Daftar

Radang Ambing ( Mastitis) oleh Streptococcus agalactiae dkk


Radang Ambing ( Mastitis)

Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan  perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto, 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa pada sapi, mastitis sering terjadi pada sapi perah dan disebabkan oleh berbagai jenis bakteri.
            Sori et al (2005) menyatakan bahwa kerugian kasus mastitis antara lain : kehilangan produksi susu,  kualitas dan  kuantitas susu berkurang, banyak sapi yang diculling. Penurunan produksi susu per kuartir bisa mencapai 30% atau 15% per sapi per laktasi, sehingga menjadi permasalahan besar dalam industri sapi perah.   

Faktor Penyebab Mastitis
Resistensi atau kepekaan terhadap mastitis pada sapi, kambing atau domba bersifat menurun. Gen- gen yang menurun akan menentukan ukuran dan  struktur puting      
Saat periode kering adalah saat awal  bakteri penyebab mastitis menginfeksi, karena pada saat itu terjadi hambatan aksi fagositosis dari neutrofil pada ambing. Berbagai jenis bakteri telah diketahui sebagai agen penyebab penyakit mastitis, antara lain Streptococcus agalactiae, Str. Disgalactiae, Str. Uberis, Str.zooepedermicus, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Enterobacter aerogenees dan Pseudomonas aeroginosa. Dilaporkan juga bahwa yeast dan  fungi juga sering menginfeksi ambing, namun biasanya menyebabkan mastitis subklinis.
Hasil penelitian di Ethiopia oleh Sori et al (2005) menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan susu dengan metode CMTdari 180 ekor  sapi perah lokal Zebu dan persilangan,  prevalensi mastitis mencapai 52,78%, dengan 47 ekor (16,11%) merupakan mastitis klinis dan 87 ekor (36,67%), merupakan mastitis subklinis.    
Staphylococcus aureus merupakan salah satu penyebab utama mastitis pada sapi perah yang menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat turunnya produksi susu. Dilaporkan oleh peneliti yang sama bahwa dari 134 isolat yang diuji, maka persentase terbesar mikroorganisme penyebab mastitis adalah Staphylococcus aureus.
Disamping faktor –faktor mikroorganisme yang meliputi berbagai jenis, jumlah dan virulensinya, faktor ternak dan lingkungannya juga menentukan mudah tidaknya terjadi radang ambing dalam suatu peternakan. Faktor predisposisi radang ambing dilihat dari segi ternak,  meliputi  bentuk ambing, misalnya ambing yang sangat menggantung, atau ambing dengan lubang puting terlalu lebar.
Bentuk  puting,  ada dan tidaknya lesi pada puting mempengaruhi kejadian mastitis. Hasil penelitian Sori et al (2005)  menunjukkan bahwa prevalensi mastitis pada puting pendulous mencapai 77,78%, sedangkan pada puting non pendulous mencapai 50%. Puting yang lesi memungkinkan prevalensi mastitis sebesar 84%, sedangkan pada puting normal sebesar 47,74%. Letak kuartir juga mempengaruhi kejadian mastitis. Kuartir kiri, belakang dan kanan, depan lebih sering mengalami mastitis daripada kedua puting lainnya.  Pada kiri belakang, mastitis mencapai 34,3%, sedangkan kanan, depan mencapai 30,06%.
Faktor umur dan tingkat produksi susu sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Semakin tua umur sapi dan semakin tinggi produksi susu, maka semakin mengendur pula spinchter putingnya. Puting dengan spincter yang kendor memungkinkan sapi mudah terinfekesi oleh mikroorganisme, karena fungsi spinchter adalah menahan infeksi mikroorganisme. Semakin tinggi produksi susu seekor sapi betina, maka semakin lama waktu yang diperlukan spinchter untuk menutup sempurna. Faktor bangsa sapi juga mempengaruhi kejadian mastitis. Dilaporkan bahwa kejadian mastitis pada sapi persilangan (Crossbreed) lebih besar daripada sapi lokal.
Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi terjadinya radang ambing meliputi  pakan, perkandangan, banyaknya sapi dalam satu kandang, ventilasi, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Dilaporkan bahwa pada ventilasi jelek, mastitis bisa mencapai 87,5% dan pada ventilasi yang baik mencapai 49,39%.
Gejala-gejala
Secara klinis radang ambing dapat berlangsung secara akut, subakut dan kronik. Radang dikatakan bersifat subklinis apabila gejala-gejala klinis radang tidak ditemukan saat pemeriksaan ambing. Pada proses radang yang bersifat akut, tanda-tanda radang jelas ditemukan, seperti : kebengkakan ambing, panas saat diraba, rasa sakit, warna kemerahan dan terganggunya fungsi. Air susu berubah sifat, menjadi pecah, bercampur endapan atau jonjot fibrin, reruntuhan sel maupun gumpalan protein. Proses yang berlangsung secara subakut ditandai dengan gejala sebagaimana di atas, namun derajatnya lebih ringan, ternak masih mau makan dan suhu tubuh masih dalam batas normal. Proses berlangsung kronis apabila infeksi dalam suatu ambing berlangsung lama, dari suatu periode laktasi ke periode berikutnya. Proses kronis biasanya berakhir dengan atropi kelenjar mammae.
Cara penularan
            Penularan mastitis dari seekor sapi ke sapi lain dan dari  quarter terinfeksi ke quarter normal bisa melalui tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan lalat.
Diagnosis
            Pengamatan secara klinis adanya peradangan ambing dan puting susu, perubahan warna air susu yang dihasilkan. Uji lapang dapat dilakukan dengan menggunakan California Mastitis Test (CMT), yaitu dengan suatu reagen khusus, diagnosis juga  bisa dilakukan dengan Whiteside Test.
Kontrol
            Untuk mencegah infeksi baru oleh bakteri penyebab mastitis, maka perlu beberapa upaya, antara lain (1) meminimalisasi kondisi-kondisi yang mendukung penyebaran infeksi dari satu sapi ke sapi lain dan kondisi-kondisi yang memudahkan kontaminasi bakteri dan penetrasi bakteri ke saluran puting. Air susu pancaran pertama saat pemerahan hendaknya ditampung di strip cup dan diamati terhadap ada tidaknya mastitis. Perlu pencelupan atau diping puting dalam biosid 3000 IU (3,3 mililiter/liter air). Penggunaan lap yang berbeda disarankan untuk setiap ekor sapi, dan pastikan lap tersebut telah dicuci dan didesinfektan sebelum digunakan. (2) Pemberian nutrisi yang berkualitas, sehingga meningkatkan resistensi ternak terhadap infeksi bakteri penyebab mastitis. Suplementasi vitamin E, A dan β-karoten serta imbangan antara Co (Cobalt) dan Zn (Seng) perlu diupayakan untuk menekan kejadian mastitis.
Pengobatan
            Sebelum menjalankan pengobatan sebaiknya dilakukan uji sensitifitas. Resistensi Staphylococcus aureus terhadap penicillin disebabkan oleh adanya β- laktamase yang akan menguraikan cincin β- laktam yang ditemukan pada kelompok penicillin. Pengobatan mastitis sebaiknya menggunakan  Lincomycin, Erytromycin dan Chloramphenicol.
            Disinfeksi puting dengan alkohol dan infusi antibiotik intra mamaria bisa mengatasi mastitis. Injeksi kombinasi penicillin, dihydrostreptomycin, dexamethasone dan antihistamin dianjurkan juga. Antibiotik akan menekan pertumbuhan bakteri penyebab mastitis, sedangkan dexamethasone dan antihistamin akan menurunkan peradangan. Mastitis yang disebabkan oleh Streptococcus sp masih bisa diatasi dengan penicillin, karena streptococcus sp masih peka terhadap penicillin.
            Strategi efektif untuk mencegah dan mengatasi mastitis yang disebabkan oleh Staphilococcus aureus masih sukar dipahami. Dilaporkan bahwa bakteri Staphylococcus sp dan Streptococcus sp yang diisolasi dari kasus mastitis sapi telah banyak yang multi resisten terhadap beberapa antibakterial. Penggunaan antibiotik untuk mengatasi mastitis juga telah banyak merugikan masyarakat konsumen, karena susu mengandung residu antibiotik bisa menimbulkan gangguan kesehatan.
            Akibat penggunaan antibiotik pada setiap kasus mastitis, yang mungkin tidak selalu tepat, maka timbul masalah baru yaitu adanya residu antibiotika dalam susu, alergi, resistensi serta mempengaruhi pengolahan susu. Mastitis subklinis yang disebabkan oleh bakteri gram positif juga makin sulit ditangani dengan antibiotik, karena bakteri ini sudah banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Diperlukan upaya pencegahan dengan melakukan blocking tahap awal terjadinya infeksi bakteri.
            Hasil penelitian Wall (2006) menunjukkan bahwa efikasi pirlymycin sebagai antibiotik  untuk mengatasi mastitis yang disebabkan Staphylococcus aureus hanya bisa mencapai 13% dengan masa terapi dua hari, dan mencapai 31% apabila terapi diperpanjang sampai 5 hari. Jika diperhitungkan antara produksi susu dengan biaya terapi, ongkos bahan bakar dan adanya kandungan sel-sel somatik dalam air susu, maka masih dibawah Break Even Point.  
            Selanjutnya Middleton dan Foxt (2001) melaporkan bahwa penggunaan infus intramammaria dengan  120 ml,  5%  Povidone-Iodine (0,5% Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akibat Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100% (7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya. Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71% (5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi dengan Chlorhexidine  ternyata mengandung residu antibiotik.
            Wall (2006) melaporkan bahwa enzim protepolitik yang dikenal dengan Lysotaphin, yang dihasilkan oleh  Staphylococcus simulans bisa memotong ikatan –ikatan spesifik dalam komponen dinding sel, yaitu peptidoglycan dari Staphylococcus aureus. Efikasi Lysotaphin untuk terapi mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus telah dievaluasi pada beberapa jenis ternak, antara lain : tikus, kambing dan sapi. Infusi Lysotaphin ke dalam kelenjar mammae yang terinfeksi memberikan respon perbaikan produksi pada laktasi berikut sebesar 20%. Transgene  Lysotaphin memberikan pertahanan kuat melawan berbagai bakteri penyebab mastitis. Susu transgenik juga mengandung agen-agen yang menghambat pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan, sehingga susu dan produk susu lebih panjang daya simpannya.
            Dalam pengobatan mastitis dengan menggunakan antibiotik, sehingga pengobatan bisa efektif, diperlukan uji sensitifitas antibiotik tersebut terhadap bakteri penyebab mastitis, terutama  Staphylococcus aureus. Perlu diketahui bahwa  Staphylococcus aureus telah menunjukkan sifat resistensi terhadap antibiotik. Berdasarkan sifat resistensinya, maka Staphylococcus aureus dikelompokkan dalam beberapa golongan, antara lain (1) Staphylococcus aureus yang menghasilkan enzim β-laktamase, yang berada di bawah kontrol plasmid, dan membuat organisme resisten terhadap beberapa penisilin, antara lain  penisilin G, ampisilin, piperasilin, tikarsilin dan obat-obat yang sejenis (2) Staphylococcus aureus yang resisten terhadap nafsilin, oksasilin, metisilin, yang tidak tergantung pada produksi β-laktamase. Gen mecA untuk resistensi terhadap nafsilin terletak di kromosom. Resistensi ini berkaitan dengan kekurangan PBP (Penicillin Binding Protein) (3) Staphylococcus  aureus  yang memiliki kerentanan menengah terhadap vankomisin.

No comments:

Post a Comment

Budayakan Berkomentar Atau Bertanya
Silahkan Komentar Di Sini.
Tidak Perlu Mangetik Kata Captcha