Arah perubahan meliputi beberapa
orientasi, antara lain (1) perubahan dengan orientasi pada upaya meninggalkan
faktor-faktor atau unsur-unsur kehidupan sosial yang mesti ditinggalkan atau
diubah, (2) perubahan dengan orientasi pada suatu bentuk atau unsur yang memang
bentuk atau unsur baru, (3) suatu perubahan yang berorientasi pada
bentuk, unsur, atau nilai yang telah eksis atau ada pada masa
lampau. Tidaklah jarang suatu masyarakat atau bangsa yang selain berupaya
mengadakan proses modernisasi pada berbagai bidang kehidupan, apakah aspek
ekonomis, birokrasi, pertahanan keamanan, dan bidang iptek; namun demikian,
tidaklah luput perhatian masyarakat atau bangsa yang bersangkutan untuk
berupaya menyelusuri, mengeksplorasi, dan menggali serta menemukan unsur-unsur
atau nilai-nilai kepribadian atau jatidiri sebagai bangsa
yang bermartabat.
Dalam memantapkan orientasi suatu
proses perubahan, ada beberapa faktor yang memberikan kekuatan pada gerak
perubahan tersebut, yang antara lain adalah sebagai berikut, (1) suatu sikap,
baik skala individu maupun skala kelompok, yang mampu menghargai karya pihak
lain, tanpa dilihat dari skala besar atau kecilnya produktivitas kerja itu
sendiri, (2) adanya kemampuan untuk mentolerir adanya sejumlah penyimpangan
dari bentuk-bentuk atau unsur-unsur rutinitas, sebab pada hakekatnya salah satu
pendorong perubahan adanya individu-individu yang menyimpang dari hal-hal yang
rutin. Memang salah satu ciri yang hakiki dari makhluk yang disebut manusia itu
adalah sebagai makhluk yang disebut homo deviant, makhluk yang suka
menyimpang dari unsur-unsur rutinitas, (3) mengokohkan suatu kebiasaan atau
sikap mental yang mampu memberikan penghargaan (reward) kepada pihak lain
(individual, kelompok) yang berprestasi dalam berinovasi, baik dalam bidang
sosial, ekonomi, dan iptek, (4) adanya atau tersedianya fasilitas dan pelayanan
pendidikan dan pelatihan yang memiliki spesifikasi dan kualifikasi progresif,
demokratis, dan terbuka bagi semua fihak yang membutuhkannya.
Modernisasi, menunjukkan suatu proses
dari serangkaian upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik,
material dan sosial) yang bersifat atau berkualifikasi universal, rasional, dan
fungsional. Lazimnya suka dipertentangkan dengan nilai-nilai tradisi.
Modernisasi berasal dari kata modern (maju), modernity (modernitas), yang
diartikan sebagai nilai-nilai yang keberlakuan dalam aspek ruang, waktu, dan
kelompok sosialnya lebih luas atau universal, itulah spesifikasi nilai
atau values. Sedangkan yang lazim dipertentangkan dengan konsep modern
adalah tradisi, yang berarti barang sesuatu yang diperoleh
seseorang atau kelompok melalui proses pewarisan secara turun temurun dari
generasi ke generasi. Umumnya tradisi meliputi sejumlah norma
(norms) yang keberlakuannya tergantung pada (depend on) ruang
(tempat), waktu, dan kelompok (masyarakat) tertentu. Artinya keberlakuannya
terbatas, tidak bersifat universal seperti yang berlaku bagi nilai-nilai atau values.
Sebagai contoh atau kasus, seyogianya manusia mengenakkan pakaian,
ini merupakan atau termasuk kualifikasi nilai (value). Semua
fihak cenderung mengakui dan menganut nilai atau value ini.
Namun, pakaian model apa yang harus dikenakan itu? Perkara model pakaian yang
disukai, yang disenangi, yang biasa dikenakan, itulah yang menjadi urusan
norma-norma yang dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dan dari kelompok
ke kelompok akan lebih cenderung beraneka ragam.
Spesifikasi norma-norma dan tradisi
bila dilihat atas dasar proses modernisasi adalah sebagai berikut, (1) ada
norma-norma yang bersumber dari tradisi itu, boleh dikatakan sebagai penghambat
kemajuan atau proses modernisasi, (2) ada pula sejumlah norma atau tradisi yang
memiliki potensi untuk dikembangkan, disempurnakan, dilakukan pencerahan, atau
dimodifikasi sehingga kondusif dalam menghadapi proses modernisasi, (3) ada
pula yang betul-betul memiliki konsistensi dan relevansi dengan nilai-nilai
baru. Dalam kaitannya dengan modernisasi masyarakat dengan nilai-nilai tradisi
ini, maka ditampilkan spesifikasi atau kualifikasi masyarakat modern, yaitu
bahwa masyarakat atau orang yang tergolong modern (maju) adalah mereka yang
terbebas dari kepercayaan terhadap tahyul. Konsep
modernisasi digunakan untuk menamakan serangkaian perubahan yang terjadi pada
seluruh aspek kehidupan masyarakat tradisional sebagai suatu upaya mewujudkan
masyarakat yang bersangkutan menjadi suatu masyarakat industrial. Modernisasi
menunjukkan suatu perkembangan dari struktur sistem sosial, suatu bentuk
perubahan yang berkelanjutan pada aspek-aspek kehidupan ekonomi, politik,
pendidikan, tradisi dan kepercayaan dari suatu masyarakat, atau satuan sosial
tertentu.
Modernisasi suatu kelompok satuan
sosial atau masyarakat, menampilkan suatu pengertian yang berkenaan dengan
bentuk upaya untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang sadar dan kondusif
terhadap tuntutan dari tatanan kehidupan yang semakin meng-global pada saat
kini dan mendatang. Diharapkan dari proses menduniakan seseorang atau
masyarakat yang bersangkutan, manakala dihadapkan pada arus globalisasi tatanan
kehidupan manusia, suatu masyarakat tertentu (misalnya masyarakat Indonesia)
tidaklah sekedar memperlihatkan suatu fenomena kebengongan semata,
tetapi diharapkan mampu merespons, melibatkan diri dan memanfaatkannya secara
signifikan bagi eksistensi bagi dirinya, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya.
Adapun spesifikasi sikap mental seseorang atau kelompok yang kondusif untuk
mengadopsi dan mengadaptasi proses modernisasi adalah, (1) nilai budaya atau
sikap mental yang senantiasa berorientasi ke masa depan dan dengan cermat
mencoba merencanakan masa depannya, (2) nilai budaya atau sikap mental yang
senantiasa berhasrat mengeksplorasi dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber
daya alam, dan terbuka bagi pengembangan inovasi bidang iptek. Dalam hal ini, memang
iptek bisa dibeli, dipinjam dan diambil alih dari iptek produk asing, namun
dalam penerapannya memerlukan proses adaptasi yang sering lebih rumit daripada
mengembangkan iptek baru, (3) nilai budaya atau sikap mental yang siap menilai
tinggi suatu prestasi dan tidak menilai tinggi status sosial,
karena status ini seringkali dijadikan suatu predikat yang bernuansa gengsi
pribadi yang sifat normatif, sedangkan penilai obyektif hanya bisa didasarkan
pada konsep seperti apa yang dikemukakan oleh D.C. Mc Clelland
(Koentjaraningrat, 1985), yaitu achievement-oriented, (4) nilai budaya
atau sikap mental yang bersedia menilai tinggi usaha fihak lain yang mampu
meraih prestasi atas kerja kerasnya sendiri.
Tanpa harus suatu masyarakat berubah
seperti orang Barat, dan tanpa harus bergaya hidup seperti orang Barat, namun
unsur-unsur iptek Barat tidak ada salahnya untuk ditiru, diambil alih,
diadopsi, diadaptasi, dipinjam, bahkan dibeli. Manakala persyaratan ini telah
dipenuhi dan keempat nilai budaya atau sikap mental yang telah ditampilkan
telah dimiliki oleh suatu masyarakat tersebut. Khusus untuk masyarakat di
Indonesia, sejarah masa lampau mengajarkan bahwa sistem ekonomi, politik, dan
kebudayaan dari kerajaan-kerajaan besar di Asia seperti India dan Cina, yang diadopsi
dan diadaptasi oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara ini, seperti Sriwijaya dan
Majapahit, namun fakta sejarah tidak membuktikan bahwa orang-orang
Sriwijaya dan Majapahit, dalam pengadopsian dan pengadaptasian nilai-nilai
kebudayaan tadi sekaligus menjadi orang India atau Cina.
Proses modernisasi sampai saat ini
masih tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama
di kota-kota Negara Sedang Berkembang, seperti halnya di Indonesia.
Kota-kota di negara-negara sedang berkembang menjadi pusat-pusat modernisasi
yang diaktualisasikan oleh berbagai bentuk kegiatan pembangunan, baik aspek
fisik-material, sosio-kultural, maupun aspek mental-spiritual.
Kecenderungan-kecenderungan seperti ini, menjadikan daerah perkotaan sebagai
daerah yang banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi penduduk
pedesaan, terutama bagi generasi mudanya. Obsesi semacam ini menjadi pendorong
kuat bagi penduduk pedesaan untuk beramai-ramai membanjiri dan memadati setiap
sudut daerah perkotaan, dalam suatu proses sosial yang disebut urbanisasi.
Fenomena demografis seperti ini, selanjutnya menjadi salah satu sumber
permasalahan bagi kebijakan-kebijakan dalam upaya penataan ruang dan kehidupan
masyarakat perkotaan. Sampai dengan saat sekarang ini masalah perkotaan ini
masih menunjukkan gelagat yang semakin ruwet dan kompleks.
No comments:
Post a Comment