Google Translate

Canine Parvovirus (Virus Parvo Pada Anjing)



Parvo virus adalah penyakit infeksi yang cukup sering terjadi pada anjing. Penyakit ini disebabkan oleh Canine Parvovirus type 2 (CPV 2). Virus ini banyak menyerang anjing muda, yaitu pada usia 6 sampai 16 minggu, namun anjing tua juga dapat terjangkit walaupun jarang. Semua ras anjing dapat terserang virus ini terutama untuk ras Rottweiler, Dobermann, Golden Retriever dan Labrador Retriever. Infeksi Canine Parvovirus (CPV), atau yang dikenal dengan penyakit Muntaber pada anjing, mulai mencuat sekitar tahun 1980-an di mana kasus muntah dan mencret berdarah banyak dijumpai di kalangan praktisi dunia kedokteran hewan di Indonesia.
Penyakit ini ditemukan pertama kali tahun 1977 di Texas, Amerika Serikat, kemudian menyebar ke berbagai negara di dunia. Infeksi CPV tidak hanya menyerang saluran pencernaan tetapi juga menyerang jantung yang dapat berakibat kematian mendadak pada anak anjing. Kasus Parvovirus bentuk enteritis juga dapat ditemukan pada kucing yang dikenal dengan Feline Panleucopenia (FPL).

Virus canine parvovirus (CPV) ini termasuk dalam famili Parvoviridae. Diameter virus CPV berkisar 20 nm, termasuk virus single stranded DNA, dan virionnya berbentuk partikel ikosahedral serta tidak beramplop, dan perkembangbiakan virus ini sangat tergantung pada sel inang yang sedang aktif membelah. Dalam gradien CsCl, CPV mempunyai kepadatan gradien 1,43 g/ml. CPV terdiri dari 3 protein virus yaitu VP1, VP2, dan VP3 dengan berat molekul 82.500 sampai 63.500.
Infeksi CPV pertama kali ditemukan pada tahun 1978 dimana diperkirakan merupakan mutasi dari feline parvovirus yang dikaitkan dengan Feline Pan Leukopenia. Mutasi tersebut membuat virus ini menjadi lebih spesifik menyerang anjing. Ada dua tipe parvovirus yang menginfeksi anjing. Canine parvovirus-1 (CPV-1), juga dikenal sebagai “minute virus of canine”, yang relative dikenal sebagai virus nonpatogenik yang kadang dihubungkan dengan gastroenteritis, pneumonitis, dan/atau myokarditis di anak anjing yang sangat muda. Canine parvovirus-2 (CPV-2) lebih dikenal sebagai enteritis klasik dari parvovirus.

Sifat virus
Virus canine parvovirus (CPV) sangat stabil pada pH 3 hingga 9 dan pada suhu 60°C selama 60 menit. Karena virus ini tidak beramplop maka virus ini sangat tahan terhadap pelarut lemak, tetapi virus CPV menjadi inaktif dalam formalin 1%, beta-propio
lakton, hidroksilamin, larutan hipoklorit 3%, dan sinar ultra violet. Virus CPV diketahui mempunyai daya aglutinasi terhadap sel darah merah babi, kera dan kucing pada suhu 4°C dan 25°C pada pH 6,0–7,2 tetapi tidak pada suhu 37°C.

Patogenesis
Saat ini CPV ditularkan secara alami melalui kontak langsung dengan anjing yang terinfeksi CPV, atau makanan yang telah terkontaminasi virus CPV. Virus CPV dapat diekresikan melalui feses, air seni, air liur dan kemungkinan melalui muntah. Virus CPV pada feses dapat terdeteksi selama 10–14 hari. Transmisi penularan CPV dapat terjadi melalui makanan, piring, tempat tidur dan kandang yang telah terkontaminasi virus CPV. Penularan secara vertikal diduga dapat terjadi pada anjing yang sedang bunting.
Setelah CPV-2 menginfeksi tubuh, replikasi virus akan dimulai di jaringan limfoid gastrointestinal, dari sini virus akan menyebar ke kripta dari usus kecil. Virus berlokasi di epithelium lidah, mulut, dan mukosa esophagus, usus kecil, dan jaringan limfoid. Karena CPV-2 menginfeksi sel germinal pada kripta intestinum, sel menjadi rusak dan filinya memendek. Aktifitas mitosis dari sel myeloid dan sel limfoid juga menjadi target, menyebabkan terjadi neutropenia dan limfopenia.
Canine parvovirus merupakan virus yang paling resisten terhadap keadaan lingkungan. Virus ini dapat tahan selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Virus ini menyebar terutama melalui kontak langsung dengan feses hewan terinfeksi. Target virus adalah sel yang sedang berkembang dan membelah secara cepat, dan tergantung faktor ini jaringan gastrointestinal maupun jantung dapat terserang. Virus telah bermutasi sejak virus pertama kali dikenali, dan CPV-2b biasanya lebih pathogen pada beberapa anjing. CPV-2b juga biasa menyerang kucing. Virus merusak kripta intestinal dan membuat vili runtuh, diare, muntah, perdarahan usus dan invasi bakteri berikutnya; bagaimanapun juga, beberapa hewan mempunyai gejala yang ringan atau bahkan subklinik. Beberapa anjing dapat menunjukkan depresi, anoreksia, dan/ atau muntah ( yang dapat mirip seperti menelan benda asing), dan tidak menunjukan diare. 
Diare lebih sering absent pada 24 – 48 jam pertama penyakit dan mungkin tidak berdarah jika hal ini terjadi. Protein dari usus akan hilangmungkin bisa menyebabkan keradangan sekunder, yang menyebabkan hypoalbuminemia. Muntah biasanya lebih dulu ditemukan dan beberapa bias menyebabkan oesofagitis. Rusaknya sumsum tulang dapat menyebabkan neutropenia sementara atau berkepanjangan, membuat hewan mudah terkena infeksi bakteri yang serius, terutama jika traktus intestinal yang rusak membolehkan bakteri masuk kedalam tubuh. Demam dan/atau septic shock biasanya umum terjadi pada anjing yang sakit tetapi jarang absen pada sedikit hewan yang terpengaruhi. Anak anjing terinfeksi sejak dalam kandungan atau sebelum berumur 8 minggu mungkin akan terjadi myokarditis. Sedangkan menurut Lane and Cooper (2003) gejala klinis berupa kematian mendadak pada anak anjing, depresi, anoreksia, muntah terus-menerus, bisa pakan utuh sampai darah, diare cair merah-coklat dengan bau yang amis, dehidrasi, shock, hipotermia dan melanjut sampai kematian jika tidak dirawat.
Infeksi Canine Parvo Virus melalui inhalasi/ingesti, terbawa sistem limfatik, tonsil, nodus limfatik regional dan usus berkaitan dengan jaringan limfoid, tergantung rute masuknya. Di sini replikasi primer virus terjadi dan dalam 3-5 hari akan terjadi viremia. Target replikasi selanjutnya tergantung umur anjing. Jika anjing berumur 7 minggu dimana sel myokardium secara cepat berkembang, maka sel ini menjadi sasaran utama CPV, menimbulkan infeksi myokardial. Imunosupresi juga akan terjadi jika jaringan limfoid dan sel yang sedang berkembang cepat pada sumsum tulang juga terinfeksi. Pada anjing berumur lebih dari 7 minggu, dimana perkembangan myokardium selesai sempurna, maka CPV akan mengubah targetnya ke saluran gastrointestinal, sehingga akan timbul gejala klinis yang terkait dengan organ-organ pencernaan, sejalan dengan adanya imunosupresi akibat infeksi pada sistem limfoid.

Gejala klinis
Infeksi oleh CPV-2 akan memperlihatkan gejala yang digolongkan menjadi radang otot jantung (myocarditis) dan radang usus (enteritis). Gejala myocarditis terjadi pada anjing yang terinfeksi virus parvo sudah sejak kandungan dan induk belum pernah mendapatkan vaksin parvovirus. Pada kondisi ini semua anak anjing sekelahiran akan menderita myocarditis. Infeksi CPV-2 menyebabkan pembengkakan atau pembesaran jantung sehingga jantung tidak mampu mengedarkan darah ke seluruh tubuh. Gejala enteritis hampir diderita semua anjing yang terinfeksi CPV-2. Radang usus yang disebabkan CPV-2 berjalan sangat cepat, terkadang 2 hari pasca infeksi korban sudah mati atau dalam keadaan shock berat disebabkan sepsis oleh bakteri gram negatif atau adanya koagulasi di dalam pembuluh darah. Gejala khas pada anjing yang terinfeksi CPV-2 yaitu muntah berat, diare, anorexia, dehidrasi, feses berwarna abu kekuningan-kuningan kadang bercampur darah. Sedangkan pada kasus yang berat gejala tersebut ditambah dengan demam, leukopenia, dan limfopenia.

Diagnosa
Kasus diare berdarah yang disertai ataupun tidak dengan muntah patut dicurigai sebagai penyakit akibat parvovirus. Secara histologi CPV-2 menunjukkan lesi-lesi dalam jaringan jejenum, ileum, limfoglandula mesenterika, dan jaringan limfoid lainnya. Imunofluoresen dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi CPV-2 dalam usus kecil, jantung, kelenjar thymus, limpa, dan limfoglandula lain. Diagnosa CPV dapat dipastikan apabila setelah 3 hari atau lebih setelah anjing menunjukkan gejala klinis titer HI (inhibition of hemaglutination) dalam darah tinggi. Selain itu dapat pula digunakan ELIZA antigen test yang spesifik terhadap CPV.
Pemeriksaan serologis meliputi uji single radial haemolysis, ELISA, uji HI, dan uji serum netralisas. Akhir-akhir ini uji ELISA untuk mendeteksi antibodi mulai diterapkan terutama menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik terhadap CPV, sehingga hasil yang diperoleh lebih sensitif dan spesifik. Pemeriksaan virologis meliputi isolasi virus, dan deteksi antigen/partikel CPV seperti uji ELISA, Fluoresence antibodi teknik (FAT), atau elektron mikroskop yang merupakan teknik diagnosis yang paling baik untuk diterapkan. Meskipun CPV belum tentu dapat diisolasi dari kasus CPV yang klasik, isolasi dapat dilakukan dan diinokulasikan dalam biakan jaringan. Tetapi tidak jarang virus berbiak pada biakan jaringan tanpa disertai CPE. Untuk kasus tersebut, deteksi virus pada biakan tersebut perlu dilengkapi misalnya dengan uji HA, HI atau FAT.



KESIMPULAN


Infeksi CPV merupakan infeksi virus yang akut, kontagius dan infeksius yang menyerang anjing terutama anjing muda yang dapat berakibat fatal. Pada anak anjing umur di bawah 1 bulan umumnya infeksi CPV bertipe miokarditis, sedangkan pada umur yang lebih tua infeksi CPV umumnya bertipe enteritis. Pemberian vaksinasi merupakan cara pencegahan yang paling efektif untuk mengurangi kasus CPV. Monitoring kekebalan pasca vaksinasi perlu dikembangkan untuk mengevaluasi program vaksinasi yang tepat dan menghindari kegagalan vaksinasi dan mutasi agen CPV yang baru.


DAFTAR PUSTAKA


SENDOW, INDRAWARTI. 2003. Canine parvovirus pada anjing. Balai Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114
AFSHAR, A. 1981. Canine Parvovirus infections. a review. Vet. Bull. 51: 605–612.
APPEL, M. and C.R. PARRISH. 1987. Canine parvovirus type 2. In: Virus infections of carnivores”. M. APPEL. (Ed.) Elseviers, Science Publisher. Pp. 69–92.

No comments:

Baca Juga Artikel Yang Lainnya:

·