Setelah terbentuk antibodi,
antigen dihancurkan atau dinetralkan oleh antibodi, sehingga hanya imunosit
dengan afinitas reseptor yang tinggi sajalah yang dapat mengenali antigen,
dengan demikian aktivitas imunosit makin lama makin berkurang. Penurunan
aktivitas ini selain diatur oleh penurunan jumlah antigen juga disebabkan oleh
antibodi itu sendiri yang dapat memberikan umpan balik negatif. Penurunan
aktivitas imunosit itu juga terjadi karena penangkapan kompleks
antigen-antibodi oleh APC dalam kondisi antibodi poliklonal berlebihan menjadi
kurang efisien akibat banyaknya reseptor Fc yang dapat ditempati oleh
imunoglobulin yang mengikat molekul antigen. Selain itu antigen yang terikat
pada antibodi dalam kondisi antibodi berlebihan juga terlindung dari
proteolisis. Akibatnya pemrosesan antigen akan terganggu, sehingga aktivasi sel
T juga terhambat (Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Faktor lain yang berperan dalam
pengendalian respon imun adalah limfosit T. Pengendalian atau penekanan respons
imun diawali dengan aktivasi sel T suppresor-inducer yang akan memicu
aktivias sel T penekan. Percobaan secara invitro menunjukkan bahwa aktivasi sel
T suppressor-inducer terjadi karena adanya kontak dengan antigen yang disajikan
oleh sel T-supressor (Ts) melalui determinan I-J yang diekspresikan bersama MHC
kelas II. Molekul I-J dianggap menggambarkan idiotip pada sel Ts yang dipilih
oleh MHC kelas II saat terjadinya perkembangan sel.
Hipotesis ini adalah melalui
pengenalan idiotip pada reseptor Th oleh antiidiotip pada sel Ts atau interaksi
antara antiidiotip dengan antibodi terhadap terhadap antiidiotip
(anti-antiidiotip) karenan antiidiotip dalam keadaan tertentu dapat meniru
(mimic) antigen. Sebagai contoh, hormon yang terikat pada reseptor akan mengikat antihormon,
kemudian antibodi terhadap antihormon (anti-antihormon) mengikat antihormon.
Karena reseptor dan antihormon dapat mengikat hormone dank arena antihormon
dapat mengikat antibody terhada antihormon maka anti-hormon ini dapat mengikat
reseptor. Dengan demikian interaksi idiotip-antiidiotip memungkinkan sel Ts
melakukan fungsi penekanan pada sel Th maupun sel B. penekanan juga dapat
terjadi secara nonspesifik, misalnya dengan menginkubasikan sel T dengan
activator poliklonal Con A. selain itu factor-faktor penekan yang diproduksi
oleh sel Ts dapat diikat oleh APC. Pengikatan itu antara lain mengakibatkan
sintesis IL-1 dihambat, sehingga kemampuan APC menjadi berkurang. Jumlah sel Ts
yang diaktivasi tergantung dari berbagai hal. Seperti jumlah dan cara masuknya
antigen, seta umur dan dasar genetic individu bersangkutan (Kresno, 1991; Roitt
dkk, 1993; Subowo, 1993).
No comments:
Post a Comment