MAKALAH
Oleh
NIP. 131 773 795
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan segala usaha
yang dilaksanakan dengan sadar,dan bertujuan mengubah tingkah laku manusia
kearah yang lebih baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Pendidikan akan
merangsang kreativitas seseorang agar sanggup menghadapi tantangan-tantangan
alam, masyarakat, teknologi serta kehidupan yang semakin kompleks. Indonesia
dipenghujung akhir abad ke- 20, dilihat dari jumlah penduduknya yang telah
menjadi Negara terbesar kelima di dunia. Jumlah yang besar ini sebenarnya
merupakan potensi pembangunan apabila diimbangi dengan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) yang baik. Pembangunan nasional membutuhkan SDM yang berkualitas
yang memiliki sikap dan tekad kemandirian. Kualitas SDM dapat ditingkatkan
dengan pendidikan.
Parameter penilaian kualitas SDM ini
adalah semangat dan kemampuan mengoperasikan dan mengaplikasikan teknologi. Program
Pembinaan pendidikan menengah yang mencakup Sekolah Menengah Umum (SMU),
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) ditujukan antara lain
untuk : Meningkatkan kualitas pendidikan menengah sebagai landasan bagi peserta
didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan
kebutuhan dunia kerja.
Kegiatan pokok dalam upaya peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan menengah dengan ; menyusun kurikulum yang
berbasis kompetensi sesuai dengan kebutuhan dan potensi pembangunan daerah,
mampu meningkatkan kreativitas guru sesuai dengan kapasitas peserta didik serta
menekankan perlunya keimanan, dan ketaqwaan , wawasan kebangsaan, kesehatan
jasmani, kepribadian yang berakhlak mulia, beretos kerja, memahami hak dan
kewajiban, serta meningkatkan penguasaan ilmu-ilmu dasar (sains dan teknologi,
bahasa dan sastra,ilmu sosial, bahasa inggris) PPPG Tertulis; Kebijakan
Pemerintah di bidang pendidikan (2004:3).
Dalam proses pembelajaran Sejarah, seorang guru
memiliki peran penting dalam
menyampaikan informasi, melatih ketrampilan dan membimbing belajar siswa sehingga
para guru dituntut memiliki kualifikasi dan kompetensi tertentu, agar proses belajar
dan pembelajaran dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Adanya minat belajar
yang tinggi, pendekatan pembelajaran dan pemanfaatan serta penggunaan media
pembelajaran yang tepat akan menjadikan siswa mudah dalam menerima dan mengolah yang disampaikan.
Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning) merupakan salah satu model pembelajaran berbasis
kompetensi yang dapat digunakan untuk mengefektifkan dan mensukseskan implementasi
kurikulum 2004.
Ada kecenderungan
dewasa ini untuk kembali kepada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik
jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak “mengalami”
apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahuinya”. Pembelajaran yang berorientasi
target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi “ Mengingat” jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak
memecahkan persoalan dalam kehidupan
jangka panjang. Dan itulah yang sering terjadi di sekolah-sekolah kita. Dalam konteks itu siswa
perlu mengerti makna belajar, apa manfaatnya,dalam status apa mereka, dan bagaimana
mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya
kelak. Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan
suatu bekal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi
dirinya dan berupaya menggapainnya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah dan
pembimbing (Depdikbud, 2002 : 2).
Jika guru mampu mengelola proses
pembelajaran dan mampu menciptakan sistem pembelajaran yang efektif maka
kualitas proses belajar akan tercapai. Tetapi jika guru masih terpaku pada
paradigma lama dimana hanya memandang keberhasilan proses belajar mengajar
ditentukan nilai akhir saja maka kualitas pembelajaran tidak akan mencapai
kemajuan.
Model pembelajaran Kontekstual
peserta didik secara langsung ke lapangan untuk menemukan dan mencari materi
pelajaran sehingga proses pembelajaran sehingga lebih bermakna. Pembelajaran
bermakna menurut Ausubel (Isti Hidayah,Sugiarto, Siti Muslichatun, Titi
Lestariningsih, 2003 : 3).
Proses pembelajaran yang dapat
mengaitkan informasi baru dengan struktur kognitif. Sebaliknya, jika informasi baru
tidak dapat dikaitkan pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif maka akan hanya
terjadi belajar hafalan, proses belajar hafalan ini merupakan proses penerimaan
informasi jangka pendek. Sedangkan proses belajar dengan pengulangan di
lapangan dan peserta didik mampu menemukan sesuatu materi yang dikaji, maka penerimaan
informasi bersifat jangka panjang.
Dalam pembelajaran kontekstual ini konsep belajar
yang membantu para guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata yang mendorong para siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapan teori dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan ketrampilan siswa diperolehnya
dengan mengaitkan ketika belajar Siswa akan turut langsung dalam pengalaman belajar
yang akan membuat hasil belajar lebih bermakna (Dirjen Dikdasmen, 2002: 26).
Selain untuk membantu siswa dalam pemahaman lebih
konkrit, pemanfaatan media yang dipilih guru dalam proses pembelajaran memegang peranan penting.Sesuai
dengan makna yang terkandung dalam pengertian media, eksistensinya akan membantu siswa dalam memahami sesuatu
yang sedang dipelajari dan dikajinya dengan berbagai kemudahan-kemudahan.
Kerangka berpikir tersebut, proses pembelajaran kontekstual yang disertai penggunaan media (VCD)
merupakan alternative pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan siswa, sehingga
dapat mengoptimalkan kemampuan, penalaran dan ketrampilannya untuk meningkatkan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah.
Tetapi dalam kenyataannya peserta didik seringkali
mengalami kejenuhan dalam
belajar Sejarah. Hal yang dapat dilakukan guru dalam proses mengaktifkan dan membimbing
dengan memanfaatkan media. Media pendidikan sendiri dalam pemanfaatannya terkadang hanya untuk
menghindari verbalisme belaka , sehingga sifat media yang digunakan hanya
sebagai alat bantu, disini peserta didik sebagai penonton dari media yang
disiapkan oleh guru. Media pembelajaran yang kurang sesuai maka juga kurang
tepat, sebaiknya media sebagai alat Bantu pengajaran harus dapat menumbuhkan
minat belajar dalam
proses pembelajaran.
Media Pembelajaran yang dipilih
diharapkan dapat mencakup aspek penglihatan (visual), pendengaran (auditif)
dan gerak (motorik), karena selain bertujuan memudahkan peserta didik dalam belajar juga mampu
menanamkan konsep. Semakin banyak indera, dan gerak anak yang terlibat dalam proses belajar
semakin mudah anak belajar yang bermakna (Bobbi de Porter & Mike Hernaki,
2002: 31). Media pembelajaran yang popular digunakan dalam proses pembelajaran dengan menggunakan
audio visual (VCD), Video Compact Disc digunakan para guru sebagai penggunaan media
pembelajaran karena sifatnya dapat mengakses berbagai macam data dan fasilitas
untuk memotivasi siswa dalam
belajar.
Dalam mengenalkan dan menanamkan konsep unsur-
unsur perlapisan kulit bumi, pola pergerakan lempeng bumi, angin dan sebagainya
melalui Video Compact Disc khususnya program power point yang telah
dikemas dalam bentuk
instruksi pengajaran sendiri berisi serangkaian contoh dan instruksi yang harus
dikerjakan oleh siswa secara manual. Dalam program tersebut juga telah dilengkapi evaluasi untuk
mengukur seberapa kadar pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari. Disini
peranan guru hanya sebagai fasilitator sehingga proses belajar lebih banyak
aktifitas siswa.
Minat belajar siswa juga merupakan
salah satu factor keberhasilan pencapaian kompetensi belajar Sejarah, minat
belajar yang besar cenderung menghasilkan kompetensi belajar yang lebih baik
sedangkan minat belajar yang kurang akan menghasilkan kompetensi belajar yang
kurang baik. Memahami kebutuhan anak didik dan melayani kebutuhan anak didik
merupakan salah satu upaya membengkitkan minat anak didik. Minat dapat ditumbuh
dan kembangkan pada diri anak didik dengan cara memberikan informasi pada anak
mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang akan diberikan dengan
bahan pengajaran yang lalu atau menguraikan kegunaannya di masa depan bagi anak
didik.
Sejalan dengan itu penerapan
pendekatan kontekstual bermedia VCD dan penulusuran minat belajar siswa di
kiranya merupakan alternative untuk memenuhi kebutuhan siswa, sehingga dapat
mengoptimalkan kemampuan, penalaran, dan ketrampilannya utnuk meningkatkan
hasil belajar siswa pada mata pelajaran Sejarah. Selain itu berdasarkan
pengamatan dan pengalaman peneliti sendiri selama ini proses pembelajaran
Sejarah jarang/belum menggunakan pendekatan kontekstual bermedia VCD.
Berangkat dari latar belakang
masalah, maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian lebih lanjut yang
berjudul Pengaruh Penerapan Pendekatan Kontekstual bermedia VCD terhadap
Pencapaian Kompetensi Belajar Sejarah Ditinjau Dari Minat Belajar Siswa.
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, permasalahan
penelitian dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.
Bagaimana penerapan pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching Learning) bermedia VCD ?
2.
Bagaimana efektivitas
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) bermedia VCD
terhadap pencapaian kompetensi belajar Sejarah ?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas
maka dapat ditentukan tujuan penulisan sebagai berikut :
1.
Mengetahui penerapan pendekatan
kontekstual (Contextual Teaching Learning) bermedia VCD.
2.
Mengetahui efektivitas
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching Learning) bermedia VCD
terhadap pencapaian kompetensi belajar Sejarah.
D.
Metode Penulisan
Jenis
penulisan makalah ini menggunakan metode deskriptif dengan jenis pendekatan
literature terhadap permasalahan yang relevan pada ruang lingkup materi sejarah
sekolah menengah umum. Metode tersebut didasarkan atas pendapat Winarno Surakhmad
(1990:139) yang menyatakan bahwa ”Aplikasi metode ini dimaksudkan untuk menyelidikan yang tertuju
pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang”.
E.
Manfaat Penelitian
Penulisan yang dilakukan diharapkan
bermanfaat bagi :
1.
Aspek Teoritis
Teori-teori dan konsep yang berkisar
pada pembelajaran diharapkan dapat menambah kajian kurikulum pembelajaran
sejarah dalam memperkembang khazanah konsepsi, filosofi, wawasan dan
pengetahuan sejarah yang sesuai dengan kurikulum basis kompetensi.
2.
Aspek Praktis
Pendapat-pendapat dan teori-teori pengajaran
pada penulisan ini diharapkan dapat menambah input strategi pengembangan
belajar mengajar yang tidak hanya ruang lingkup pembelajaran sejarah secara
konseptual akan tetapi secara praktek dengan mempergunakan media belajar
sejarah yang sesuai sehingga pemahaman siswa secara teori dapat diaplikasikan
pada kehidupan sehari-hari.
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A.
Kompetensi Belajar
Sejarah
Kompetensi merupakan segala sesuatu
yang akan dimiliki peserta didik, dan merupakan komponen utama yang harus
dirumuskan dalam
pembelajaran. Kompetensi yang jelas, mampu memberikan petunjuk yang jelas pula
terhadap materi yang dipelajarinya. Mulyasa (2005: 76) mengatakan bahwa setiap kompetensi
harus merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, sikap yang
direfleksikan dengan kebiasaan berfikir dan bertindak
Kemampuan yang telah dicapai peserta
didik dalam
ketuntasan kompetensi dapat menjadi modal utama untuk bersaing, karena
persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan. Menurut Kurikulum 2004 “Kerangka
Dasar” (edisi 2003), dijelaskan bahwa “Kompetensi adalah pengetahuan,
ketrampilan, sikap dan nilai-nilai hidup yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak.” Berkaitan dengan perumusan tersebut, maka kompetensi dapat
dikenali melalui dari sejumlah hasil belajar dan indikator yang dapat diukur
dan diamati.
Menurut W. Gulö (2002: 34),
kompetensi disebut pula dengan kemampuan.” Pendapat W. Gulö ini menunjukkan
bahwa kemampuan dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu aspek yang tampak dan aspek yang tidak tampak.
Kompetensi pada aspek tampak disebut performance (penampilan), berupa
tingkah laku yang dapat didemonstrasikan, diamati, dilihat dan dirasakan. Kompetensi
dalam arti performance
ini mudah ditangkap oleh semua peserta didik. Sedangkan kompetensi aspek
yang tidak tampak di lain pihak, disebut juga kompetensi rasional. Kompetensi dalam aspek ini tidak
dapat diamati karena tidak tampil dalam bentuk perilaku yang empiris. Kemampuan dalam aspek rasional ini umumnya
dikenal dalam taksonomi
Bloom sebagai kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Mulyasa (2005: 77) menjelaskan bahwa
ada beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi sebagai berikut : (1)
Pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif; (2) Pemahaman (understanding),
yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh individu, (3)
Kemampuan (skills), yaitu sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan
tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya, (4) Nilai (value), yaitu
standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis telah menyatu dalam diri individu, (5)
Sikap (attitude), yaitu perasaan senang atau tidak senang, suka atau
tidak suka.(5) Minat (interest), yaitu kecenderungan setiap individu untuk
melakukan sesuatu perbuatan.
Kompetensi yang harus dikuasai oleh
peserta didik perlu dirancang sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud
hasil belajar yang mengacu pada pengalaman langsung. Peserta didik juga perlu
mengetahui tujuan belajar dan tingkat-tingkat penguasaan yang akan digunakan
sebagai kriteria pencapaian secara eksplisit dikembangkan berdasarkan
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, serta memiliki kontribusi terhadap
kompetensi-kompetensi yang sedang dipelajari. Penilaian terhadap pencapaian
kompetensi perlu dilakukan secara obyektif, berdasarkan hasil karya peserta
didik, dengan bukti adanya penguasaannya terhadap suatu kompetensi sebagai
hasil belajar.
Kompetensi belajar dinyatakan dengan
skor hasil tes atau angka yang diberikan guru berdasarkan pengamatannya belaka
atau keduanya yaitu hasil tes serta pengamatan guru pada waktu peserta didik
melakukan diskusi kelompok. Berdasarkan batasan pengertian kompetensi belajar
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kompetensi belajar Sejarah adalah hasil yang
telah dicapai siswa melalui suatu kegiatan belajar Sejarah. Kegiatan belajar
dapat dilakukan secara individu maupun dan secara kelompok.
B.
Pendekatan Kontekstual
Sistem pembelajaran saat ini masih
dominan dengan istilah belajar yang diartikan
sebagai kegiatan-kegiatan berupa duduk, dengar, catat kemudian pulang untuk
dihapal. Melihat kondisi yang demikian, peserta didik akan merasakan kejenuhan
yang berkepanjangan. Untuk menghindari dan mengantisipasi kejenuhan itu, maka
perlu adanya pembentukan konsep penting yang harus dilaksanakan dalam praktik
pembelajaran. Salah satu di antaranya adalah pembelajaran kontektual (contextual
teaching and learning).
Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran
kontekstual, guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan
cara mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak
hidup dan berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya (http.//www.contextual.org.id).
Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan
dengan apa yang dipelajari dalam
dan dengan kehidupan sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001: 8).
Dengan memilih konteks secara tepat,
maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiran agar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di
lingkungan saja, tetapi diajak untuk
mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari, masa
depan mereka, dan lingkungan masyarakat luas.
Penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki
potensi tidak hanya untuk mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan
proses, tetapi juga untuk mengembangkan sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang
terkait dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesame teman,
misalnya melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan ketrampilan
sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002: 6).
Lebih lanjut Schaible, Klopher, dan
Raghven, dalam
Joyce-Well (2000: 172) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual melibatkan siswa
dalam masalah yang
sebenarnya dalam
penelitian dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu
mereka mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang penelitian dan
mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
C.
Minat Belajar Sejarah
Minat adalah kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau adanya keinginan yang besar terhadap sesuatu
(Reilly dan Lewis 1983: 454) Minat dapat pula diartikan sebagai perasaan suka
seseorang terhadap suatu kegiatan, di mana minat menjadi sebab kegiatan itu
dilakukan oleh seseorang dan juga merupakan penyebab partisipasinya dalam suatu kegiatan.
Dalam kaitannya dengann aspek kejiwaan manusia,
minat selalu berhubungan dengan aspek kejiwaan yang lain, bahkan seringkali
sulit dibedakan dengan tegas. Hilgrad (1995: 99) mengutip pendapat Strong, “interest
is not a separatedpsychological entity, but merely one of several aspects of
behaviors.” Minat tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sifat psikologis,
minat merupakan salah satu dari berbagai aspek tingkah laku. Hubungan minat
dengan aspek kejiwaan yang lain dalam hal perasaan, sikap, nilai, dan sebagainya. Minat yang dikaitkan dengan pengertian
kepribadian dan nilai selalu mengandung unsur afektif atau perasaan, koginitif,
dan kemauan (Kartini, 1990: 122).
Bardie, Daley dan Haganah yang
dikutip oleh Ebell, Noll, dan Bouer (1980), menyatakan bahwa minat dan sikap
meliputi penerimaan dan penolakan terhadap sesuatu yang dimensinya berbeda
sikap lebih bersifat setuju atau tidak setuju, sedang minat lebih bersifat
senang atau tidak senang.
Sementara itu, Kurt Singer (1987: 78)
menjelaskan bahwa minat adalah suatu landasan yang paling meyakinkan demi
keberhasilan suatu proses belajar. Seorang siswa yang memiliki rasa ingin
belajar, akan lebih cepat mengerti dan mengingatnya.
Hakikat minat belajar adalah suatu
kecenderungan atau kegairahan siswa terhadap kegiatan belajar yang dapat
memberikan stimulus dalam
kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan yang dilihat
dari adanya (1) semangat, (2) ketekunan, (3) perhatian, (4) pengorbanan, (5)
usaha keras.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Penerapan Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching Learning) Bermedia VCD
Mata pelajaran Sejarah telah diberikan
pada tingkat pendidikan dasar sebagai bagian integral dari mata pelajaran IPS,
sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran
tersendiri. Mata pelajaran Sejarah
memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa
yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa
kebangsaan dan cinta tanah air. Sebelum terarah pada pendekatan kontekstual
bermedia VCD maka secara umum materi sejarah
harus berisikan poin-poin sebagai berikut :
1.
Mengandung nilai-nilai
kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme, dan semangat
pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian
peserta didik;
2.
Memuat khasanah mengenai
peradaban bangsa-bangsa, termasuk peradaban bangsa Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan
yang mendasar bagi proses pembentukan dan penciptaan peradaban bangsa Indonesia di masa depan;
3.
Menanamkan kesadaran persatuan
dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi
ancaman disintegrasi bangsa;
4.
Sarat dengan ajaran moral dan
kearifan yang berguna dalam mengatasi krisis multidimensi yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari;
5.
Berguna untuk menanamkan dan
mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan
kelestarian lingkungan hidup.
Dalam kontekstual, tugas guru adalah membantu
siswa dalam mencapai
tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi
informasi. Guru bertugas mengelola sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi yang dapat berupa pengetahuan,
keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari “apa kata guru.
Pembelajaran kontekstual dilaksanakan
sebagai aplikasi dalam
pemaknaan belajar dan proses belajar dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini didasarkan pada landasan
teoritis tentang belajar aktif yang tidak semata-mata menekankan pada pengetahuan
yang bersifat hapalan saja. Siswa harus aktif mencari, menemukan pengetahuan
tersebut dengan keterampilan secara mandiri.
Peran guru dalam contextual learning berbeda
dengan perannya dalam
tradisional. Dalam tradisional, guru merupakan
satu-satunya penguasa dan pemberi informasi, guru memberikan informasi
pengetahuan dan siswa yang baik menyerap pengetahuan tersebut tanpa banyak
bertanya. Di sisi lain, pada kontekstual, setelah pembelajaran berlangsung guru
berperan sebagai fasilitator; guru sekedar memberikan informasi untuk
merangsang pemikiran. Para siswa didorong untuk
bertanya dan mengemukakan ide-idenya.
Bermacam-macam peralatan yang dapat
digunakan oleh guru untuk menyampaikan pesan ajaran kepada siswa melalui
penglihatan dan pendengaran untuk menghindari verbalisme yang masih mungkin
terjadi kalau hanya digunakan alat bantu visual semata. Media bila dikaitkan dengan
pembelajaran merupakan sarana komunikasi dalam proses pembelajaran yang berupa perangkat keras (hard ware)
maupunperangkat lunak (soft ware) mencapai proses dan hasil pembelajaran secara
efektif dan efisien, serta mempermudah dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Seels dan Richey (1994: 1 – 46)
menjelaskan bahwa media merupakan alat komunikasi, segala sesuatu yang membawa
informasi atau pesan-pesan dari sumber informasi kepada penerimanya mencakup
film, televisi, bahan cetak, radio, diagram, tabel dan sebagainya. Sedangkan
yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah mencakup semua bentuk media yang
digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi dengan tujuan pembelajaran.
Media
Video atau Video Compact Disc Dalam
Pembelajaran Video berfungsi sebagai media pandang
dengan (audio visual). Kelebihan penggunaan video compact disc, antara lain (1) dapat
diputar berulang-ulang, (2) tayangan dapat dipercepat atau diperlambat, (3)
tidak memerlukan ruang khusus, (4) pengoperasian alat relatif mudah, (5) keping
VCD dapat digunakan berulang-ulang.
Sementara itu kelemahan pemanfaatan
video compact disc atau VCD, antara lain (1) harus menggunakan listrik, (2)
keping VCD mudah rusak apabila perawatan dan pengoperasian yang kurang baik,
(3) produksi media ini tergantung pada peralatan canggih dan mahal. Dari
kelemahan-kelemahan tersebut jika dibandingkan manfaat dan nilai kegunaan yang
lebih besar maka dalam
penerapan pembelajaran sebaiknya diupayakan sebagai program media yang
dikembangkan di sekolah-sekolah.
Dalam penerapannya pada pembelajaran Sejarah,
dengan menggunakan media Video Compact Disc, seorang guru tinggal
memilih materi yang sesuai dengan program atau tuntutan pembelajaran, guru
selanjutnya menyiapkan CD player dan pesawat televisi kemudian menyampaikan
pengantar materi pembelajaran seperlunya baru memutar CD player, berapa lama
waktu pemutaran tergantung keperluan dan cepat lambatnya siswa menyerap materi
pembelajaran tersebut. Apabila siswa masih mengalami kesulitan atau terdapat
ketidakjelasan materi dapat dengan mudah ditayang ulang kembali dengan mudah. Dalam proses per modelan
ini, diharapkan dapat mempermudah siswa dalam pemahaman dan mempercepat siswa menyerap materi
pembelajaran. Asumsi tersebut media VCD akan mempercepat dan mempermudah pencapaian
tujuan pembelajaran.
2.
Efektivitas Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching
Learning) Bermedia VCDTerhadap Pencapaian Kompetensi Belajar Sejarah
Hasil analisa literature menunjukkan
bahwa terdapat hasil uji kompetensi antara siswa yang belajar dengan pendekatan
komntekstual bermedia VCD dan Gambar. Borko dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran kontekstual,
guru memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara mengaitkan
pembelajaran dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan
berada serta dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya (http.//www.contextual.org.id).
Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan,
keterampilan, nilai dan sikap yang ada dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dalam dan dengan kehidupan
sehari-hari (Dirjen Dikdasmen, 2001: 8).
Dengan memilih konteks secara tepat,
maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiran agar tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di
lingkungan saja, tetapi diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar
terjadi dalam
kehidupan mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat
luas. Pembelajaran kontekstual dengan menggunakan Video (VCD) menjadi semakin
menarik. Video berfungsi sebagai media pandang dengan (audio visual).
Kelebihan penggunaan video compact disc, antara
lain :
- Dapat diputar berulang-ulang,
- Tayangan dapat dipercepat atau diperlambat,
- Tidak memerlukan ruang khusus,
- Pengoperasian alat relatif mudah,
- Keping VCD dapat digunakan berulang-ulang.
Dalam penerapannya pada pembelajaran Sejarah,
dengan menggunakan media Video Compact Disc, seorang guru tinggal
memilih materi yang sesuai dengan program atau tuntutan pembelajaran, guru
selanjutnya menyiapkan CD player dan pesawat televisi kemudian
menyampaikan pengantar materi pembelajaran seperlunya baru memutar CD player,
berapa lama waktu pemutaran tergantung keperluan dan cepat lambatnya siswa
menyerap materi pembelajaran tersebut. Apabila siswa masih mengalami kesulitan
atau terdapat ketidakjelasan materi dapat dengan mudah ditayang ulang kembali
dengan mudah. Dalam
proses per modelan ini, diharapkan dapat mempermudah siswa dalam pemahaman dan
mempercepat siswa menyerap materi pembelajaran. Asumsi tersebut media VCD akan
mempercepat dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran.
Di lain pihak, pemanfaatan program
video kelompok kecil lebih efektif. Tiap kelompok diberikan tugas yang berbeda.
Pemanfaatan program ini dapat dilakukan di sekolah atau dilakukan di rumah
kelompok yang ada.
Kelemahan program ini adalah bahwa
sekolah harus menyediakan fasilitas pembelajaran berupa program VCD di luar jam
sekolah dengan menyediakan software (CD) untuk dipinjamkan kepada kelompok
pebelajar, dan pada waktu yang lain kelompok harus mempresentasikan hasil
diskusi kepada kelompok besar untuk ditanggapi, demikian seterusnya. Pada program
ini, guru berfungsi sebagai fasilitator. Dengan menggunakan media ini siswa
menjadi lebih tertarik dengan materi pelajaran.
Temuan analisis literatur selanjutnya
adalah bahwa terdapat perbedaan hasil uji kompetensi Sejarah antara siswa yang
memiliki minat tinggi dan dan minat rendah. Minat adalah kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau adanya keinginan yang besar terhadap sesuatu .Minat
dapat pula diartikan sebagai perasaan suka seseorang terhadap suatu kegiatan,
di mana minat menjadi sebab kegiatan itu dilakukan oleh seseorang dan juga
merupakan penyebab partisipasinya dalam suatu kegiatan.
Sementara itu, Kurt Singer (1987: 78)
menjelaskan bahwa minat adalah suatu landasan yang paling meyakinkan demi
keberhasilan suatu proses belajar. Seorang siswa yang memiliki rasa ingin
belajar, akan lebih cepat mengerti dan mengingatnya. Woolfolk (1993: 373)
menyatakan bahwa dalam
mengerjakan tugas siswa dipengaruhi oleh motivasi yang datang dalam dirinya (intrinsik),
yang tidak lain merupakan minatnya. Dalam mengerjakan tugas siswa hanya melihat dari kesenangan yang
diperoleh dalam
keguatan itu sendiri Lebih lanjut Muhibin Syah (2001: 106) menyatakan bahwa
minat merupakan suatu kecenderungan yang tinggi terhadap sesuatu. Dalam hal ini, dilakukan
dengan memberikan penekanan adanya semangat yang tinggi. Selanjutnya, dalam ilustrasi Crow &
Crow mengatakan bahwa jika seseorang
menaruh minat terhadap sesuatu, maka seseorang itu akan lebih lama untuk
mengingat dan mengikuti kegiatan tersebut, bahkan apabila pengalaman seseorang
terhadap suatu kegiatan selalu menimbulkan hasil yang sesuai dengan harapannya,
maka minat seseorang itu akan dapat semakin meningkat. Dengan demikian siswa
yang memiliki minat tinggi cenderung lebih berhasil dalam belajarnya.
Temuan analisis literatur berikutnya
adalah terdapat pengaruh interaksi antara pendekatan pembelajaran kontekstual
bermedia dengan minat belajar dalam mempengaruhi kompetensi belajar Sejarah. Peran guru dalam membangkitkan minat
belajar adalah dengan pemilihan bahan pengajaran yang berarti pada siswa,
menciptakan kegiatan belajar yang dapat memberikan dorongan untuk menemukan,
menerjemahkan apa yang diajarkan. Suatu bahan pengajaran disajikan sesuai
dengan tingkat kemampuan berpikir anak dan disampaikan dalam bentuk yang banyak melibatkan aktivitas
anak dalam proses belajar.
Menggunakan pendekatan pembelajaran
yang tepat, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pemilihan media
yang tepat. Media merupakan alat komunikasi, segala sesuatu yang membawa
informasi atau pesan-pesan dari sumber informasi kepada penerimanya mencakup
film, televisi, bahan cetak, radio, diagram, tabel dan sebagainya. Sedangkan
yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah mencakup semua bentuk media yang
digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi dengan tujuan pembelajaran
Sejalan dengan itu, pendekatan
kontekstual bermedia VCD dan penelusuran minat belajar siswa merupakan
alternatif untuk memenuhi kebutuhan siswa, sehingga dapat mengoptimalkan
kemampuan, penalaran, dan ketrampilannya untuk meningkatkan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran Sejarah.
Pendapat serupa dikemukakan oleh
Berdie seperti dikutip Bloom, yang menyatakan bahwa minat ditunjukkan dengan
ekspresi menyukai terhadap aktifitas, obyek dan sifat khas (Bloom, 1973: 244).
Minat merupakan stimuli yang dipelajari, diikuti karena hubungannya dengan
obyek tujuan yang dinilai. Minat pada akhirnya dapat dipadamkan apabila respon
dan relasi-relasi serta dorongan yang terlibat di dalamnya dihancurkan.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil analisis uraian pembahasan
dan temuan literature pada penulisan ini dapat disimpulkan bahwa :
1.
Kompetensi belajar Sejarah
dengan pendekatan pembelajaran kontekstual bermedia VCD sangat relevan untuk
diterapkan pada pembelajaran sejarah. Hal ini disebabkan dalam analisis ini didapatkan
temuan literature yang memperkuat teori-teori pembelajaran kontekstual khususnya
dengan menggunakan media VCD dan Gambar.
2.
Kompetensi belajar Sejarah siswa
dengan pendekatan pembelajaran kontekstual bermedia VCD efektif dalam
meningkatkan minat belajar dan interaksi kompetensi belajar Sejarah karena pendekatan
kontekstual bermedia VCD memberikan keuntungan dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dasar
siswa yaitu (1) Mengarahkan siswa untuk memperjelas kebermaknaan materi baru dalam pembelajaran, (2)
Menarik minta siswa dengan menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan bahasan dan dihubungan
dengan peristiwa sehari-hari dan (3) Mendorong siswa untuk lebih aktif dan
kreatif sehingga mampu berpikir secara ilmiah dan dapat menemukan konsep-konsep
Sejarah itu sendiri.
B. Saran
Penulisan ini diharapkan dapat
memberikan masukan sebagai berikut :
1.
Instansi Pendidikan
Diharapkan dinas pendidikan guna meningkatkan
profesionalisme guru sejarah salahsatunya diharapkan mengadakan pelatihan-pelatihan
tentang penggunaan
pendekatan kontekstual bermedia juga perlu diberikan pelatihan-pelatihan dalam merancang
pembelajaran, mempersiapkan bahan ajar dengan analisis materi pelajaran yang
tepat, menyiapkan materi dalam bentuk VCD.
2.
Institusi Pendidikan
Pihak sekolah dalam hal ini kepala
sekolah diharapkan lebih memberdayakan efektivitas penggunaan media alat bantu
pengajaran dan penyediaannya bagi kepentingan interaksi pembelajaran kelas guru
dan siswa.
3.
Pendidik
Guru Sejarah diharapkan lebih menerapkan
pendekatan kontekstual bermedia VCD dalam menyampaikan materi pelajaran Sejarah. Juga diharapkan
senantiasa mempertimbangkan minat siswa pada pelajaran Sejarah dengan cara:merangsang
dan memotivasi siswa dalam
menemukan dan mendapatkan informasi baru; memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi;
pembuatan tugas akademis yang lebih menarik sesuai dengan materi pelajaran
dengan menggunakan media dan metode yang menarik bagi siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:
Rineka Cipta
Elliot, Stephen N et al,. 1996. Educational Psycology, Brown and Benchmark. Iowa
: Dubuque.
Jonassen, David H. 1996. Computer as a Mindtools for Schools. New Jersey : Prentice Hall.
Lee, Kwuang-wu. 2000. English Teachers’ Barriers to the Use of Computer assisted Language
Learning. The Internet TESL Journal, Vol. VI, No. 12, December 2000. http:/www..aitech.ac.jp.
Nana Sudjana. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Ngalim Purwanto. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosda Karya
Seells, Barbara B. And Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran.(Terjemahan
Prawiradilaga dkk.). Jakarta:
LPTK.
Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah
Dasar Metode Teknik. Bandung
Tarsito.
W.S. Winkel. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta:
PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
No comments:
Post a Comment