.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Cestoda
atau cacing pita adalah cacing yang hidup sebagai parasit yang termasuk kelas
CESTODA, phylum PLATHYHELMINTHES. Cacing dewasa hidup di dalam tractur
digestivus vertebrata dan larvanya hidup di dalam jaringan vertebrata dan
invertebrata. Cestoda usus mempunyai spesies penting yang dapat
menimbulkan kelainan pada manusia
umumnya adalah : Diphyllobothrium latum,
Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, Echinococcus multilocularis, Taenia
saginata, dan Taenia solium. Hospes
definifnya yaitu manusia, anjing, kucing, dan kadang-kadang paling sedikit 22
macam mamalia lainnya, termasuk cerpelai, anjing laut, singa laut, serigala dan
babi. ( Harlod, 1979)
Ciri-ciri
cestoda usus yaitu :
1. Bentuk
tubuh pipih, terdiri dari kepala(soclex) dilengkapi dengan sucker dan tubuh
(proglotid).
2. Panjang
antara 2-3m.
3. Bersifat
hermaprodit.
4. Hidup
sebagai parasit dalam usus vertebrata dan tanpa alat pencernaan.
5. Sistem
ekskresi terdiri dari saluran pengeluaran yang berakhir dengan sel api.
6. Sistem
saraf sama seperti planaria dan cacing hati, tetapi kurang berkembang.
Pada
cestoda usus kerugian yang ditimbulkan oleh cacing ini berlainan pada berbagai
spesies. Ukuran dan jumlah cacing menentukan efek sistemik dan luasnya iritasi
pada usus. Bermacam-macam gejala gastrointestinal dan gejala syaraf yang tidak
nyata dapat ditimbulkan. Berkurangnya gairah hidup dan anemi telah dihubungkan
dengan infeksi cacing pita, tetapi biasanya gejala nyata tidak ada.
Gejala-gejala dianggap bertalian dengan hasil metabolisme cacing yang toksik
dengan iritasi mekanik, pengambilan makanan, hospes dan dengan absorbsi zat
protein, vitamin, dan mungkin juga hormon-hormon dari mukosa usus.
DAFTAR
PUSTAKA
Anantaphruti,
M.T., Hiroshi Yamasaki, Minoru Nakao, Jitra waikagul, Doru Watthanakulpanich,
et al., 2007, Sympatric Occurence of
taenia solium, Taenia saginata, and Taenia asiatica, Thailand, http://www.cdc.gov/eid/content/13/9/pdfs/1413.pdf, diakses tanggal 1 April 2011
Brown, Harold
W., 1979, Dasar Parasitologi Klinis Edisi
III, PT Gramedia, Jakarta
Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004, Parasitologi Kedokteran Edisi III , Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Prianto, Juni L., P.U., Tjahaya dan
Darwanto, 1994, Atlas Parasitologi
Kedokteran, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Staf
Pengajar FKUI, 1998, Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
WHO, 2011, Taeniasis/cystiserkosis, http://www.who.int/zoonoses/diseases/taeniasis/en/,
diakses tanggal 1 April 2011
WHO, 2011, Cystiserkosis,
http://www.who.int/neglected_diseases/diseases/cysticercosis/en/,
diakses tanggal 1 April 2011
No comments:
Post a Comment