Analisa resep dalam tugas khusus ini bertujuan untuk menilai
apakah suatu resep obat yang diberikan oleh dokter kepada pasien telah
rasional, serta apakah berpotensi menimbulkan Drugs Related Problems (DRP) serta kemungkinan terjadinya medication error (ME).
Penggunaan obat yang rasional
dapat dijabarkan sebagai penggunaan obat yang tepat dengan memperhitungkan
aspek manfaat dan kerugiannya. Penggunaan obat yang rasional akan memberikan
manfaat yang lebih besar dibanding kerugian yang diakibatkannya.
DRP umumnya berhubungan dengan
dosis, seperti kurang/ lebih dosis atau mungkin salah dosis, adanya indikasi
yag tak terobati, atau bahkan obat diberikan tanpa indikasi. DRP yang lain
mungkin disebabkan oleh adanya interaksi obat, dengan obat lain, maupun dengan
makanan yang dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan terapi. Resiko efek
samping dan kemungkinan terjadinya reaksi obat merugikan (ROM) juga merupakan
faktor penyumbang terjadinya DRP.
Sedangkan medication error (ME) lebih berupa suatu kejadian yang merugikan
pasien, selama pasien tersebut berada dalam penanganan tenaga kesehatan.
Instalasi farmasi Rumah Sakit
sebagai satu-satunya bagian dalam Rumah Sakit yang berwenang menyelenggarkan
pelayanan kefarmasian, harus dapat menjamin bahwa pelayanan yang dilakukannya
rasional dan sesuai dengan ketentuan standar pelayanan kefarmasian yang telah
ditetapkan. Pelayanan kefarmasian ini harus dapat mengidentifikasi, mencegah,
dan menyelesaikan masalah-masalah kesehatan terutama yang berkaitan dengan
obat.
Dalam tugas khusus ini saya akan
mencoba menganalisa beberapa resep pasien rawat jalan sebagai berikut :
1.
Resep 1
25/7/2011
R/ Furosemid XXV
S
1-1/2-0
R/ KSR XV
S 1
dd 1
R/ Metformin
500 XLV
S 3
dd 1
R/ Glibenklamide
5 XV
S
1-0-0
R/ Diazepam
2 XXX
S 2
dd 1
R/ Aspilet XV
S 1
dd 1
R/ ISDN
5 XV
S 1
dd 1 SL bila nyeri dada
R/ Antasida
Fl. I
S 4
dd IC
R/ Simvastatin XV
S
0-0-1
R/ Gemfibrozil
300 XV
S
0-0-1
Pro :
Tn. A (40 Th)
a.
Anamnesa
Pasein menyatakan telah lama menderita penyakit
kolesterol, sakit jantung, diabetes mellitus dan tekanan darah tinggi (140
mmHg).
b.
Analisa Kasus
Dalam kasus ini Tn. A yang berusia 40 tahun,
mendapat 10 item obat dalam satu kurun waktu pengobatan. Pasien mengalami
diabetes mellitus dengan diagnosa penyerta tekanan darah tinggi,
hiperlipidemia, dan gangguan jantung. Obat-obat yang diresepkan dokter adalah
sebagai berikut:
-
Furosemid, sebagai antihipertensi golongan diuretik loops diuretik
-
KSR/ Kalium klorida 600 mg, sebagai suplemen kalium untuk mencegah
hipokalemia akibat penggunaan diuretik
-
Metformin dan glibenklamid sebagai antidiabetes oral
-
Diazepam, sedative golongan benzodiazepin
-
Aspilet sebagai antiplatelet
-
ISDN, sebagai antiangina
-
Antasida, untuk menetralkan asam lambung
-
Simvastatin dan gemfibrozil sebagai antihiperlipidemia
Furosemid digunakan sebagai agen
antihipertensi tunggal, karena hipertensi yang dialami pasien masih berada pada
stage 1 (tekanan diastolik antara 140-159 mmHg). Sehingga penggunaan agen
tunggal umumnya cukup efektif. Penggunaan furosemid (loop diuretik) pada pasien
yang memiliki diagnose penyerta berupa diabetes mellitus dan gagal jantung
seperti pada kasus ini, diperbolehkan. Sehingga pemilihan furosemid dapat
dianggap rasional.
Dari segi dosis, umumnya furosemid
diberikan sekali sehari (40 mg/hari), yaitu pada pagi hari. Namun dalam kasus
ini, pasien menerima furosemid 40 mg pada pagi hari dan 20 mg pada siang hari
(60 mg/hari). Dosis tersebut masih berada pada dosis yang dianjurkan, terlebih
pasien juga menderita gagal jantung, sehingga dosis yang lebih tinggi
diperbolehkan. Waktu pemberian furosemid juga masih aman, yaitu pada pagi dan
siang hari, sehingga resiko terjadinya diuresis nokturnal masih dapat
dihindarkan. (Dipiro; 233-236)
Pemberian KSR/ kalium klorida,
sebagai suplemen kalium, dapat dibenarkan, mengingat furosemid merupakan
diuretik yang boros kalium, sehingga dapat memicu terjadinya hipokalemia.
(Dipiro; 197).
Disamping kemungkinan terjadinya
hipokalemia, pengguna furosemid juga berpeluang mengalami kekurangan kadar
ion-ion lainnya, akibat peningkatan urinasi, seperti natrium (hiponatremia),
magnesium (hipomagnesemia), serta kemungkinan terjadinya gout. (BNF 57; 76)
Pasien dapat dipastikan menderita
diabetes mellitus tipe 2, karena dokter hanya meresepkan andiabetik oral, tanpa
insulin. Pasien diberi kombinasi metformin 500 mg tiga kali sehari, dan
glibenklamide 5 mg satu kali sehari.
Metformin merupakan antidiabetik
golongan biguanide, yang bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin
dan menurunkan resistensinya. Dan metformin merupakan agen antidiabetik utama
untuk terapi diabetes tipe 2, selama penggunaannya tidak dikontraindikasikan
pada pasien tersebut. Metformin yang dikombinasi dengan glibenklamide, sangat
diperbolehkan. Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman.
Dimana dosis maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000
mg/hari untuk metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).
Baik metformin maupun
glibenklamide dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada saluran cerna berupa mual,
muntah, dan diare. (BNF; 376).
Penggunaan ISDN, Aspilet dan
diazepam kemungkinan digunakan untuk terapi gangguan jantungnya.
Diazepam kemungkinan diberikan
untuk memberi efek antiansiolitik dan sedasi yang menenangkan sehingga,
mengurangi beban kerja jantung. Kemungkinan juga untuk mengatasi insomnia yang
dapat disebabkan oleh gemfibrozil. (BNF 57; 693, 146)
Aspilet diberikan sebagai
antiplatelet yang dapat mengencerkan dan memperlancar peredaran darah. ISDN
digunakan sewaktu-waktu saat terjadi serangan sesak nafas, atau nyeri dada,
atau serangan angina. ISDN diberikan secara sublingual, untuk mempercepat onset
kerja ISDN, dan mencegah terjadinya metabolism lintas pertama dihati.
Kombinasi simvastatin 10 mg/hari
dan gemfibrozil 300 mg/hari dalam dosis tunggal pada malam hari ditujukan
sebagai terapi antihiperlipidemia. Suatu studi menunjukkan bahwa pemberian
simvastatin mampu mengurangi 42% resiko kejadian panyakit jantung koroner pada
penderita diabetes mellitus yang memiliki konsentrasi kolesterol LDL dalam
darahnya tinggi. Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor resiko
terjadinya penyakit jantung koroner. Dalam studi ini simvastatin digunakan
sebagai agen tunggal. (Dipiro; 476-479, 1398)
Penggunaan bersamaan simvastatin
(golongan statin) dengan gemfibrozil (golongan fibrat) meningkatkan resiko
rhabdomyolisis, sehingga kombinasi tersebut tidak boleh digunakan. (BNF 57;
140)
Penggunaan simvastatin lebih dari
10 mg/hari harus disertai dengan pemantauan klirens kreatininnya (harus >30
ml/menit). (BNF 57; 813)
Penggunaan antasida kemungkinan
sebagai penanganan efek samping obat yang dapat mengiritasi lambung, sehingga
meningkatkan sekresi asam lambung. Aspilet dapat mengiritasi lambung, akibat
adanya penghambatan pada pembentukan prostaglandin. Diazepam dapat menyebabkan
ketidaknyamanan lambung, begitu pun dengan furosemid.
Interaksi obat yang mungkin
terjadi pada kasus ini antara lain:
-
Jus anggur dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari simvastatin
-
Gemfibrozil dapat meningkatkan efek antidiabetik dari sulfonylurea (BNF
57; 746)
c.
Saran
Berdasarkan ulasan pustaka diatas dapat disarankan :
-
Sebaiknya antihiperlipidemia yang digunakan merupakan agen tunggal, yaitu
simvastatin atau gemfibrozil saja, bukan sebagai kombinasi keduanya. Dan
tampaknya penggunaan simvastatin lebih aman, dibandingkan dengan gemfibrozil.
Karena gemfibrozil berinteraksi dengan sulfonylurea, dan mengakibatkan
peningkatan efek hipoglikemia sulfonylurea.
-
Ingatkan pada pasien untuk tidak mengkomsumsi jus anggur selama pasien
masih mengkonsumsi simvastatin
-
Sarankan pada pasien untuk melakukan diet karbohidrat dan lemak yang
ketat, untuk menjaga suapaya kadar glukosa dan lipid dalam darah tetap berada
pada rentang yang aman
-
Sarankan juga pada pasien untuk selalu menyediakan asuapan glukosa cepat
(permen, atau minuman manis) jika sewaktu-waktu terjadi hipoglikemia.
-
Pasien juga harus cukup istirahat, dan menghindari kelelahan, untuk
menjaga kerja jantung tetap normal. Pasien juga harus menghindari rokok dan
alkohol. Olah raga ringan yang teratur masih diperbolehkan, sebatas tidak
menimbulkan kelelahan.
2.
Resep 2
22/7/2011
R/ Captopril
25 XLV
S 3
dd 1
R/ HCT XV
S
1-0-0
R/ Bisoprolol
5 XV
S 1
dd 1
R/ ISDN
5 XV
S 1
dd 1 SL bila nyeri dada
R/ B1 XLV
S 3
dd 1
R/ Meloxicam
15 XV
S 2
dd 1
R/ Antasida
Fl. I
S 4
dd C
Pro :
Ny. N (61 Th)
a.
Ananmnesa
Pasien mengeluh nyeri dada, tekanan darah tinggi,
sering tremor, dan pegal-pegal pada sekujur badan.
b.
Analisa
Dalam kasus ini pasien menerima 7 item obat dalam
sekali waktu konsumsi. 7 item obat tersebut yaitu :
-
captopril yang merupakan antihipertensi golongan inhibitor enzim
pengkonversi angiotensin (ACEI),
-
hidroklorotiazid (HCT) yang merupakan diuretik golongan tiazid,
-
bisoprolol, suatu agen antihipertensi golongan pemblok β yang kardioselektif
-
isosorbid dinitrat (ISDN), antiangina golongan nitrat
-
tiamin (vitamin B1), untuk terapi defisiensi vitamin B1
-
meloksikam, obat antiinflamasi nonsteroid, yang memiliki sifat antinyeri
-
antasida, untuk menetralkan asam lambung
Dengan memperhatikan keluhan yang
disampaikan oleh pasien dan obat-obat yang diresepkan oleh dokter dapat diduga
pemberian captopril, HCT, bisoprolol, dan ISDN berhubungan dengan hipertensi
dan keluhan nyeri dada. Nyeri dada, sering menjadi indikasi adanya gangguan
jantung. Meski tidak semua nyeri dada diakibatkan oleh kelainan jantung.
Meloksikam dan vitamin B1 ditujukan untuk mengatasi keluhan nyeri badan. Pasien
tidak secara langsung mengeluhkan kondisi yang berhubungan dengan kelebihan
asam lambung, namun dokter meresepkan antasida, hal ini mungkin ditujukan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya iritasi lambung yang dapat memicu peningkatan asam lambung.
Jika benar, keluhan nyeri dada
pada kasus ini berhubungan dengan gangguan system jantung seperti halnya
angina, maka pemilihan kombinasi antihipertensi berupa captopril (ACE
inhibitor), HCT (diuretik tiazid), dan bisoprolol (β-bloker kardioselektif)
relative merupakan pilihan yang tepat. Kombinasi tersebut sebagaimana
disarankan oleh JNC7. Kecuali pasien tersebut memiliki riwayat infark
myokardiak, penggunaan diuretik tidak disarankan.
Disamping diagnose penyerta dalam
kasus hipertensi ini yang harus menjadi dasar pemilihan terapi, faktor usia
juga harus dipertimbangkan. Dalam hal ini, pasien telah cukup lanjut usia,
yaitu 61 tahun. Faktor usia lanjut sangat memungkinkan terjadinya pengaruh
hipertensi terhadap kerusakan berbagai organ seperti jantung, hati, ginjal, dan
otak. Sehingga pemilihan terapinya harus benar-benar diperhatikan.
Dosis captopril, pasien menerima
captopril 75 mg/hr dalam dosis terbagi tiga, maka dosis tersebut masih dapat
diterima sebagai dosis aman. Begitu pun dengan HCT satu kali sehari pada pagi
hari, merupakan dosis yang lazim. Dalam hal ini perlu diingatkan pada pasien,
agar jangan sampai mengkonsumsi HCT ini pada waktu sore atau malam hari, karena
dapat menimbulkan efek diuresis nokturnal, yang akan sangat mengganggu waktu
istirahat pasien pada malam hari. Bisoprolol 5 mg satu kali sehari juga
merupakan dosis aman. Namun pasien harus diingatkan untuk tidak menghentikan
penggunaan obat ini secara mendadak, karena dapat menyebabkan kambuhan
hipertensi. (Dipiro; 221).
Pemberian ISDN yang bersifat
insidental, yaitu saat terjadi gejala sesak nafas secara sublingual cukup
tepat. Pemberian secara sublingual dapat memberikan efek yang lebih cepat
daripada secara oral. ISDN akan dengan cepat mengakhiri serangan angina akut
yang ditandai gejala sesak nafas dan nyeri dada. Terapi captopril akan membantu
mencegah serangan angina yang berulang. Pasien yang menjalani terapi ISDN juga
harus diapantau konsentrasi kreatinin serumnya, terutama pada pasien-pasien
yang terindikasi mengalami kerusakan ginjal.
Peresepan vitamin B1, kemungkinan
berhubungan dengan penanganan keluhan tremor dan salah satu efek obat (bisoprolol).
Meloksikam diberikan untuk
mengobati rasa nyeri. Meloksikam merupakan salah satu anti inflamasi nonsteroid
yang relative selektif pada COX-2.
Sehingga obat ini relative aman terhadap lambung. Namun harus diwaspadai efeknya terhadap
ginjal. (Dipiro; 688, 916)
Dosis meloksikam yang diresepkan
tampaknya berlebih. Pada kasus nyeri osteoarthritis meloksikam hanya digunakan untuk terapi jangka
pendek, kecuali pada penanganan rheumatoid arthritis dapat digunakan sebagai
terapi jangka panjang. Dosis yang dianjurkan hanya 7,5 mg/hari, maksimum 15
mg/hari. Apalagi dalam kasus ini pasien telah lanjut usia, dosis yang
disarankan hanya 7,5 mg/hari. Sedangkan pada resep tersebut dokter menuliskan 2
kali sehari masing-masing 15 mg, atau 30 mg/hari. BNF maupun
Pharmacotherapy-Dipiro menyebutkan bahwa pemberian meloksikam hanya sekali
sehari. (BNF 57; 552, 559)
Pemberian antasida tampaknya
kurang signifikan. Pasien tidak mengeluhkan gejala yang menunjukan adanya
kelebihan asam lambung sehingga perlu mengkonsumsi antasida. Meskipun antasida
ini hanya bekerja secara local pada lambung, namun tetap perlu diwaspadai
interaksinya. Interaksi mungkin terjadi dengan captopril, dimana absorpsi
captopril dapat terhambat, yang mengakibatkan bioavailabilitasnya rendah, dan
konsentrasi efektif minimumnya dalam darah tak tercapai, sehingga terapi yang
optimum juga tidak tercapai. Disamping itu, akumulasi kation Mg2+ dan Al3+
sangat mungkin berikatan dengan senyawa-senyawa phosphate, sehingga absorpsi
phophat menurun dan mengakibatkan
hipophosphatemia. Terlebih pasien juga mengkonsumsi diuretik, yang akan
meningkatkan aktivitas urinari, yang dapat semakin meningkatkan resiko
hipophosphatemia. (Dipiro; 996).
Penggunaan beberapa item obat
secara bersamaan, sangat memungkinkan terjadinya interaksi. Interaksi yang
mungkin terjadi :
-
Captopril dapat berinteraksi dengan antasida. Antasida dapat menurunkan
absorpsi captopril, sehingga antasida dan captopril tidak boleh dikonsumsi
bersamaan. Harus ada jarak waktu yang cukup antara saat konsumsi antasida dan
captopril, sehingga interaksi keduanya dapat dihindarkan.
-
ISDN, meningkatkan efek hipotensif dari captopril, dan bisoprolol
-
Efek hipotensif ISDN diantagonis oleh AINS (meloksikam) (BN7 57;
Appendix).
c.
Saran
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka diatas, maka:
-
Dosis meloksikam sebaiknya dikurangi, yaitu hanya 7,5 mg/hari, mengingat
pasien telah lanjut usia, kemungkinan resiko reaksi obat merugikannya akan
meningkat yang berupa kerusakan atau
penurunan fungsi ginjal. Begitu pun dengan lama terapinya sebaiknya dibatasi.
Sampaikan pada pasien untuk segera menghentikan konsumsi meloksikam ini bila
gejala nyeri pada badan telah mereda.
-
Saat pasien merasa nyeri dada, dan menggunakan ISDN, hindari mengkonsumsi
meloksikam juga, karena meloksikam dapat mengantagonis kerja ISDN
-
Antasida sebaiknya tidak digunakan
3.
Resep 3
20-7-2011
R/ Metformin
500 XLV
S 3
dd 1
R/ Glibenklamide
5 XV
S 1
dd 1
R/ Captopril
50 XLV
S 3
dd 1
R/
furosemid X
S
½-0-0
R/ BC XLV
S 3
dd 1
R/ Amlodipin
5 XV
S 1
dd 1
R/ Na-diklofenak
50 XXX
S
0-0-1
R/ Simvastatin
10 XV
S
0-0-1
Pro :
Tn. SS (66 tahun)
a.
Anamnesa/ diagnose
Pasien dinyatakan mengalami diabetes mellitus,
hipertensi, hiperkolesterolemia, ostheoartritis, dan sindrom dispepsia.
b.
Analisa resep
Dalam kasus ini pasien menerima 8 item obat, sebagai
berikut :
-
Metformin, antidiabetes golongan biguanid
-
Glibenklamide, antidiabetes golongan sulfonilurea
-
Captopril, antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi angiotensin
(ACEI)
-
Furosemid, antihipertensi golongan loop diuretik
-
BC/ vitamin B kompleks, suplemen kekurangan vitamin B
-
Amlodipin, antihipertensi golongan pemblok kanal kalsium (CCB)
-
Na-diklofenak, antiinflamasi nonsteroid
-
Simvastatin, antihiperlipidemia golongan statin
Kombinsai metformin dan
glibenklamid pada kasus pasien diagnose lain berupa hipertensi diperbolehkan.
Seperti halnya pada kasus resep nomor 2.
Dosis kombinasi kedua obat tersebut juga masih dalam batas aman. Dimana dosis
maksimum keduanya adalah 20 mg/hari untuk glibenkalmid, dan 2000 mg/hari untuk
metformin. (Dipiro; 1369, 1384, 1385).
Penanganan hipertensi dalam kasus
ini digunakan kombinasi 3 antihipertensi, yaitu captopril (ACE inhibitor),
furosemid (loop diuretik), dan amlodipin (Pemblok kanal kalsium). Kombinasi
tersebut diperbolehkan. Dosis furosemid merupakan dosis terendah yaitu 20 mg,
dengan waktu pemberian yang tepat yaitu pada pagi hari. Sedangkan dosis
captopril merupakan dosis maksimum yaitu 150 mg/hari, dalam dosis terbagi 3.
Sedangkan amlodipin yang diberikan adalah dosis menengah, yaitu 5 mg/hari,
lazimnya 2,5-10 mg/hari. Perlu diperhatikan pasien telah cukup lanjut usianya
(66 tahun), captopril diberikan pada dosis maksimum dikombinasi dengan
furosemid, dan amlodipin, akan berpotensi menimbulkan efek hipotensi. Dengan
pemberian furosemid, pasien akan mengalami diuresis, yang berarti volume darah
menurun dan menurun pula tekanan darahnya, sedangkan pemberian ACE inhibitor dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah melalui berbagai mekanisme yang terlibat
dalam pengaturan sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS), sehingga resiko
hipotensinya semakin meningkat, terlebih pada pasien yang telah lanjut usia,
ditambah dengan kombinasi dengan amlodipin. Tekanan darah harus senantiasa
dipantau. (Dipiro: 233-234)
Meski ada kemungkinan lain, bahwa
maksud penggunaan furosemid dalam dosis rendah adalah untuk mengatasi resiko
efek samping amlodipin, berupa udema perifer. Amlodipin dapat menyebabkan
terjadinya udema perifer, dengan pemberian furosemid, maka aktivitas urinary
meningkat, sehingga tidak terjadi udema perifer.
Natrium diklofenak digunakan untuk
mengobati gejala nyeri akibat osteoarthritis. Diklofenak merupakan
antiinflamasi nonsteroid (AINS) nonselektif. Dosis yang diberikan adalah dosis
tunggal pada malam hari sebesar 50 mg.
Sebagaimana AINS nonselektif
lainnya, diklofenak dapat menginduksi terjadinya ulkus peptikum, sedangkan
dalam diagnosanya dokter telah menyatakan bahwa pasien mengalami sindrom
dispepsia. Meskipun efek buruk yang disebabkan diklofenak pada saluran cerna
tidak sekuat aspirin, namun pemilihan obat lain yang lebih aman, perlu
dipertimbangkan, mengingat pasien telah dinyatakan mengalami sindrom dispepsia.
(Dipiro; 1131)
Dalam kasus ini, pasien telah
didiagnose sindrome dispepsia, dan mendapat terapi AINS yang dapat memperparah
sindrom tersebut, namun pasien tidak mendapat obat untuk indikasi ini. Tak ada
obat yang diberikan untuk mengobati sindrom dispepsianya.
Simvastatin dosis tunggal pada
malam hari 10 mg, untuk terapi hiperlipidemia. Penggunaan simvastatin pada
penderita diabetes diperbolehkan. Pemberian vitamin B kompleks, yang mengandung
asam nikotinat, akan membentu menghambat pembentukan kolesterol dan trigliserida,
sehingga akan membantu menekan kadar lipid dalam darah. (BNF 57; 539)
Interaksi yang mungkin terjadi :
-
Amlodipin (pemblok kanal kalsium) dan captopril (ACE inhibitor) yang
digunakan bersama-sama, cenderung berinteraksi menyebabkan efek
hipotensif, ACE inhibitor juga akan
bekerja pada sistem kanal kalsium, meski tidak secara langsung, begitu pun
dengan furosemid.
-
Captopril berinteraksi dengan makanan, dan menyebabkan absorpsi captopril
menurun. (DIF)
c.
Saran
Dari uraian diatas dapat disarankan :
-
Kombinasi captopril, furosemid, dan amlodipin, perlu dipantau efeknya,
ada baiknya dosis captopril dikurangi
-
Konsumsi captopril 1 jam sebelum makan, untuk menghindari interaksinya
dengan makanan
-
Pasien perlu diberi obat untuk mengatasi sindrome dispepsianya, terlebih
dalam resep tersebut terdapat obat-obat yang menimbulkan efek-efek yang tidak
menyenangkan pada saluran cerna, berupa iritasi lambung (natrium-diklofenak),
mual, muntah, diare (metformin dan glibenklamid). Ranitidine dan antiemetic
seperti domperidon atau metoklopramid mungkin perlu diberikan.
-
Pasien juga harus diingatkan untuk senantiasa melakukan terapi non
farmakologis, berupa diet makanan rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
-
Pasien juga harus menghindari konsumsi rokok dan atau alcohol
-
Olah raga ringan secara teratur sangat dianjurkan
4.
Resep 4
27/7/2011
R/ Furosemid
XV
S
1-0-0
R/ Aspilet XV
S 1
dd 1
R/ ISDN
5 XV
S 1
dd 1
R/ Diazepam
2 XV
S
0-0-1
R/ Ranitidin XXX
S 2
dd 1
R/ Antasida Fl. I
S 4 dd C1 ac
R/ Bicnat XLV
S 3
dd 1
R/ Ketocid XLV
S 3
dd 1
R/ FA XLV
S 3
dd 1
Pro : Tn.
T (54 Th)
a.
Anamnesa
Pasien mengeluh sering merasakan sesak nafas, nyeri
dada, dan nyeri lambung.
b.
Analisa Resep
Efek farmakologi masing-masing
obat dalam resep :
1)
Furosemide adalah salah satu loop
diuretik.
2)
Aspilet adalah sediaan branded dari asam asetil salisilat 80 mg/ tablet.
Asam asetil salisilat pada dasarnya adalah jenis dari antiinflamasi nonsteroid
yang juga sering digunakan sebagai antiplatelet.
3)
ISDN 5 atau isosorbid dinitrat 5 mg/tablet, merupakan senyawa nitrat
kerja panjang yang sering digunakan pada penanganan kasus angina.
4)
Diazepam 2 mg/tablet. Diazepam merupakan hipnotikum golongan
benzodiazepine.
5)
Ranitidine, antihistamin H-2
6)
Antasida, antasida merupakan sediaan obat basa yang bekerja menetralkan
asam lambung. Umumnya natasida adalah sediaan tablet atau suspense yang
mengandung Al(OH)3 atau Mg(OH)2.
7)
Bicnat atau natrium bikarbonat merupakan garam, yang membawa sifat basa,
dapat digunakan pula sebagai antasida, alkalinisasi urin, dan untuk mengatasi
ketidaknyamanan saluran urin pada penderita infeksi saluran urin.
8)
Ketocid/ ketoprofen 200 mg/kapsul
merupakan obat antiinflamasi nonsteroid.
9)
FA/ folic acide atau asam folat merupakan suplemen makanan yang berperan
penting dalam pembentukan sel darah merah.
Furosemid merupakan merupakan
golongan obat diuretik yang sering digunakan dalam penanganan kasus hipertensi,
namun dalam kasus ini pasien menyatakan tidak menderita hipertensi. Dan pada
dosis yang lebih tinggi furosemide digunakan pada pasien dengan penurunan laju
glomerular atau pun pasien gagal hati.
Dalam kasus ini pasien Tn. T yang
telah berusia 54 tahun menerima 9 item obat dalam rentang waktu satu kali
pengobatan, hal ini sangat memungkinkan terjadinya masalah penggunaan obat
(DRP) dan interaksi serta terjadinya reaksi obat merugikan (ROM), antar
obat-obat tersebut, maupun dengan makanan yang dapat menyebabkan tujuan terapi
tidak tercapai secara optimum.
Berdasarkan keluhan yang
disampaikan oleh pasien menyatakan sering sesak nafas, nyeri dada dan nyeri ulu
hati. Keluhan sesak nafas dan nyeri dada sering menjadi indikator adanya
gangguan jantung. Adanya dugaan gangguan jantung ini didukung oleh adanya obat
ISDN dan furosemid dalam resep dokter tersebut. Disamping adanya gangguan
lambung.
Aspilet merupakan AINS, yang memiliki
efek lain sebagai antiplatelet, dan sebagai antiinflamasi nonselektif, aspilet
dapat menginduksi terjadinya ulkus peptikum, karena adanya penghambatan
pembentukan prostaglandin yang berperan dalam melindungi dinding lambung.
Begitu pun dengan ketoprofen. Dalam kasus ini pasien telah mengeluh nyeri
lambung. Maka pemberian aspilet dalam kasus ini kurang tepat, karena aspilet
dapat memperparah kondisi lambungnya, terlebih dengan adanya efek antiplatelet
obat tersebut, dapat memungkinkan terjadinya pendarahan lambung, apalagi
penggunaannya bersamaan dengan ketoprofen, yang semakin meningkatkan resiko
nyeri dan pendarahan lambung. Walaupun dokter telah memberikan kombinasi
ranitidine dan antacid untuk mengatasi nyeri lambungnya, namun mengganti obat
yang dapat mengiritasi lambung dengan obat lain yang lebih aman bagi lambung
tetap lebih baik.
Diazepam diberikan untuk
menghasilkan efek penenang, sehingga dapat membantu mengurangi beban kerja
jantung.
Interaksi obat dengan obat yang
mungkin terjadi :
1)
Furosemide dapat berinteraksi dengan diazepam (ansiolitik dan hipnotik),
interaksi ini memungkinkan terjadinya efek hipotensif. Namun dalam kasus ini
kemungkinan tersebut telah dapat dianulir, karena furosemid dikonsumsi pagi
hari, sedangkan diazepam malam hari menjelang tidur.
2)
Aspilet, berpeluang interaksi dengan alkali urin dan antasida, dalam
kasus ini pasien juga menerima terapi antasida dan natrium bikarbonat yang
meruapakan salah satu alkali. Antasida dan alkali lainnya akan mempercepat
ekskresi aspilet
3)
Aspilet dan ketoprofen akan meningkatkan resiko pendarahan (meningkatkan
efek antikoagulan) (BNF)
c.
Saran
Dari urain diatas dapat saya sarankan :
-
Penggunaan ketoprofen, sebaiknya dihindari, dari keluhan pasien, tidak
ada keluhan yang mengindikasikan perlunya penggunaan obat tersebut, disamping
kemungkinan interaksinya dengan aspilet, dapat meningkatkan resiko perdarahan.
-
Pasien juga tidak mengungkapkan keluhan yang mengindikasikan perlunya
penggunaan ranitidine dan antasida, sehingga kedua obat tersebut tidak perlu
digunakan
No comments:
Post a Comment