Kegiatan
 konservasi satwa liar di Indonesia dimulai pada permulaan abad ke-19, 
diawali dengan berdirinya perkumpulan penggemar alam (Nederlands-Indische Vereniging voor Natuurbescherming)
 yang diketuai oleh Drs. S. H. Koorders. Kegiatan perkumpulan ini 
menghasilkan bermacam-macam peraturan dan usulan ditetapkannya beberapa 
kawasan konservasi alam. Diantaranya pada tahun 1889 hutan Cibodas 
dilarang diganggu gugat dan kemudian dikenal sebagai Cagar Alam Cibodas,
 dan terakhir statusnya diubah menjadi taman nasional. Pada tahun 1912 
diusulkan lagi beberapa kawasan konservasi alam, salah satunya adalah 
Ujung Kulon.
Pada
 tahun 1900 dibentuk persatuan pemburu satwa liar yang diberi nama 
vena/venetoria. Kegiatan Venetoria selain mengadakan kunjungan sambil 
melakukan pemburuan satwa liar besar, juga seringkali mengajukan usul 
kepada persatuan penggemar alam untuk menetapkan kawasan-kawasan 
konservasi. Misalnya pada tahun 1921 Venetoria mengajukan petisi untuk 
menetapkan Ujung Kulon sebagai suaka alam.
Selain
 Dr. S. H. Koorders, juga dikenal A. Hoogerwerf yang pada tahun 1937 
menjabat asisten Direktur pada musium zoologi dan Kebun Raya Bogor. Di 
samping itu, pada tahun 1932-1957 dia sering melakukan penelitian di 
kawasan-kawasan konservasi alam, salah satunya Ujung Kulon. Bukunya yang
 sangat terkenal adalah Ujung Kulon : The Land of the Last Javan Rhinoceros, diterbitkan pada tahun 1970. Setelah zaman Hoogerwerf,
 perhatian bangsa asing terhadap konservasi alam di Indonesia semakin 
meningkat. Walaupun masih sangat terbatas, peneliti-peneliti Indonesia 
juga mulai tertarik untuk mendalami masalah-masalah konservasi satwa 
liar. Pada mulanya artikel yang ditulis oleh bangsa Indonesia hampir 
tidak ada. Pada tahun 1955, F. J. Appelman seorang rimbawan senior 
Indonesia menulis artikel tentang konservasi alam di Indonesia dalam 
majalah kehutanan Tectona. Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak 
tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan
 Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-kawasan 
konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization of the United Nations Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam kepunahan dengan bantuan NGO.
Pada waktu pertemuan teknis IUCN (International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources)
 ke-7 di New Delhi, India pada tanggal 25-28 November 1969, Indonesia 
mengirimkan beberapa utusan, diantaranya adalah Ir. Hasan Basjarudin dan
 Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng. Pada konferensi tersebut wakil dari 
Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul “Suaka Alam dan Taman 
Nasional di Indonesia: Keadaan dan permasalahannya” dan “Pendidikan 
Konservasi Alam di Indonesia”. Kedua makalah tersebut mendapat tanggapan
 positif dari peserta konferensi, sehingga perhatian dunia luar terhadap
 kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin meningkat.
Pada
 tahun 1982 di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang 
melahirkan Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres 
mempunyai dampak yang positif bagi perkembangan pengelolaan hutan suaka 
alam dan taman nasional di Indonesia. Pada tahun 1978 tercatat tidak 
kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar dilindungi. 
Pada tahun 1985, keadaannya berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis 
burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan, dan 20 jenis serangga yang 
dilindungi.
Kemajuan
 kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh 
adanya World Conservation Strategy, yang telah disetujui pada waktu 
sidang umum PBB tanggal 15 Maret 1979. Pada tahun 1983 dibentuk 
Departemen Kehutanan, sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan 
Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
 Pelestarian Alam (PHPA) yang tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. 
Di fakultas-fakultas kehutanan dan biologi sudah mulai diajarkan ilmu 
konservasi alam dan pengelolaan satwa liar. Bahkan di beberapa fakultas 
kehutanan sudah dikembangkan jurusan Konservasi Sumber Daya Alam.
Dari
 segi undang-undang dan peraturan tentang perlindungan alam juga banyak 
mengalami kemajuan, beberapa undang-undang dan peraturan peninggalan 
pemerintah Hindia Belanda, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 5 
tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 
Dan pada tahun 1990-an mulai banyak berdiri LSM di Indonesia yang 
menangani tentang satwa liar.
No comments:
Post a Comment
Budayakan Berkomentar Atau Bertanya
Silahkan Komentar Di Sini.
Tidak Perlu Mangetik Kata Captcha