Daftar

COXOFEMORAL LUKSASIO


Menurut Boden (2005), dislokasio atau luxatio merupakan kesalahan letak suatu tulang dari posisi normalnya, sehingga menghasilkan deformitas dan dapat menyebabkan gejala nyeri pada daerah yang terkena. Selain itu, luksatio juga dapat menyebabkan pembengkakan jaringan lunak di sekitar persendian dan kerobekan ligamen yang mengikat tulang tersebut. Gejala klinis dari kejadian luxatio diantaranya adalah anggota gerak yang terkena menjadi tidak bisa digunakan. Menurut Harari (2004), luxatio yang sering terjadi pada anjing adalah luxatio pada persendian coxofemoral. Menurt Birchard dan Sherding (2006), persendian coxofemoral merupakan persendian yang berbentuk bungkul dan mangkuk yang terbentuk dari caput femur dengan acetabulum. Hewan normal mempunyai kapsula persendian yang berikatan dengan acetabulum pada tepinya, ketika bergerak maka kapsula persendian membantu mempertahankan kesesuaian (kongruen). Menurut Anderson et al. (2001), luxatio coxofemoral merupakan kejadian yang umum terjadi pada hewan kecil. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh trauma. Trauma tersebut dapat menyebabkan kerobekan pada kapsula persendian dan juga pada ligamen yang terdapat di caput femur. Selain itu menurut Harari (2004), luxatio coxofemoral juga dapat disebabkan oleh hip dysplasia. Kondisi luxatio juga dapat berkembang secara spontan oleh tidak stabilnya persendian coxofemoral selama berlari dan bermain.
Persendian coxofemoral merupakan persendian bebas yang terdapat di proksimal alat gerak belakang. Sebagian besar dari luxatio coxofemoral terdapat dalam bentuk displasia craniodorsal dari caput femur dan sisanya merupakan displasia caudoventral. Kejadian luxatio coxofemoral biasanya disebabkan oleh trauma. Diagnosa dari luxatio coxofemoral didasarkan pada gejala klinis yang menunjukkan bahwa hewan biasanya tidak menumpukan kaki yang terkena. Apabila luxatio tejadi dalam bentuk craniodorsal, maka kaki yang terkena akan digerakkan secara adduksi atau rotasi. Selain itu diagnosa dapat diambil dari ukuran panjang kaki belakang yang tidak simetris ketika dilakukan pemeriksaan kesimetrisan kaki belakang.
Menurut Denny dan Butterworth (2006), luxatio coxofemoral merupakan kejadian yang umum terjadi pada hewan kecil. Semua breed hewan kecil dapat terkena, tetapi kejadian terbanyak terjadi pada hewan yang berumur di atas satu tahun.
Gejala klinis yang terjadi pada luxatio coxofemoral diantaranya adalah kepincangan dengan tidak menumpukan kaki yang terkena, manipulasi terhadap luxatio akan menunujukkan terjadinya krepitasi, nyeri, dan hambatan dalam bergerak. Kasus luxatio dengan bentuk caudodorsal ditunjukkan dengan adanya abduksi kaki. Selain itu, kaki akan terlihat lebih panjang pada kaki yang terkena dan jarak diantara trochanter major dengan tuber ischii akan mengecil. Sedangkan pada keadaan luxatio ventral akan menyebabkan abduksi pada kaki yang terkena serta kaki yang terkena akan terlihat lebih panjang dari kaki di sebelahnya, dan trochanter major sulit untuk dipalpasi. Luxatio ventral dapat menyebabkan peningkatan derajat ketidakmampuan bergerak dan dapat menyebabkan rasa nyeri karena terjadi penekanan terhadap nervus obturator.
            Menurut Junk et al. (2008), perkembangan dislokasi coxofemoral pada anjing diikuti oleh perubahan pada caput femoris secara degeneratif atau adaptif. Selama postnatal awal, pertumbuhan hubungan antara caput femur dengan acetabulum dibutuhkan untuk fungsi normal dari persendian coxofemur. Lemahnya hubungan antara caput femur dengan acetabulum dapat menyebabkan deformasi bentukan spherical dan pembengkakan pada persendian tersebut. Caput femur di persendian yang tidak stabil dapat menyebabkan perubahan pada bentuk (spericity).
Menurut Birchard dan Sherding (2006), metode primer dalam diagnosis luxatio coxofemoralis adalah dengan radiografi persendian coxofemoral. Menurut Denny dan Butterworth (2006), pemeriksaan radiografi dapat dilakukan dengan posisi lateral dan ventrodorsal pada daerah pelvis. Pemeriksaan radiografi dengan posisi tersebut dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dari luksatio (karena fraktura di femur proksimal mempunyai gejala yang sama dengan luxatio coxofemoral) dan menentukan arah dari luxatio. Menurut Birchard dan Sherding (2006), terapi terhadap luxatio coxofemoralis dapat dibagi menjadi dua, yaitu closed reduction dan open reduction. Menurut Denny dan Butterworth (2006), closed reduction dapat dilakukan diantaranya dengan menggunakan Ehmer sling, DeVita pin, dan transarticular external skeletal fixator (ESF). Sedangkan open reduction dapat dilakukan diantaranya dengan toggle fixation, transarticular pin, transposisi trochanter major, dan anchor suture.
Diferensial diagnosa dari luxatio pada hewan muda diantaranya adalah hip dysplasia, fraktura acetabulum, fraktura femur, avascular necrosis femoral, haemarthrosis, septic arthritis, dan traumatic arthritis (Gough 2007).
Hip dysplasia adalah perkembangan penyakit orthopaedic yang merupakan penyakit turunan dengan manifestasi berupa penurunan kesesuaian antara caput femur dengan acetabulum (Skurková dan Ledecky 2009). Menurut Birchard dan Sherding (2006), hip dysplasia merupakan kesalahan perkembangan persendian pinggul yang dicirikan oleh derjat kelemahan yang bervariasi dengan subluksasio pada umur awal. Kondisi ini terjadi oleh deformasi dari bentukan acetabulum dan caput femur. Kejadan ini sering diikuti oleh degenerative joint disease. Menurut Morgan (2008), gejala klinis dari hip dysplasia diantaranya adalah kepincangan dapat menjadi lebih parah setelah exercise dan kepincangan tersebut bervariasi dari ringan dan intermittent sampai kepincangan yang tidak menumpukan kakinya di lantai.
Gejala klinis lain adalah penurunan fleksio dan ekstensio pada pinggul ketika berjalan, atrophy pada otot pelvis, kelemahan sendi, dan kesakitan selama pemeriksaan persendian coxofemoral. Diagnosis dari hip dysplasia dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiografi.
Terapi terhadap hip dysplasia diantaranya adalah penurunan bobot badan untuk mengurangi beban persendian, pemberian NSAIDs, pemberian agen chondroprotective untuk meningkatkan proses perbaikan (glucosamine hydrochloride sebanyak 22 mg/kg BB PO SID dan chondroitin sulfate dengan dosis 8,8 mg/kg BB PO SID), serta pemberian diet yang mengandung asam lemak omega-3 dan asam eicosapentaenoic untuk membantu memperbaiki gejala dari degenerative joint disease. Menurut Gough dan Thomas (2004), anjing dengan ras golden retriever merupakan predisposisi ras untuk kondisi hip dysplasia.
Avascular necrosis pada caput femur merupakan penyakit yang umum ditemukan pada anjing pada umur muda dan anjing ras kecil, serta kadang-kadang ditemukan pada anjing ras besar (Birchard dan Sherding 2006). Menurut Morgan (2008), avascular necrosis pada caput femur merupakan kelainan yang tidak disebabkan oleh peradangan, dan merupakan nekrosis aseptik pada caput femur. Kondisi ini dapat disebabkan oleh gangguan aliran darah ke caput femur, serta juga dapat disebabkan oleh faktor keturunan, peningkatan tekanan intra-articular, infark pada caput femur, faktor hormonal, dan konformasi anatomis.
Gejala klinis dari kondisi ini diantaranya adalah kepincangan yang secara perlahan-lahan akan memburuk pada 6 – 8 minggu dan akan menyebabkan ketidakmampuan menumpukan kaki dan onset rata-rata dari kondisi ini adalah 5 – 8 bulan (dengan rentang 3 – 13 bulan).
Diagnosa dapat diambil dengan cara pemeriksaan fisik untuk memastikan adanya kesakitan saat fleksio, ekstensio, rotasi, dan abduksi pada persendian pinggul. Selain itu, diagnosa kondisi ini membutuhkan pemeriksaan radiografi. Terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi avascular necrosis caput femur adalah pemotongan caput femur dan leher femur.
Degenerative Joint Disease atau osteoarthritis merupakan sindrome perubahan patologi pada sinovial persendian yang sering diikuti oleh gejala nyeri dan ketidakmampuan menggerakkan kaki. Kondisi ini berkembang dari keadaan trauma atau berasal dari penggunaan kekuatan untuk persendian abnormal (seperti pada kondisi hip dysplasia dan cranial cruciate ligament disease), serta juga dapat disebabkan oleh sepsis, immobilisasi persendian dalam jangka waktu lama, peradangan pada persendian, dan penyakit perkembangan.
Gejala klinis dari kondisi ini diantaranya adalah kepincangan persisten, nyeri, krepitasi pada tulang, atrophy otot (Morgan 2008).


No comments:

Post a Comment

Budayakan Berkomentar Atau Bertanya
Silahkan Komentar Di Sini.
Tidak Perlu Mangetik Kata Captcha