Oleh;
I Wayan Sudarma (Shri danu Dharma p)
Upacāra mapandes disebut pula
matatah, masangih yang dimaksud adalah memotong atau meratakan empat gigi seri
dan dua taring kiri dan kanan, pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3
kali, diasah dan diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi
yang telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus
(singgih) dari kata masangih tersebut.
Bila kita mengkaji lebih jauh,
upacāra Mapandes dengan berbagai istilah atau nama seperti tersebut di atas,
merupakan upacāra Śarīra Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi
seseorang, guna dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan
dalam upacāra Manusa Yajña.
- Adapaun makna yang dikandung
dalam upaca mapandes ini adalah:
Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia
yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari
kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah
dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti
diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
- Memenuhi kewajiban orang tua,
ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña,
menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut
mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat
manusia.
- Secara spiritual, seseorang
yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang
Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal
dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan pengertian dan makna
upacāra Mapandes seperti tersebut di atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini
merupakan upacāra Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu,
yakni mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan
sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi manusia) dan
sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam lontar Pujakalapati
dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra Mapandes, tidak akan dapat
bertemu dengan roh leluhurnya yang telah suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa
dinyatakan roh mereka yang tidak melaksanakan upacāra potong gigi mendapat
hukuman dari dewa Yāma (Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu
petung yang keras di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan
kitab Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat
gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian pula
dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa, Gaṇeśa atau Gaṇapati
belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa Nilarudraka, sebelum salah satu
taringnya patah.
Upacāra ini merupakan sebagai wujud
bhakti seorang tua (ibu-bapa) kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai
anaknya, untuk ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra
yang suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra
Adapun tujuan dari upacāra Mapandes
dapat dirujuk pada sebuah lontar bernama Puja Kalapati yang mengandung makna
penyucian seorang anak saat akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat
memahami hakekat penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam
lontar Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung
tujuan, sebagai berikut:
- Melenyapkan kotoran dan cemar
pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan
cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta,
Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di
samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon
pendorong lebido seksualitas.
- Dengan kesucian diri, seseorang
dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata
dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan
Bhakti kepada-Nya.
- Menghindarkan diri dari
kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan
kesucian pribadi.
- Merupakan kewajiban orang tua
(ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk
menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan
Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi
pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang
anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Kini timbul pertanyaan, kapankah
saat yang tepat untuk melaksanakan upacāra Mapandes? Bila kita memperhatikan
berbagai sumber yang tertulis di dalam lontar, seperti lonatr Dharma Kahuripan
dan lain-lain, sebenarnya upacāra ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang
anak, dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi.
Upacāra ini dapat digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi seorang
gadis atau seorang perjaka.
Dalam kenyataan di kalangan umat
Hindu, upacāra Mapandes ini dilakukan bersamaan atau dirangkai dengan upacāra
Piṭṛa Yajna terutama Mamukur atau dirangkai sebelum upacāra
Pawiwahan (perkawinan), dilakukan secara masal bergabung dengan keluarga besar
untuk mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan.
Bagi seseorang yang belum sempat
mengikuti upacāra Mapandes, dan maut telah menjemput, berbagai tanggapan
muncul, yakni apakah perlu upacāra bagi seseorang yang telah meninggal.
Terhadap keadaan ini, Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan
Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke
luar, sebagai berikut:
- Mapandes adalah upacāra Manusa
Yajña (Śarīra Saṁsakara) yang patut dilaksanakan
pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah
tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu
dilakukan.
- Bila orang tua yang
bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya
dengan upacāra simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai,
dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan
bermimpi diupacārakan Mapandes.
- Dengan demikian orang tua
terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya
diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.
Berdasarkan rangkaian upacāra
Mapandes yang dilaksanakan, maka makna yang dikandung dari rangkaian upacāra
tersebut adalah sebagai berikut:
- Magumi Padangan. Upacāra ini
disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna
bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga
adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung
jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui
permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan
bersthana di dapur.
- Ngekeb. Upacāra ini dilakukan
di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji
untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama
dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada
diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
- Mabhyakāla. Upacāra ini
dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna
membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhūtakāla, yakni sifat jahat
yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan
pergaulan). Upacāra ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap
kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
- Persaksian dan persembahyangan
ke Pamarajan. Upacāra ini mengandung makna untuk:
a) Memohon
wara nugraha Hyang Guru dan leluhur (kawitan) bahwa pada hari itu keluarga yang
bersangkutan menyelenggarakan upacāra potong gigi.
b) Menyembah
ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib
bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata
(matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang
Uma dan Śiva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.
c)
Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya
sifat-sifat kedewataan.
d) Memohon
Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.
e) Ngrajah
gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang
membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga
prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.
f)
Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Śiva) yang telah menganugrahkan
kelancaran upacāra ini seperti simbolik Sang Hyang Śiva memotong taring putra-Nya,
yakni Bhatāra Kāla.
- Upacāra di tempat (bale)
Mapandes. Setelah selesai upacāra di pamarajan, maka remaja yang mengikuti
upacāra Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacāra
Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacāra yang dikandung
adalah sebagai berikut:
a) Menyembah
dewa Sūrya untuk mempermaklumkan sekaligus memohon persaksian-Nya.
b) Menyembah
Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke jalan yang
benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri masing-masing
(sukla-svanita), jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui
perkawinan di kemudian hari.
c)
Memohon Tirtha kepada Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, sebagai simbol telah
mendapat restu dan perkenan-Nya.
d) Ngayab
Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan lahir dan batin, karena
masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk dorongan nafsu yang
jahat.
e) Mepandes,
yakni dilaksanakannya upacāra panggur oleh sangging, guna menyucikan diri
pribadi dari gangguan Sadripu.
f)
Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacāra Mapendes,
dengan Sadripu dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.
- Menikmati Sirih-lekesan,
simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam kenikmatan hidup dan
tantangan, dan Sang Hyang Śiva beserta Pañca Dewata senantiasa akan
melindunginya.
- Kembali ke tempat Ngekeb,
mengandung makna kembali melakukan tapa brata, menyucian diri, lahir dan
batin.
- Mejaya-jaya, yakni mengikuti
upacāra yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha,
yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa akan
memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat
jahat.
- Mapinton. Upacāra ini
mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata
dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacāra Mapandes
dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.
Demikianlah sepintas makna yang
terkandung dari rangkaian upacāra Mapandes, yang tidak lain guna membimbing
umat manusia lebih meningkatkan Śraddhā dan Bhaktinya kepada Sang Hyang Widhi,
para dewata dan leluhur.
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN
KELUARGA
Upacāra Mapandes adalah merupakan
kewajiban orang tua (ibu-bapa) untuk menyelenggarakannya, dan bila kita kaji
secara seksama, seorang anak sesungguhnya adalah pula leluhur kita yang
menjelma untuk meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin) yang pada
akhirnya dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan
kebahagian hidup di dunia ini) dan Mokṣa (bersatunya Ātman dengan
Paramātman).
Dalam melakukan Yajña ini, landasan
yang paling mendasar bagi Sang Yajamana (yang melaksanakan atau yang memiliki
upacāra itu), Sang Amancagra (tukang bebanten dan sangging), dan Sang Pandita
(yang memimpin dan menyelesaikan upacāra) adalah ketulusan hati. Ketulusan ini
patut pula diikuti oleh para Athiti tamu undangan) guna Yajña tersebut berhasil
Śiddhakarya.
Untuk mengembangkan ketulusan hati,
utamanya Sang Yajamana bersama keluarga hendaknya dapat melakukan berbagai
Brata, seperti Upavaśa (mengendalikan diri untuk tidak menikmati makanan) pada
saat puncak upacāra berlangsung, dan senantiasa memusatkan pikiran kehadapan
Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk keberhasilan dari Yajña yang
diselenggarakan.
PENUTUP
Demikianlah tulisan singkat ini kami
sampaikan dalam rangka mewujudkan partisipasi kami, semoga Yajña yang sangat
mulia ini mencapai Śiddhaning Don, Śiddhakarya sebagai yang kita harapkan.
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ