Bagian yang juga menarik untuk memecahkan problem ini
dalam polemik itu adalah usaha membedakan antara peradaban (civilization) dan
kebudayaan (culture).
Bagi Adinegoro, peradaban adalah aspek teknis sebuah masyarakat yang dapat
dipinjam (misal pengetahuan dan teknologi); sedangkan kebudayaan adalah jiwa
sebuah bangsa yang berwujud dalam karakter dan tabiat yang tidak dapat ditukar.
Dia mencontohkan Jepang sebagai bangsa yang mempertahankan kulturnya tetapi
mencapai peradaban dalam standar barat.
Elaborasi yang cukup luas diberikan oleh Dr. M. Amir
untuk membahas hal ini. Jauh sebelum kata civilization
dipakai atau ditemukan, kata kerja civilize telah dipakai. Tetapi kata civilization sendiri baru
pada abad ke-18 digunakan untuk membedakan derajat tinggi suatu bangsa dengan
derajat lain yaitu savages(buas,
liar) dan barbares(biadab).
Tingkat atau derajat tinggi masyarakat itu berakar pada civilis (kota). Sedangkan istilah kultur pada awalnya
berarti jumlah segala kemajuan; kemajuan bendawi ataupun kemajuan pikiran yang
dicapai oleh manusia. Dari elaborasi pengertian ini pembedaan antara peradaban
dan kebudayaan berasal dari pembedaan yang dilakukan dalam tradisi pemikiran
Jerman. Sedangkan pada tradisi eropa lainnya (Perancis dan Inggris) dipakai
terma civilization saja.
Selanjutnya Dr. M. Amir menegaskan bahwa setiap
masyarakat mempunyai peradabannya sendiri (entah mencapai tingkat yang tinggi
atau rendah). Peradaban itu juga ada yang berpindah atau dipinjam karena faktor
percampuran, hubungan atau kemajuan.
Pembedaan tingkatan masyarakat seperti ini (dari yang
primitif hingga yang berperadaban tinggi) tidak sekedar perbedaan kemajuan
masyarakat saja (yang tampak dalam kemajuan materialnya) tetapi juga terkait
dengan pembedaan konstitusi jiwa manusianya. Di sini terdapat dua pendapat,
yang menafsirkan kemajuan peradaban karena perbedaan genetik dan yang
menafsirkan kemajuan peradaban karena faktor lingkuangan. Nature vs Nurture.
Bagi Dr. Amir persoalan peradaban ini tidak semata-mata
soal sosiologi tetapi juga psikologi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan barat
untuk membentuk konstitusi kejiwaan manusia barat seperti sekarang ini, ribuan
tahun. Secara historis tidaklah mungkin kita memutus mata rantai kesejarahan
manusiawi kita untuk membangun peradaban baru.
Siapa
Pemenangnya ?
Secara sekilas pemenang polemik itu adalah Sutan Takdir.
Tetapi, bagi Ajip Rosidi, masalahnya tidak sesederhana itu. Banyak masalah,
seperti dualisme pendidikan dan dualisme antara kebudayaan nasional dan daerah,
belum terselesaikan secara memuaskan.
Dapat pula kita nyatakan bahwa pasca kemerdekaan model
pembangunan yang digesa oleh pemerintah kita sebenarnya tidak jauh berbeda
dengan model yang diinginkan oleh Sutan Takdir. Bolehlah kita bertanya sudahkah
dinamika berperadaban sebagaimana yang diinginkan oleh Sutan Takdir telah kita
capai ?
Humanisme
Kita juga bisa menambahkan posisi lain yang diambil oleh
kalangan intelektual dalam polemik ini yaitu posisi Sjahrir. Tetap dalam orbit
intelektual Barat modern, Sjahrir menegaskan tidak perlu pilih antara Barat dan
Timur, karena keduanya harus silam dan memang sedang tenggelam ke masa silam
(Barat kapitalis dan Timur feodalis). Pilihan pandangan ini kemudian menjelma
menjadi pilihan humanisme.
Islam
Satu hal lagi yang juga menjadi catatan adalah tidak
dimasukkannya pandangan kalangan Islam dalam polemik ini. Menurut Ajip Rosidi,
hal ini bisa karena memang tidak ada tokoh Islam yang terlibat atau penyunting
buku Polemik Kebudayaan tidak menganggap perlu meniliti majalah atau surat kabar yang membawa
suara Islam. Ajip Rosidi menyebutkan adanya pendapat yang disampaikan oleh M.
Natsir pada tahun 1934, sebelum Polemik Kebudayaan itu dimulai.
Dalam tulisannya M.Natsir mengingatkan tidak perlunya
membesar-besarkan antagonisme Barat dan Timur. Bagi pendidik Islam, lanjut
Natsir, Islam hanya mengenal antagonisme antara yang haq dan batil. Semua yang
haq diterima, semua yang batil ditolak dari mana pun sumbernya Timur atau
Barat.
No comments:
Post a Comment