Sel-sel imunokompeten agar dapat
mengenali antigen maka pada permukaan sel T dan sel B dilengkapi dengan
reseptor molekul. Reseptor antigen pada permukaan limfosit T berbentuk
heterodimer dengan molekul CD3, sedangkan pada permukaan limfosit B terdapat
sebagai molekul imunoglobulin.
Dalam proses pengenalan antigen
bakteri atau parasit limfosit B dapat melaksanakan sendiri tanpa bantuan sel
yang lain. Sebaliknya limfosit T tidak dapat mengenali secara langsung. Proses
pengenalan antigen tersebut memerlukan jenis sel lain yang dinamakan sel
pelengkap (Accessory cell) yang berfungsi untuk memproses secara kimia terlebih
dahulu agar antigen dapat disajikan kepada limfosit T bersama-sama dengan
molekul Major Histocompatibility Complez (MHC) (Hokama, 1982; Grey dkk, 1989;
Vitetta dkk, 1989).
Limdosit T hanya dapat menanggapi
antigen apabila disajikan oleh sel pelengkap. Sel pelengkap pertama yang
diketahui sebagai penyaji antigen (APC) adalah sel makrofag. Sel
penyaji akan memproses antigen dahulu sebelum disajikan sebagai molekul yang
dikenali oleh limfosit T. Cara memproses dan penyajian antigen“eksogen“ pada
umumnya dapat menyebabkan aktivasi limfosit dari sub populasi tertentu sehingga
membantu aktivasi limfosit B dalam memproduksi antibodi. Limfosit T yang
berperan dalam peristiwa ini adalah limfosit T helper (CD 4) (Roitt dkk, 1993;
Subowo, 1993).
Tidak semua antigen yang dikenal
oleh limfosit T berasal dari luar sel penyaji. Antigen“endogen“ diperoleh oleh
sel penyaji sebagai akibat infeksi virus dalam sel atau dari sel yang telah
berubah menjadi ganas. Sel-sel tersebut mengekspresikan antigen khas virus
tumor pada permukaannya. Secara teoritis semua sel dalam tubuh inang mempunyai
kemampuan sebgai sel penyaji antigen“endogen“ yang khass tersebut, terhadap
limfosit T dari sub populasi yang tergolong sel sitotoksik. Sel sitotoksik
dapat menanggapi antigen“endogen“ dengan cara membunuh sel-sel yang
menyajikannya (Abbas dkk, 1991; Bellanti, 1985; Subowo, 1993).
Sampai saat ini diduga bahwa
antigen endogen yang disajikan sebelumnya tidak perlu diproses. Hal ini
disebabkan oleh karena protein sebagai antigen endogen tersebut merupakan
bentuk ekspresi gen virus atau gen tumor, sehingga limfosit sitotoksik dapat
bereaksi langsung terhadap antigen tersebut. Dengan demikian dalam sistem imun
terdapat dua jalur terpisah untuk menyampingkan antigen yaitu : Jalur untuk
antigen eksogen dan jalur untuk antifen endogen.
Protein bakteri yang diambil oleh
limfosit B dari sekitarnya yang kemudian diproses oleh limfosit T helper akan
mempunyai dampak diproduksinya antobodi spesifik. Sebaliknya protein abnormal
yang dibuat oleh sel inang mendorong aktivasi limfosit T sitotoksik untuk
membunuh sel inang. Zinkernagel dan Doherty (1974) mengemukakan bahwa sel
limfosit T tidak saja mampu mengenali antigen asing akan tetapi juga molekul
MHC yang terdapat pada permukaan sel inang yang dihadapinya. Limfosit T yang
telah mengadakan respon imun terhadap antigen yang disajikan oleh sel-sel yang
terinfeksi virus bersama-sama molekul MHC kelas I tertentu dengan antigen yang
sama tetapi disajikan oleh sel terinfeksi virus dengan molekul MHC kelas I yang
berbeda latar belakang genetiknya. Mereka menemukan bahwa apabila molekul
protein MHC kelas I pada sel-sel yang terinfeksi virus ini berasal dari
individu yang berbeda dengan individu yang pertama maka sel-sel yang terinfeksi
virus tersebut tidak akan dibunuh oleh sel-sel T tersebut. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa, agar limfosit dapat mengadakan respon imun, harus mengenal
dua kesatuan antigen yaitu antigen asing dan antigen diri yang spesifik.
Persyaratan ini dinamakan dengan “Restriksi MHC“ (Hendrik, 1989; Kresno, 1991;
Roitt dkk, 1993).
Ada beberapa hipotesis mengenai
cara limfosit T berinteraksi dengan antigen yang terikat pada MHC. Hipotesis
pertama menyatakan bahwa interaksi itu dilakukan melalui dua reseptor pada
permukaan sel T, dimana satu reseptor berinteraksi dengan antigen sedangkan
reseptor yang lainnya berinteraksi dengan MHC. Sedangkan hipotesis kedua
mengemukakan bahwa reseptor pada limfosit T berbentuk reseptor tunggal yang
secara spesifik mengenal dua antigen asing dan antigen MHC secara bersama-sama.
Belakangan ini orang lebih cenderung setuju dengan teori yang kedua (Abbas dkk,
1991; Kresno, 1991; Subowo, 1993).
Teori reseptor tunggal tersebut
menjelaskan bahwa abtigen yang akan diproses dan antigen MHC harus merupakan
suatu kesatuan kompleks yang harus cocok dengan reseptor pengenal tunggal dari
limfosit T. Dengan demikian molekul MHC pada mulanya bertindak sebagai reseptor
primer untuk antigen yang telah diproses dan selanjutnya sebagai kompleks
molekul baru yang akan berikatan secara tepat dengan reseptor sekunder pada
limfosit T agar terjadi respon imun.
Untuk membangkitkan suatu respon
imun, agar antigen dapat ditangkap oleh limfosit T, maka adanya kesesuaian
antara molekul MHC yang berbeda pada setiap individu dengan antigen yang telah
diproses oleh sel inang merupakan tahap pertama yang sangat menentukan (okama,
1982; Vitetta, 1989).
Aktivasi Limfosit T
Aktivasi limfosit T merupakan
akibat dari interaksi ligan-reseptor yang berlangsung antara permukaan limfosit
T dan sel penyaji antigen (APC). Interaksi ini akan mengawali peristiwa
biokimia dalam sel T yang memuncak dalam bentuk respon seluler. Walaupun telah
jelas bahwa sejumlah molekul permukaan sel yang berbeda-beda pada sel T dan sel
penyaji ikut berperan dalam interaksi antar sel selama penyajian yang rumit,
namun untuk aktivasi limfosit T oleh antigen paling sedikit harus melibatkan
perangsangan reseptor antigen dari sel T (TCR). Antigen yang terikat oleh
molekul MHC merupakan ligan untuk reseptor pada limfosit T (Abbas dkk, 1991;
Roitt dkk., 1993; Kresno, 1991).
Rangsangan oleh induksi sel
antigen dapat dianggap sebagai pemberian rangasangan primer dalam mengawali
aktivitas limfosit T. Rangsangan pada T cell receptor (TCR) saja tidak cukup
untuk menginduksi terjadinya pembelahan sel T dalam tahap Go. Molekul-molekul
permukaan yang lain pada sel T istirahat ikut berperan pula dalam aktivasi sel
sebagai molekul pelengkap dengan cara berikatan dengan molekul mitranya pada
sel penyaji atau sel sasaran. Molekul-molekul pelengkap ini ada yang bertindak
sebagai reseptor untuk molekul permukaan sel penyaji atau reseptor untuk
molekul protein yang dihasilkan oleh sel penyaji. Molekul pelengkap tersebut
berperan dalam proses aktivasi :
- Sebagai molekul perekat, akan memperkuat interaksi antara sek T dengan sel penyaji.
- Sebagai transduser, antara sinyal transmembran yang diterima oleh reseptor antigen (Ti/TCT).
- Untuk mengawali sinyal transmembran mereka sendiri yang berbeda dengan sinyal yang melalui TCR.
Interaksi
antara TCR dengan ligannya (antigen+MHC) megawali aktivasi seluler dengan cara
menginduksi sinyal transmembran. Transduksi sinyal semacam ini bermanifestasi
dalam bentuk mediator intraseluler yang dinamakan dengan“second messenger“ yang
berfungsi untuk melalui aktivasi sel (Vitetta, 1989; Hendrik, 1989; Abbas,
1991).
Selama terjadinya proses
aktivasi, akan berlangsung transduksi sinyal melalui TCR baik secara lansung
maupun secara tidak langsung, sedangkan periode berikutnya terjadi pembelahan
sel yang pada umumya sebagai hasil dari sederetan aktivasi gen yang sangat
kompleks. Dengan demikian aktivasi seluler dari limfosit T istirahat, menghasilkan
ekspresi molekul permukaan yang baru, sekresi limfogen, pembelahan sel dan
diferensiasi sel menjadi sel efektor.
Interaksi antara antigen yang
disajikan oleh APC dengan limfosit T helper (Th), merupakan tahap awal
terjadinya respon imun seluler maupun respon imun humoral. Sel T dan sel B berkomunikasi satu dengan yang lainnya melalui berbagai
reseptor dan berbagai sebstansi yang diproduksi. Subpopulasi sel T yang
bereaksi dengan antigen yang ditampilkan bersama dengan MHC berbeda satu dengan
yang lainnya tergantung dari sifat antigen dan MHC yang mengikat dan yang
menampilkannya. Sel T yang disebut CD4+ bereaksi dengan antigen yang diproses
oleh APC dan dipresentasikan bersama dengan MHC kelas II. Sub populasi sel T
yang lain yaitu CD8+ yang berfungsi sebagai sel sitotoksi bereaksi dengan
antigen yang dibentuk oleh sel, misalnya protein virus atau antigen
histokompatibilitas minor, yang ditampilkan bersama dengan MHC kelas I. Proses
pengikatan antigen yang dibentuk dengan MHC kelas I dapat berlangsung saat
sintesis atau perakitan kedua molekul bersangkutan. Presentasi antigen yang
terikat pada MHC kelas I merangsang sel T sitotoksik untuk melancarkan aksinya
(Vitetta dkk, 1989; Hendrik, 1989; Roitt dkk, 1993).
Antigen yang ditangkap oleh
makrofag atau oleh sel-sel APC yang lain akan masuk kedalam sel dengan cara
endositosis atau pinositosis. Sebagai APC baik makrofag maupun sel B mempunyai
fungsi yang sama tetapi sel B mempunyai kelebihan dari makrofag karena sel B
mampu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan (sIg). Dengan demikian
antigen dalam jumlah kecilpun akan dapat ditangkap dan diproses sehingga sel B
dapat berfungsi sangat efisien. Tetapi jika konsentrasi antigen cukup tinggi
sel B tidak perlu menangkap antigen melalui imunoglobulin permukaan karena
proses internalisasi dapat terjadi dengan cara pinositosis pada makrofag
(Bellanti, 1985; Kresno, 1991).
Antigen di dalam sel diproses
dengan berbagai cara diantaranya melalui proses denaturasi atau proteolisis
yang terjadi di dalam endosom. Segmen-segmen yang bersifat hidrofobik kemudian
dimunculkan kembali pada permukaan sel bersama-sama dengan MHC. Pada beberapa
keadaan antigen tidak dirombak dengan cara proteolisis tetapi hanya dirubah
konfigurasinya atau hanya dilekatkan pada molekul lipid (Vitetta dkk, 1989;
Subowo, 1993).
No comments:
Post a Comment