Pendahuluan
Produktivitas
suatu peternakan sangat tergantung pada manajemen/pengelolaan termasuk
pengelolaan dalam bidang reproduksi. Pengelolaan reproduksi yang baik akan
meningkatkan efisiensi reproduksi, tinggi rendahnya efisiensi reproduksi
ditentukan oleh 5 faktor yaitu :
·
Angka perkawinan per kebuntingan (service per conception)
·
Angka kebuntingan (conception rate)
·
Angka kelahiran (calving rate)
·
Tenggang waktu antar melahirkan (calving interval)
·
Tenggang waktu antara melahirkan sampai
bunting kembali (service period)
Gangguan proses
reproduksi (kemajiran) akan menyebabkan rendahnya efisiensi reproduksi sehingga
produktivitas peternakan rendah
Kemajiran
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan proses reproduksi
yang disebabkan oleh satu atau banyak faktor yang dapat terjadi baik pada
ternak jantan maupun betina. Derajat kemajiran tergantung dari faktor penyebab
dan tingkat kesembuhan setelah penanganan. Infertilitas
adalah kemajiran derajat ringan yang sifatnya sementara dan masih dapat
disembuhkan setelah dilakukan penanganan. Sterilitas
adalah kemajiran yang bersifat permanen atau tidak dapat disembuhkan sehingga
proses reproduksi terhenti secara menyeluruh.
Beberapa hal yang dapat dijadikan
ukuran adanya gangguan reproduksi pada suatu peternakan khususnya peternakan
sapi adalah :
·
Service
per conception lebih dari 2
·
Conception
rate
kurang dari 50 %
·
Calving
interval
melebihi 400 hari
·
Service
period
melebihi 120 hari
·
Jumlah induk yang membutuhkan lebih dari
3 kali IB untuk terjadinya kebuntingan lebih dari 30 %
Apabila parameter
diatas terjadi pada suatu peternakan dapat menyebabkan rendahnya angka
kelahiran (calving rate).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya kemajiran pada ternak betina adalah :
1.
Gangguan keseimbangan hormon reproduksi
2.
Infeksi
3.
Kelainan congenital atau herediter
4.
Patologi alat reproduksi
5.
Pakan
KEMAJIRAN KARENA FAKTOR HORMONAL
Hormon reproduksi adalah hormon yang
mempunyai target akhir pada alat reproduksi yang terjadi pada setiap periode
dari siklus reproduksi yang dimulai setelah hewan betina mengalami dewasa
kelamin. Siklus reproduksi terdiri dari fase birahi, ovulasi, fertilisasi,
kebuntingan dan diakhiri dengan kelahiran, selanjutnya akan kembali terjadi
birahi apabila tidak terjadi gangguan reproduksi.
Kelenjar endokrin dalam tubuh yang
dapat menghasilkan hormon reproduksi adalah :
1. a. Hipofisa anterior menghasilkan FSH, LH dan
LTH
b. Hipofisa posterior menghasilkan
Oksitosin dan Vasopressin
2. Ovarium menghasilkan Estrogen, Progesteron dan
Relaksin
3.
Endometrium menghasilkan Prostaglandin F2α. Pada kuda yang sedang
bunting, endometrium menghasilkan PMSG, pada golongan primata yang bunting
termasuk manusia endometrium menghasilkan HCG
4.
Pada hewan jantan testes menghasilkan Testosteron
FSH, LH, LTH, PMSG dan HCG adalah
hormon yang mempunyai target organ pada gonad (ovarium dan testes) sehingga
disebut dengan hormon gonadotropin
Kemajiran akibat gangguan
keseimbangan hormonal dapat terjadi pada setiap fase dari siklus reproduksi.
Pada fase birahi ditandai dengan terjadinya anestrus, nimfomania, birahi tenang
(silent heat) atau sub estrus (birahi
pendek), pada fase kebuntingan ditandai dengan terjadinya abortus sedangkan
pada fase kelahiran ditandai dengan terjadinya dystocia.
Kemajiran akibat
gangguan keseimbangan hormonal dapat berupa hipofungsi ovarium, atropi ovarium,
kista ovarium dan korpus luteum persisten.
Hipofungsi Ovarium
Hipofungsi ovarium terjadi karena
adanya gangguan fungsi kelenjar hipofisa anterior sehingga produksi FSH atau LH
terganggu. Rendahnya kadar FSH menyebabkan tidak terjadi pertumbuhan folikel
pada ovarium, rendahnya kadar LH tanpa diikuti dengan rendahnya kadar FSH
menyebabkan terjadi pertumbuhan folikel yang tidak diikuti dengan terjadinya
ovulasi, rendahnya kadar FSH dan LH menyebabkan terjadinya hipofungsi ovarium
yang ditandai dengan tidak terbentuknya folikel atau korpus luteum pada ovarium
sehingga permukaan ovarium licin namun ukurannya normal.
Penyebab terjadinya hipofungsi
ovarium adalah kesalahan pengelolaan terutama pakan tetapi dapat pula
disebabkan oleh hal lainnya seperti sanitasi kandang, kandang yang sempit
dengan ventilasi udara yang kurang baik dan ternak yang terus dikandangkan. Gejala
klinis terjadinya hipofungsi ovarium adalah anestrus dalam jangka waktu yang
cukup lama. Penanganan pada kasus hipofungsi ovarium terutama ditujukan pada
perbaikan pengelolaan.
Atropi Ovarium
Apabila hipofungsi ovarium akibat
kekurangan pakan dan kondisi lingkungan yang buruk berjalan dalam jangka waktu
yang lama maka terjadi atropi ovarium. Atropi ovarium adalah ovarium dengan
ukuran yang lebih kecil dari normal dengan permukaan yang licin karena tidak
terjadi pertumbuhan folikel sehingga proses reproduksi sama sekali tidak berjalan.
Kondisi
fisik ternak penderita sangat buruk dan terjadi anestrus berkepanjangan.
Kondisi fisik penderita atropi ovarium berbeda dengan kondisi fisik penderita
hipoplasia ovarium akibat faktor genetik. Pada penderita hipoplasia ovarium
akibat akibat faktor penderita memiliki kondisi fisik yang baik (gemuk)
walaupun ukuran ovariumnya lebih kecil dengan permukaan yang licin.
Penanganan
pada penderita atropi ovarium dilakukan dengan perbaikan manajemen termasuk
pakan, selanjutnya bila kondisi fisik telah cukup baik dilakukan penanganan
dengan pemberian preparat hormon seperti FSH, LH, PMSG dan HCG.
Kista Ovarium
Kista ovarium adalah struktur pada
ovarium yang berisi cairan. Kista ovarium terjadi karena gangguan pada hipofisa
anterior dimana pelepasan FSH terjadi dengan kadar normal tetapi pelepasan LH
tidak dengan kadar normal.
Kista ovarium
terbagi menjadi :
1.
Kista Folikel
2.
Kista Luteal
3.
Kista Korpus Luteum
Kista
folikel dan kista luteal adalah kista anovulatorik karena tidak terjadi ovulasi
sedangkan kista korpus luteum adalah kista ovulatorik karena terbentuknya kista
didahului oleh terjadinya ovulasi. Kista folikel dan kista luteal bersifat
patologik sedangkan kista korpus luteum tidak bersifat patologik
1.
Kista Folikel
Kista folikel adalah sekelompok
folikel di permukaan ovarium yang tumbuh tetapi tidak mengalami ovulasi. Hal
ini terjadi karena kadar FSH yang dilepaskan oleh hipofisa anterior cukup untuk
mendorong pertumbuhan folikel tetapi kadar LH yang dilepaskan tidak cukup untuk
menyebabkan ovulasi pada folikel yang telah tumbuh.
Pada pemeriksaan per rektal akan
teraba pada permukaan ovarium terdapat benjolan yang berdiameter 2,5 – 5 cm
(pada sapi perah) dengan permukaan yang halus, lunak dan berisi cairan dengan
jumlah satu atau lebih yang ditemukan pada salah satu atau kedua ovarium. Kista
folikel berdinding tipis sehingga mudah pecah bila ditekan dan apabila pecah
pada permukaan ovarium bekas kista folikel akan terjadi legokan. Perabaan pada
uterus terasa tonus uterus yang kendor, pada serviks, vagina dan vulva terasa
lebih besar dan kendor karena terjadi oedema. Kista folikel umumnya terjadi
pada kedua ovarium.
Gejala klinis kista folikel dapat
berupa nimfomani (75 %) atau anestrus (25 %). Nimfomania adalah suatu keadaan
dimana hewan betina menunjukkan gejala estrus lebih dari satu kali dalam satu
siklus estrus tanpa disertai terjadinya ovulasi sedangkan anestrus adalah
keadaan dimana hewan betina tidak menunjukkan gejala estrus lebih dari satu
siklus estrus. Setiap folikel pada kista folikel mampu menghasilkan estrogen
walaupun dalam jumlah kecil sehingga apabila kista folikel terdiri dari banyak
folikel maka akan terjadi akumulasi estrogen, akibatnya akan muncul tanda
estrus dan dapat terjadi lebih dari satu kali dalam satu siklus estrus. Gejala
anestrus nampak pada penderita kista folikel yang terdiri dari sedikit folikel
sehingga estrogen yang dihasilkan tidak mampu menyebabkan munculnya tanda
estrus.
Penanganan kasus kista folikel
dilakukan dengan pemberian preparat LH atau HCG untuk merangsang ovulasi atau
dilakukan pemecahan kista secara manual melalui palpasi rektal tetapi cara ini
dapat menyebabkan terjadinya radang pada ovarium.
2.
Kista Luteal
Kista luteal adalah kista yang
terjadi karena pada saat terbentuk kista folikel dimana kadar LH rendah tetapi
pada saat yang bersamaan terjadi pelepasan LTH yang cukup banyak menyebabkan
pada permukaan folikel akan terjadi proses luteinisasi sehingga terbentuk sel
luteal pada permukaan folikel. Kista luteal sering terjadi pada sapi perah dengan
produksi susu tinggi pasca melahirkan.
Pada pemeriksaan per rektal akan
sulit dibedakan antara kista folikel dengan kista luteal walaupun kista luteal
mempunyai dinding yang lebih tebal karena dinding kista luteal terdiri dari sel
yang telah mengalami lutenisasi. Karena dinding kista luteal terdiri dari sel
luteal maka kista luteal mampu menghasilkan progesteron dalam jumlah yang cukup
tinggi sehingga gejala klinis pada kasus kista luteal adalah terjadinya
anestrus pada penderita. Kista luteal dapat ditemukan secara bersamaan dengan
adanya korpus luteum yang normal baik pada ovarium yang sama atau pada ovarium
yang berbeda.
Penangan pada kasus kista luteal
dapat dilakukan dengan cara pemijatan kista secara manual melalui palpasi
rektal atau pemberian preparat PGF2α untuk melisiskan sel luteal
diikuti dengan pemberian LH atau HCG untuk merangsang ovulasi. Pemberian
preparat GnRH dapat dilakukan pada kasus kista folikel atau kista luteal.
3.
Kista Korpus Luteum
Kista korpus luteum terbentuk dari
folikel yang telah mengalami ovulasi dan terbentuk korpus luteum yang normal,
namun dalam perkembangannya pada bagian tengah korpus luteum terbentuk rongga
yang berisi cairan. Kista korpus luteum selalu bersifat tunggal dan pada
palpasi rektal mudah dibedakan dengan kista yang lain karena ukurannya yang
lebih besar menyerupai ukuran korpus luteum normal tetapi memiliki konsistensi
yang lebih lunak dan lebih fluktuatif.
Penderita kista korpus luteum
memiliki siklus estrus normal, mengalami ovulasi dan bila terjadi kebuntingan
dapat menghasilkan progesteron dengan kadar yang cukup untuk memelihara
kebuntingan.
4.
Korpus Luteum Persisten (CLP)
Korpus luteum persisten adalah
korpus luteum yang tidak mengalami regresi (lisis) pada akhir siklus estrus
atau setelah melahirkan sehingga tetap berfungsi menghasilkan progesteron.
Tingginya kadar progesteron menyebabkan terjadi hambatan pada mekanisme umpan
balik terhadap FSH dan LH dengan demikian tidak terjadi pertumbuhan folikel
baru pada ovarium sehingga tidak terjadi produksi estrogen dan tidak timbul
tanda estrus.
Gejala
klinis terjadinya korpus luteum persisten adalah terjadi anestrus
berkepanjangan. Korpus luteum persisten dapat terjadi pada induk setelah
melahirkan, karena adanya patologi uterus dan adanya kematian embrio dini.
Korpus
luteum persisten setelah melahirkan terjadi akibat tingginya kadar LTH pada
induk dengan produksi susu yang tinggi sehingga menghambat sekresi FSH dan LH. Korpus
luteum persisten akibat adanya patologi uterus terjadi akibat ketidak mampuan
endometrium memproduksi PGF2α karena terjadi pyometra, maserasi
fetus, mummifikasi fetus atau emfisema fetus. Korpus luteum persisten akibat
kematian embrio dini bukan merupakan korpus luteum persisten yang murni tetapi
lebih tepat bila dikatakan sebagai korpus luteum graviditatum yang berakhir
karena kematian embrio dini tanpa disertai dengan gejala abortus yang jelas.
Penanganan
terhadap korpus luteum persisten dilakukan dengan memperhatikan penyebabnya.
Penggunaan preparat PGF2α dilakukan untuk melisiskan korpus luteum,
bila terjadi akibat patologi pada uterus maka harusditangani terlebih dahulu
penyebabnya
kemudian baru
dilakukan dengan pemberian PGF2α.
KEMAJIRAN KARENA FAKTOR INFEKSI
1.
Infeksi Bakteri
Kemajiran akibat infeksi bakteri
dapat disebabkan oleh bakteri yang bersifat non spesifik dan spesifik.
Kemajiran akibat infeksi dapat disebabkan oleh penyakit sistemik (tuberculosis)
yang kadang dapat menyerang organ reproduksi dan penyakit venereal yang memang
menyerang organ reproduksi.
A.
Infeksi oleh bakteri non spesifik
Beberapa kelompok bakteri non
spesifik yang ditemukan dalam cairan uterus yang dapat menyebabkan terjadinya
kemajiran pada ternak betina adalah :
Ø Kelompok
koliform (E.coli, proteus, enterobacter)
Ø Kelompok
bakteri insidental (streptococcus, staphylococcus, pasteurela hemolitica,
bacillus, dipteroid)
Ø Kelompok
bakteri coryne (corynebacterium pyogenes)
Ø Kelompok
bakteri gram negatif yang anaerob (bakteroid, fuso bacterium, veillonella)
Ø Kelompok
bakteri gram positif yang anaerob (clostridium)
Cara
penularan :
Penularan terjadi karena kontaminasi
uterus saat melahirkan terutama bila kelahiran terjadi pada kandang dengan
sanitasi yang buruk.
Gejala
klinis :
Infeksi oleh bakteri non spesifik
dapat menyebabkan terjadinya metritis. Pada kasus yang ringan biasanya tanpa
disertai gejala klinis yang jelas sedangkan pada kasus metritis yang berat maka
nampak terjadi keluar leleran (mukus, serous atau nanah) dari vagina.