Daftar

FARMAKOKINETIK



Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresikan dari dalam tubuh. Seluruh proses ini adalah farmakokinetik.
            Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (Barrier) sel di berbagai jaringan. Pada umumnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya, bukan dengan melewati celah antara sel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu peristiwa terpenting dalam farmakokinetik ialah trasport lintas membran.
            Membran sel terdiri dari dua lapisan lemak yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik di antaranya. Molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul ini membentuk kanal hidrofilik untuk mentransport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air.
            Cara transport obat lintas membran adalah dengan cara difusi pasif dan transport aktif., yang akhirnya melibatkan komponen membran sel dan energi. Sifat fisiko kimia obat yang menentukan cara transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat ionisasi dan kelarutan dalam lemak.
            Umumnya obat diabsorbsi dan didistribusi secara difusi pasif. Mula – mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul obat  akan melintasi membran, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi kadarnya yeng lebih tinggi ke sisi lain. Setelah taraf mantap (Steady state) dicapai, kadar obat bentuk non ion di kedua sisi membran akan sama.
            Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah yakni asam lemah atau basa lemah. Dalam larutan elektrolit lemah ini akan terionisasi. Derajat ionisasi ini tergantung pada pKA obat  dan pH larutan. Untuk obat asam, pKa rendah berarti relatif kuat, sedangkan untuk obat basa, pKa tinggi yang relatif kuat. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran.  Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut dalam lemak. Pada taraf mantap kadar obat bentuk ion – ion saja yang sama dikedua sisi membran, sedangkan kadar obat bentuk ionnya tergantung dari perbedaan pH di kedua sisi membran.
            Membran sel merupakan membran semi permeabel artinya hanya dapat dirembesi air dan molekul – molekul kecil. Air berdifusi atau mengalir melalui kanal hidrofilik pada membran akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Bersama dengan aliran air akan terbawa zat – zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100 – 200 misalnya urea, etanol dan antipirin. Meskipun berat atomnya kecil, ion anorganik ukurannya membesar karena mengikat air sehingga tidak dapat melewati kanal hidrofilik bersama air. Kini telah ditemukan kanal selektif untuk ion Na, K dan Ca.
            Transport obat melintasi endotel kapiler terutama melalui celah – celah atar sel, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Celah atar sel endotel kapiler demikian besarnya sehingga dapat meloloskan semua molekul yang berat molekulnya kurang dari 69.000 (BM aluminium), yaitu semua obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sealipun. Proses ini berperan dalam absorpsi obat setelah pemberian parenteral dan dalam filtrasi lewat membran glomerulus di ginjal.
            Pinositosis ialah cara transport dengan membentuk vesikel, misalnya untuk makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini sangat sedikit.
            Transport obat secara aktif  biasanya terjadi pada sel saraf, hati, dan tubulus ginjal. Proses ini membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri, sehigga zat dapat bergerak melewati perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif, transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami kejenuhan. Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat – zat endogen dan transport aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi oleh obat lain. Proses transport aktif mirip dengan difusi terpacu, namun dengan perbedaan yaitu pada transport aktif, obat / metabolit melewati gradien kepekatan, karena itu memerlukan energi metabolik. Energi ini biasanya isediakan oleh ATP, kecuali energi lain yang proses produksinya diketahui.
            Difusi terfasilitasi (Facilitated diffusion) ialah suatu proses transport yang terjadi dengan bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa menggunakan energi, sehingga obat dapat melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses ini, yang juga bersifat saingan, terjadi pada zat endogen yang transportasinya secara difusi biasa terlalu lambat, misalnya untuk masuknya glukosa ke dalam sel perifer.

1.     ABSORPSI  DAN BIOAVAILABILITAS
            Kedua kata tersebut tidaklah sama artinya. Absorpsi yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dengan persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena, untuk obat – obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik.
Sebagai akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ – organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first past metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan dan kelengkapan, absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal atau memberikannya bersama makanan. Beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas pada obat oral yaitu :
1.      Faktor obat.
a.       Sifat – sifat fisikokimia obat
                                                              i.      Stabilitas pada pH lambung
                                                            ii.      Stabilitas terhadap enzim – enzim pencernaan
                                                          iii.      Stabilitas terhadap flora usus
                                                          iv.      Kelarutan dalam air/cairan saluran cerna
                                                            v.      Ukuran molekul
                                                          vi.      Derajat ionisasi pada pH saluran cerna
                                                        vii.      Kelarutan bentuk ion – ion dalam lemak
                                                      viii.      Stabilitas terhadap enzim dalam dinding saluran cerna
                                                          ix.      Stabilitas enzim dalam hati
b.      Formula obat
                                                              i.      Keadaan fisik obat (ukuran partikel, bentuk kristal / bubuk dan lainnya)
                                                            ii.      Zat – zat pengisi, pengikat, pelicin, penyalut dan lainnya
2.      Faktor prnderita
a.       pH larutan cerna, fungsi empedu
b.      Kecepatan pengosongan lambung (mobilitas saluran cerna, pH lambung, adanya makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik yang berat, stres, nyeri hebat, ulkus peptikum, stenosis pilorus, gangguan fungsi tiroid)
c.       Waktu transit dalam saluran cerna (motilitas saluran cerna dan gangguannya)
d.      Perfusi saluran cerna (makanan, aktivitas fisik yang berat, penyakit kardiovaskuler)
e.       Kapasitas absorpsi (luas permukaan absorpsi, sindrom malabsorpsi, usia lanjut)
f.       Metabolisme dalam lumen saluran cerna ( pH lambung, enzim – enzim pencernaan, flora usus)
g.      Kapasitas metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati (aktivitas enzim metabolisme dalam dinding saluran cerna dan dalam hati, faktor genetik, aliran darah porta, penyakit hati)
3.      Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna
a.       Adanya makanan
b.      Perubahan pH saluran cerna (antasid)
c.       Perubahan motilitas saluran cerna (katartik, opiat, antikolinergik)
d.      Perubahan perfusi saluran cerna (obat – obat kardiovaskuler)
e.       Gangguan pada fungsi normal mukosa usus (neomisin, kolkisin)
f.       Interaksi langsung (kelasi, adsorpsi, terikat pada resin larutan dalam cairan yang tidak diabsorbsi)

1.1.BIOEKUIVALENSI
            Ekuivalensi kimia yaitu kesetaraan jumlah obat dalam sediaan – belum tentu menghasilkan kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan yaitu yang disebut ekuivalensi biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetap tidak berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioekuivalensi. Ini terutama terjadi pada obat – obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna, misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan pada obat mengalami metabolisme selama absorpsinya, misalnya eritromisisin dan levodopa. Perbedaan bioavailabilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperlihatkan ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10% dapat menimbulkan inekuivalensi terapi, terutama untuk obat yang indeks terapinya sempit, misalnya digoksin, difenilhidantoin, teofilin.

1.2.PEMBERIAN OBAT PER ORAL
            Cara ini merupakan pemberian yang paling umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat mempengaruhi bioavailabilitasnya. Obat dapat mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja sama dengan penderita. Tidak dapat dilakukan pada hewan yang tidak bisa menelan.
            Absorbsi obat pada saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi apabila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkan dengan di lambung. Selain itu, epitel lambung tertutup mukus yang tebal dan mempunyai tehanan listrik yang tinggi. Oleh karena itu, peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan absorpsi obat, dan sebaliknya. Akan  tetapi, perubahan dalam kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna biasanya tidak mempengaruhi jumlah obat yang diarbsorpsi atau yang mencapai sirkulasi sistemik, kecuali pada tiga hal berikut :
a.       Obat yang diarbsorpsi lambat karena sukar larut dalam cairan usus (misalnya digoksin, difenilhidantoin, prednison) memerlukan waktu transit dalam saluran cerna yang cukup panjang untuk kelengkapan absorpsi.
b.      Sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absorpsinya kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan penglepasan obat di lingkungan berbeda memerlukan waktu yang lama dalam usus untuk meningkatkan jumalah yang diserap.
c.       Pada obat – obat yang mengalami metabolisme di saluran cerna, misalnya penicilin G Jan eritromisin oleh asam lambung, levodopa dan klorpromazin oleh enzim dalam dinding saluran cerna, pengosongan lambung dan transpit gastrointestinal yang lambat akan mengurangi jumlah obat yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik.
Untuk obat yang waktu paruh eliminasinya pendek misalnya prokainamid, perlambatan absorpsi akan menyebabkan kadar terapi tidak dapat dicapai , meskipun jumlah absorpsinya  tidak berkurang.
      Absorpsi secara transport aktif terjadi di usus halus untuk zat – zat makanan : glukosa dan asam amino, basa purin dan pirimidin, mineral dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk obat – obat yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan tersebut, misalnya levodopa, metildopa, 6 -  merkaptopurin, 5 – fluourourasil.
      Kecepatan obat bentuk padat ditentukan oleh kecepatan disentegrasi disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula bioavailabilitasnya. Ada kalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat dapat diberikan dengan interval lebih lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (sustained release). Obat yang dirusak oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung sengaja dibuat tidak terdisintegrasi  di lambung yang sebagai sediaan salut enterik (enteric coated).
      Absorpsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum meskipun permukaannya tidak terlalu luas. Nitrohliserin adalah obat yang sangat poten dan larut baik dalam lemak maka pemberian sublingual atau perkutan sudah cukup untuk menimbulkan efek. Selain itu, obat terhindar dari metabolisme lintas pertama di hati, karena aliran darah dari mulut tidak melalui hati melainkan langsung ke vena cava superior. Pemberian per rektal sering diperlukan pada pemberian yang muntah dan tidak bisa menelan, tidak sadar dan pasca bedah. Metabolisme lintas pertama di hati lebih sedikit dibandingkan dengan pemberian per oral karena hanya sekitar 50%  obat yang diabsorpsi dari rektum melalui sirkulaasi portal. Namun banyak obat mengiritasi mukosa rektum, dan absorpsi disana sering tidak lengkap dan tidak teratur.

1.3.PEMBERIAN OBAT SECARA SUNTIKAN
            Keuntungan pemberian obat secara suntikan (parenteral) ialah :
a.       Efeknya lebih cepat timbul dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral.
b.      Dapat diberikan pada penderita yang tidak koomperatif, tidak sadar dan muntah – muntah.
c.       Sangat berguna dalam keadaan darurat.
Kerugiannya ialah dibutuhkan cara asepsis, menyebabkan  rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum, sukar dilakukan sendiri oleh penderita dan tidak ekonomis.
A.    Pemberian Intravena (IV)
Pemberian dengan IV tidak mengalami tahap absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita. >>>>>>>

B.     Suntikan Subkutan (SK)
Hanya boleh dilakukan untuk obat yang yang tidak menyebbabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokonstriktor juga akan memperlambat absorpsi obat tersebut. Obat yang dalam bentuk padat ditanamkan dibawah kulit dapat diabsorpsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.
C.     Suntikan Itramuskular (IM)
Pada suntikan intramuskular, kelarutan obat dalam air menentukan kecepatan dan kelengkapan absorpsi. Obat yang sukar larut dalam air pada pH fisiologik misalnya digoksin, fenitoin, dan diazepam akan mengendap de tempat suntikan suntikan sehingga absorpsinya berjalan lambat, tidak lengkap dan tidak teratur. Obat yang larut dalam air diserap cukup cepat, tergantung aliran darah ditempat suntikan. Absorpsi lebih cepat di deltoid atau vastus lateralis daripada di gluteus meksimus. Obat dalam larutan minyak atau dalam bentuk suspensi akan diabsorpsi dengan sangat lambat dan konstan (suntikan depot), misalnya penisilin. Obat yang terlalu iritatif untuk disuntikan secara SK kadang – kadang dapat diberikan secara IM.
D.    Suntikan Intratekal
Suntikan intratekal yaitu suntikan langsung ke dalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan bila diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu serebrospinal, seperti pada anastesia spinal atau pengobatan infeksi SSP akut.
E.     Suntikan Intraperitoneal
Cara ini dilakukan pada hewan dan tidak dianjurkan dilakukan pada manusia karena bahaya infeksi dan adesi terlalu besar.

1.4.PEMBERIAN OBAT MELALUI PARU – PARU (INHALASI)
             Cara inhalasi ini hanya dapat dilakukan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan yang mudah menguap  misalnya anastetik umum dan untuk obat lain yang dapat diberikan dalam bentuk aerosol. Absorpsi terjadi melalui epitel paru – paru dan mukosa saluran nafas. Keuntungannya, absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati, dan pada penyakit paru – paru misalnya asma bronkial, obat dapat diberikan langsung pada bronkus. Sayangnya pada cara pemberian ini diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit dikerjakan, sukar mengatur dosis, dan sering obatnya mengiritasi epitel paru.

1.5.PEMBERIAN OBAT SECARA TOPIKAL
            Pemberian topikal pada kulit. Tidak banyak obat yang dapat menembus kulit utuh. Jumlah obat yang diserap bergantung pada luas pemukaan kulit  yang terpajan serta kelarutan obat dalam lemak karena epidermis bertindak sebagai sawar lemak. Dermis permeabel terhadap banyak zat sehingga absorpsi terjadi jauh lebih mudah bila kulit terkelupas atau terbakar. Beberapa zat kimia yang sangat larut lemak misalnya insektisida organofosfat, dapat menimbulkan efek toksik akibat absorpsi melalui kulit ini. Inflamasi dan keadaan lain yang meningkatkan aliran darah kulit juga akan memacu, absorpsi melalui kulit. Absorpsi dapat ditingkatkan dengan membuat suspensi obat dalam minyak dan menggosokkannya ke kulit, atau dengan menggunakan penutup di atas kulit yang terpajan. Obat yang banyak digunakan untuk penyakit kulit sebagai salep kulit ialah antibiotik, kortiskoteroid, anti-histamin, dan fungisid, tetapi beberapa obat sistemik dibuat juga sebagai kesediaan topikal, misalnya nitrogliserin dan skopolamin.
            Pemberian topikal pada mata. Cara ini terutama dimaksudkan untuk mendapatkan efek lokal pada mata, yang biasanya memerlukan absorpsi obat melalui kornea. Absorpsi terjadi lebih capat bila kornea mengalami infeksi atau trauma. Absorpsi sistemik melalui saluran nasolakrimal sebenarnya tidak diinginkan; absorpsi di sini dapat menyebabkan efek sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama di hati, maka beta-bloker yang diberikan sebagai tetes mata misalnya pada glaukoma dapat menimbulkan toksisitas sistemik.

2.     DISTRIBUSI
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2 fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ ynag perfusinya baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak. Selanjutnya Distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ diatas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak.
Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang intestinal jaringan terjadi cepat karena celah antarsel endotel kapiler mampu melawan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma., hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan.
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh  afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang dalam malnutrisi berat karena adanya difisiensi protein.
Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, fosfolipid, atau nukleoprotein. Misalnya pada penggunaan kronik, kuinakrin akan menumpuk dalam sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoar yang penting untuk obat larut lemak, misalnya tiopental. Protein plasma juga merupakan reservoar obat. Obat yang bersifat asam terutama terikat pada albumin plasma, sedangkan obat yang bersifat basa pada asam alfa1-glikoprotein. Tulang dapat menjadi reservoar untuk logam berat misalnya timbal (Pb) atau radium. Cairan transeluler misalnya asam lambung, berlaku sebagai reservoar untuk obat yang bersifat basa lemah akibat perbedaan pH yang besar antara darah dan cairan lambung. Saluran cerna juga berlaku sebagai reservoar untuk obat oral yang diabsorpsi secara lambat, misalnya obat dalam sediaan lepas. Obat terakumulasi ini berada dalam keseimbangan dengan obat dalam plasma dan akan dilepaskan sewaktu kadar plasma menurun, maka adanya reservoar ini dapat memperpanjang kerja obat.
Redistribusi obat dari tempat kerjannya ke jaringan lain merupakan salah satu faktor yang dapat menghentikan kerja obat. Fenomena ini hanya terjadi pada obat yang sangat larut lemak, misalnya tiopental. Karena aliran darah ke otak sangat tinggi , maka setelah disuntikan IV, obat ini segera mencapai  kadar maksimal maksimal dalam otak. Tetapi karena kadar dalam plasma dengan cepat menurun akibat difusi ke jaringan lain, maka tiopental dalam otak juga secara cepat berdifusi kembali ke dalam plasma untuk selanjutnya diredistribusi ke jaringan lain.
Distribusi dari sirkulasi ke SSP sulit terjadi karena obat harus menembus sawar khusus yang dikenal sebagai sawar darah otak. Endotel kapiler otak tidak  mempunyai celah antarsel maupun partikel pinositotik, tetapi mempunyai banyak taut cekat (tight junction). Disamping itu, terdapat sel glia yang mengelilingi kapiler otak ini. Dengan demikian obat tidak harus hanya melewati endotel kapiler tetapi juga membran sel glia perikapiler untuk mencapai cairan intestinal cairan otak. Karenan itu, kemampuan obat untuk menembus sawar darah otak hanya ditentukan oleh, dan sebanding dengan kelarutann  bentuk non ion dalam lemak. Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya amonium kuaterner atau penisilin, dalam keadaan normal tidak cepat masuk ke otak dari darah. Penisilin dosis besar sekali dapat masuk ke otak, tetapi penisislin dosis terapi hanya dapat masuk ke otak bila radang selaput otak, karena permeabilitas menigkat di tempat radang.
Eliminasi obat dari otak kembali ke darah terjadi melalui 3 cara yaitu :
1.      Secara transport aktif melalui epitel pleksus koloid dari cairan serebrospinal (CSS) ke kapiler darah untuk ion – ion organik meisalnya penisilin.
2.      Secara difusi pasif lewat sawar darah otak dan sawar darah CSS di pleksus koroid untuk obat yang larut lemak.
3.      Ikut berasama aliran CSS melalui vili araknoid ke sinus vena untuk semua obat dan metabolit endogen, larut lemak maupun tidak, ukuran kecil maupun besar.
Sawar uri yang memisahkan darah induk dan darah janin terdiri dari sel epitel vili dan sel endogen kapiler janin; jadi, tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Karena itu, semua obat oral yang diterima induk akan masuk ke sirkulasi janin. Distribusi obat dalam tubuh janin mencapai keseimbangan dengan darah induk dalam waktu paling cepat 40 menit.

3. BIOTRANSFORMASI
          Biotransformasi atau  metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresikan melalui ginjal, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Selain itu, pada umumnya obat obat menjadi inaktif. Tetapi ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif dan lebih toksikn. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan /atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
            Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi fase I dan fase II. Yang termasuk reaksi fase I ialah oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang  dapat bersifat inaktif, kurang aktif atau lebih aktif daripada bentuk aslinya. Reaksi fase II yang disebut juga reaksi sintetik, merupakan konjugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan endogen misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat atau asam amino. Haasil konyugasi ini bersifat lebih polar  dan mudah terionisasi dehingga lebih mudah diekskresi. Metabolit hasil konyugasi biasanya tidak aktif kecuali untuk prodrug tertentu. Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau dua macam reaksi). Tetapi, kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit.
            Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya di dalam sel yaitu :
a.       Enzim mikrosom yang terdapat dalam RE halus (yang pada isolasi in vitro membbentuk mikrosom)
b.      Enzim non-mikrosom.
Kedua enzim ini terdapat dalam hati, namun terdapat juga pada ginjal, paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di lumen saluran cerna juga ada enzim nonmikrosom yang dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi glukuroid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim nonmikrosom mengkatalisis reaksi konyugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
            Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati, demikian juga biotransformsi asam lemak, hormon steroid dan bilirubin. Untuk itu obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam RE dan berikatan dengan enzim mikrosom.
            Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi campur (mixed-function oxidase=MFO) atau monooksigenase; sitokrom P 450 ialah komponen utama dalam sistem ini. Reaksi yang dikatalisis oleh MFO meliputi reaksi N dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder, serta desulfurasi.
            Glukuroid merupakan metabolit utama dari obat yang mempunyai gugus fenol, alkohol atau asam karboksilat. Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi melalui ginjal dan empedu secara ekskresi atau untuk anion. Glukuroid yang diekskresi melalui empedu dapat dihidrolisis oleh enzim beta-glukuronidase yang dihasilkan oleh bakteri usus dan obat yang dibebaskan dapat diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat. Reaksi glukuronidasi ini dikatalisis oleh beberapa enzim glukuronil transferase.
            Berbeda dengan enzim nonmikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang maupun dihambat aktifitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat dilingkungan. Zat ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi substratnya. Zat penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan, yaitu :kelompok yang kerjanya menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobarbital meningkatkan biotransformasi banyak obat, sedangkan hidrokarbon polisiklik meningkatkan beberapa obat saja. Penghambat  enzim sitokrom P450 pada manusia dapat disebabkan oleh simetidin dan etanol. Berbeda dengan penghambat dengan penghambat enzimyang langsung terjadi, induksi enzim memerlukan waktu perjalanan beberapa hari bahakan beberapa minggu sampai zat penginduksi terkumpul cukup banyak. Hilangnya efek induksi juga terjadi bertahap setelah perjalanan zat penginduksi dihentikan. Beberapa obat bersifat autoindiuktif artinya merangsang merangsang metabolisme sendiri., sehingga menimbulkan toleransi. Karena itu diperlukan dosis yang lebih besar untuk mencapai efektivitas yang sama. Pemberian suatu obat bersama menginduksi enzim metabolismenya., memerlukan peningkatkan dosis obat. Misalnya pemberian warfarin bersama fenobarbitol, memerlukan peningkatan dosis warfarin untuk mendapatkan efek antikoagulan yang diinginkan. Bila fenobarbitol dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali untuk menghindari terjadinya perbedaan yang hebat.
            Oksidasi obat tertentu oleh sitokrom P450 menghasilkan senyawa yang sangat reaktif, yang dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit yang lebih stabil. Tetapi, bila enzimnya diinduksi atau kadar obatnya sangat tinggi , maka metabolit anatara yang terbetuk banya sekali. Karena inaktivasinya tidak cukup cepat, maka senyawa tersebut sempat bereaksi dengan komponen sel dan menyebakan kerusakan jaringan. Contohnya ialah parasetamol.
            Enzim nonmikrosom mengkatalisis semua reaksi konyugasi yang bukan dengan glukuronat yaitu konyugasi dengan asam asetat, glisin, glutation, asam sulfat, asam fosfat, dan gugus metil. Sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
            Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim esterase nonspesifik di hati, plasma, saluran cerna, dan ditempat lain, serta oleh enzim amidase yang terutama terdapat di hati. Reaksi oksidasi terjadi di mitokondria dan plasma sel hati serta jaringan lain, dan dikatalisis oleh enzim alkohol dan aldehid dehidrogenase, xantin oksidase, tirosin hidroksilase dan monoamin oksidase.
            Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikrosomal terjadi di hati dan jaringan lain untuk senyawa azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. Reaksi ini sering kali dikatalisis oleh enzim flora usus dalam lingkungan usus yang anaerob.
            Karena kadar terapi obat biasanya jauh di bawah kemampuan maksimal enzim metabolismenya, maka penghambat kompetitif antara obat yang menjadi substrat bagi enzim yang sama jarang terjadi. Penghambat kompetitif metabolisme obat hanya terjadi pada obat yang kadar tepainya mendekati kapasitas maksimal enzim metabolismenya, misalnya difenilhidantoin yang dihambat metabolismenya oleh dikumarol dan 6-merkaptopurin yang dihambat metabolismenya oleh alopurinol. Akibatnya, toksisitas obat yang dihabat metabolismenya meningkat.
            Aktivitas enzim mikrosom maupun non mikrosom ditentukan oleh faktor genetik sehingga kecepatan metabolisme obat antarindividu bervariasi, dapat sampai 6 kali lipat atau lebih. Beberapa enzim bahkan memperlihatkan polimorfisme genetik, artinya terdapat dua kelompok utama dalam populasi. Distribusi populasi berdasarkan perbedaan aktivitas enzim ini disebut distribusi bimodal, yaitu terdiri atas yang tinggi (cepat) dan yang rendah (lambat). Misalnya untuk enzim asetilasi isoniazid, hidralazin dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas kelompok asetilator cepat dan asetilator lambat; enzim sitokrom P450 yang mengoksidasi debrisokuin, metopolol dan beberapa substrat lain, populasi dibagi atas kelompok extensive metabolizers dan poor metabolizers. Ini juga berlaku untuk beberapa enzim lain.
            Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi kerusakan parenkimhati misalnya oleh adanya zat hipatoksik atau pada sirosis hepatis. Dalam hal ini dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau dikurangi. Demikian juga penurunan aliran darah hepar oleh obat, gangguan kardiovaskuler, atau latihan fisik yang berat akan mengurangi metabolisme tertentu di hati.

4.     EKSKRESI
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi di sini merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler dapat melewati semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat glukuroid dan asam urat) diekskresi aktif melalui sistem transport untuk asam organik dan basa organik (neostigmin, kolin, histamin) disekresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem transport tersebut relatif tidak selektif sehingga terjadi kompetisi  anatar-asam organik dan antar-basa organik dalam sistem transportnya masing – masing. Untuk zat –zat endogen misalnya asam urat, sistem transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.
Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk ion – ion. Oleh karena itu, untuk obat berupa elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang menentukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, asam lemah terionisasi lebih banyak sehingga reabsorpsinya berkurang, akibatnya ekskresinya meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam, ekskresi asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini digunakan untuk mengobati keracunan obat yang ekskresinya dapat dipercepat dengan pembasaan atau pengasaman urin, misalnya salisilat, fenobarbitol.
Ekskresi obat melelui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Banyak metabolit obat yang terbentuk di hati diekskresi ke dalam usus melalui empedu, kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya diekskresi melalui ginjal. Ada 3 sistem transportasi ke dalam empedu, semuanya transport aktif yaitu masing – masing untuk asam organik termasuk glukuroid, basa organik, dan zat netral misalnya steroid.  Telah disebutkan bahwa konyugat glukuroid akan mengalami sirkulasi enterohepatik.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambutpun dapat digunakan untuk menemukan logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.

No comments:

Post a Comment

Budayakan Berkomentar Atau Bertanya
Silahkan Komentar Di Sini.
Tidak Perlu Mangetik Kata Captcha